07.52

Agama Sebagai Unsur Pemersatu Umar

Agama Sebagai Unsur Pemersatu Umat
Oleh Munasir (0807958)

Terjalinnya persatuan dan kesatuan umat merupakan unsur terpenting dalam menegakkan masyarakat dan pemerintahan yang kuat, damai, dan sejahtera. Sebaliknya, perpecahan dan perceraian umat akan menjadikannya lemah, tidak damai, dan mudah dikuasai oleh kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan. Manusia akan bersatu manakala hak-hak kemanusiannya dihargai dan dihormati,memilki toleransi yan g tinggi, serta tidak ada pembedaan (diskriminasi) dan penindasan. Itulah fitrah manusia yang dapat menjadi unsur pemersatu. Oleh karena itu, pengakuan terhadap keanekaragaman warna kulit, suku, ras, dan juga agama harus dijunjung tinggi.
Setali tiga mata uang, sejarah menyatakan bahwa agama Islam lahir di tengah bangsa Arab yang memiliki panatisme suku, agama, dan keturunan. Islam membawa konsep bahwa derajat manusia itu tidak dilihat dari keturunan, ras, warna kulit, atau jenis kelamin. Semua manusia sama di mata Tuhannya, kecuali mereka yang memiliki ketaqwaan. Sebagaimana firman-Nya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurot: 3)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama manusia. Namun ada titik penekanannya yaitu mereka yang memiliki kemuliaan adalah manusia yang paling bertakwa di sisi Allah.
Islam juga mengajarkan bahwa manusia harus berpegang teguh pada tali Allah dan jangan bercerai berai, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Hanya ideologi Islam yang mampu menyatukan umat manusia. Hal ini dibuktikan oleh Rasulullah saw karena wahyu yang dibawanya memiliki kemampuan menyatukan manusia. Semasa Beliau hidup, sejak berdirinya pemerintahan Islam pertama di Madinah, Islam mempersatukan dan mempersaudarakan berbagai suku dan bangsa. Berbagai kabilah/suku di Makkah yang dulu sering bertentangan dipersaudarakan dengan kalimat tauhid. Macam-macam suku di Madinah, termasuk suku Aus dan Khajraj yang ratusan tahun tak pernah berhenti bertikai, dipersatukan di bawah Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Makkah dan Madinah yang berbeda karakteristik, budaya dan adat kebiasaan pun dipadukan membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Islam. Karenanya, “Mereka membawa bukan hanya ideologi baru, tetapi juga mengilhami energi dan kepercayaan (confidence) yang sedemikian radikalnya mengubah manusia dan masyarakat dimana ia tinggal. Mereka melengkapi pengobar semangat buat abad baru dan kemajuan kebudayaan di peradaban, seni dan ilmu, material dan spiritual.
Tidak diragukan lagi, ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan manusia dari berbagai golongan (ras, suku, dan warna kulit) telah mampu menyatukan umat manusia dengan latar belakang yang berbeda. Semua perbedaan itu diikat dalam satu persamaan, yaitu satu keimanan.
Tidak hanya dalam intern umat Islam saja, ajaran Islam pun menghendaki persatuan seluruh umat manusia yang memiliki perbedaan keyakinan dengan membawa konsep rahmatal lil alamin. Islam menghargai perbedaan keyakinan, dan tidak pernah memaksakan keyakinan kepada orang-orang yang telah beragama. Sehingga, antar umat beragama bisa hidup dengan rukun.
Demikianlah peran agama dalam mempersatukan umat manusia yang beragam.

08.38

Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia

Makalah
"Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia"



KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga tim penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam. Tugas kelompok ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah tersebut di Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK Universitas Pendidikan Indonesia.
Makalah ini membahas mengenai “Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia”. Bahasa yang kami pergunakan dalam menerangkan tiap-tiap bagiannya sangat mudah dipahami sehingga pembaca tidak terlalu pusingkan.
Dalam penyusunan makalah ini, tim penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak, mungkin tidak akan terselesaikan. Karena itu dengan penuh keikhlasan, tim penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya kami, tim penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca yang memerlukannya.






Bandung, Maret 2008


Tim penulis


Daftar Isi

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I Pendahuluan 3
A. Latar Belakang Masalah 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Sistematika Penulisan 3
BAB II Landasan Teori 5
A. Pengertian Nabi Dan Rasul 5
B. Agama dan Misi Para Nabi 5
C. Kerasulan Nabi Muhammad Saw 6
D. Nabi Muhammad Adalah Nabi Terakhir 17
BAB III Pembahasan Masalah 22
A. Fenomena Nabi Palsu 22
B. Nabi-nabi Palsu di Indonesia 24
C. Faktor-faktor maraknya bermunculan nabi palsu dan aliran sesat 26
D. Dampak dari bermunculan nabi-nabi palsu 29
E. Solusi Menghadapi maraknya bermunculan Nabi Palsu 29
BAB IV Kesimpulan 32
DAFTAR PUSTAKA 33




BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Sekarang ini marak bermunculan nabi-nabi palsu di Indonesia dan ini sangat meresahkan masyarakat karena dapat merusak akhlak dan juga mengganggu kenyamanan ketentraman dan keamanan umat beragama, oleh karena itu kami menulis makalah ini agar kita mengetahui mengapa sampai banyaknya orang yang mengaku nabi dan kita mengetahui bagaimana solusi untuk mengatasinya.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini karena terlalu luas pokok masalahnya maka kami membatasi masalahnya yaitu:
1) Fenomena nabi palsu di Indonesia
2) Faktor-faktor yang menyebabkan banyak bermunculan nabi palsu dan aliran sesat di Indonesia
3) Solusi menghadapi maraknya nabi palsu

C. Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Sistematika Penulisan
BAB II Landasan Teori
A. Pengertian Nabi Dan Rasul
B. Agama dan Misi Para Nabi
C. Kerasulan Abi Muhammad Saw
D. Nabi Muhammad Adalah Nabi Terakhir
BAB III Pembahasan Masalah
A. Fenomena Nabi Palsu
B. Nabi-nabi Palsu di Indonesia
C. Faktor-Faktor Maraknya Bermunculan Nabi Palsu Dan Aliran Sesat
D. Dampak Dari Bermunculan Nabi-Nabi Palsu
E. Solusi Menghadapi Maraknya Bermunculan Nabi Palsu
BAB IV Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
Bermunculannya Nabi Palsu

A. Pengertian Nabi dan Rasul
Para Nabi adalah manusia pilihan Allah SWT yang bertugas untuk menyampaikan pesan Allah SWT melalui konsep Tauhid. Intinya agar manusia hanya mempercayai dan mengabdi kepada satu tuhan yaitu Allah SWT. Rasul adalah Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah S.W.T. untuk menyampaikan ajaran atau agama kepada umatNya.
Mengapa Allah mendatangkan Nabi rahmat lil al-alamin di Makkah, Jajirah Arab? Ternyata ada rahasia dibalik perbuatanNya itu. Arabia memang sangat strategis bagi perjuangan awal Islam. Dengan menggunakan metode tipologi, Nabi Muhammad memang memiliki keunikan yang tidak dimiliki nabi manapun. Sentuhan sentuhan manusia tampaknya dihindarkan dari beliau agar misi Illahi untuk menjadikan Islam sebagai agama dunia benar-benar berhasil.
Semua Nabi memililiki mu’jijat yang disaksikan umat dan musuhnya pada saat itu juga. Tapi mu’jijat paling Nabi terakhir, Al-quran, justru tersaksikan manusia disemua tempat dan sepanjang zaman

B. Agama dan Misi Para Nabi
Apakah para nabi membawa agama yang satu ataukah berlain-lainan? Misalnya Nabi Luth a.s. membawa agama Kong Fu Tsu, Nabi Musa a.s. membawa agama Yahudi, Nabi Isa a.s. membawa agama Kristen, dan Nabi Muhammad SAW membawa agama Islam, apakah semua Nabi hanya membawakan agama Islam?
Kita coba pakai akal saja. Bukankah Tuhan itu Satu? Bukankah Tuhan seluruh Nabi juga Satu, bahwa Tuhan Luth, Musa dan Isa a.s. adalah juga Tuhannya Muhammad SAW? Bahwa Tuhan yang kita sembah sekarang adalah juga Tuhannya manusia zaman dulu? Tidak bisa tidak, akal kita pasti menjawab ”Ya”. Sekarang kita dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tadi. Karena Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, bahwa Allah SWT adalah Tuhannya Nabi terakhir, yang juga tuhannya para Nabi a.s., bahwa Allah SWT adalah Tuhan kita, yang juga Tuhan manusia tempo dulu, maka Agama yang dibawakannya pun pasti sama. Ya, mungkin bisa namanya berbeda karena perbedaan bahasa. Tetapi jika diartikan kedalam bahasa Arab, terjemahannya menjadi ”Islam”.
Dengan demikian Agama seluruh Nabi adalah Islam. Kita dapat menelaahnya berdasarkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi ternyata sama, membawa keimanan yang sama, membawa syari’at (ajaran) yang sama. Coba baca terjemahan Al-Quran, buka dafar isisnya dan cari ayat-ayat tentang Nabi-nabi, pasti pembaca mendapatkan jawaban yang demikian. WA NAHNU LAHU MUSLIMIN.

C. Kerasulan Nabi Muhammad SAW
Sepanjang jalan Allah SWT selalu mengutus Nabi-nabi. Tidak ada satu zaman pun yang kosong dari kenabian. Para Nabi datang silih berganti hingga ditutupnya kenabian oleh Muhammad bin Abdullah. Nabi Muhammad SAW disebut-sebut sebagai teladan umat sepanjang zaman, yang menjadi pokok permasalahan kita tidak sempat berjumpa (secara fisik) dengan beliau, bagaimanakah cara menteladaninya?
Pribadi Nabi Muhammad SAW
Kisah Maria Al-Kibti, Raja Muqouqis, dan Nabi SAW
Pembaca pernah mendengar kisah Maria? Bukan ibunda Nabi Isa a.s., melainkan istri Nabi kita SAW. Dia orang jauh, dari seberang Jazirah Arabia, tepatnya orang Sungai Nil di Mesir. Ayah-ibunya selain berbudi pekerti luhur, juga tampan dan cantik, cerdas dan juga berakhlak mulia. Diberi nama Maria justru dengan harapan agar kelak puterinya dapat menteladani ibunda Al-Masih, Maryam. Kedua orangtua Maria memang beragama Kristen. Maria lahir disaat agama Islam baru tumbuh di Mekkah.
Semasa usia SLTP, Maria justru menampilkan perilaku dewasa. Karena itulah ia bersama adik perempuannya, Sirin, diminta hidup di Istana Raja Muqouqis. Tidak sulit mendidik kedua gadis ini. Di lingkungan istana inilah Maria tumbuh sebagai gadis jelita yang menawa hati, berbudi pekerti luhur, penuru, jujur, sabar, dan amat horma. Maria merpakan wanita terpandang asuhan Raja Muqouqis dan menjadi suri tauladan bagi gadis-gadis di sekitar istana.
Pada zaman dahulu banyak istana yang mendidik para gadis dalam menjalin persahabatan dengan negara lain karena biasanya sang Raja menikahkan gadis istana dengan Raja atau pembesar negara lain yang menjadi sahabatnya. Gadis teladan di lingkungan istana dinikahkan dengan Raja atau pembesar dari negara sahabat yang paling dihormati dan dimuliakan. Demikian halnya dengan Istana Muqouqis. Sudah banyak gadis istana yang dinikah para pembesar mancanegara. Dan pada waktu itu, gadis mesir memang sangat terkenal, baik kecanikan ataupun budi pekertinya. Tapi dengan siapakah Maria akan menikah?
Pusat Islam kemudian berpidah dari Makkah ke Yasrib, Madinah. Dari sinilah mula-mula Islam menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Tapi, Nabi terakhir ditugaskan untuk menyebarkan Islam bagi seluruh umat manusia, di manca negara, bukan bagi bangsa Arab saja. Ditugaskanlah beberapa orang sahabat untuk surat seruan masuk Islam kepada Raja-raja manca negara. Hatib bin Abi Balta’ah ditugaskan untuk menyampaikan surat da’wah kepada raja Muqouqis. Tidak diketahui apakah Raja menerima seruan Nabi SAW apakah menolaknya. Ketika Hatib menjelaskan tentang pribadi Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam, Raja Muqouqis yang beragama Kristen mengangguk-anggukan kepalanya, Raja merenung semalaman. Esok harinya Raja meminta maaf dengan menyatakan bahwa kaum Qibthi sangat memegag teguh kepercayaan lamanya. Tapi kemudian Raja Muqouqis menitipkan beberapa hadiah bagi Nabi Muhammad SAW. ”Aku titipkan dua gadis Qibthi yang sangat terpandang, Maria dan Sirin, mudah-mudahan berkenan untuk Muhammad”, ujar Muqouqis di ruang kerjanya dengan penuh kesungguhan. Sampaikan pula salamku untuk kaum muslimin di sana, tambah Muqouqis.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Maria yang cerdas dan sangat memahami agama Kristen, banyak bertanya tentang pribadi Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. Hatib dengan sangat cermat dan sangat rinci menjelaskan setiap aspek kepribadian Nabi mulia dan ajaran Islam. Setiap penjelasan Hatib mengundang rasa penasaran Maria, mengundang pertanyaan baru. Untung saja Hatib dapat menjelaskan setiap pertanyaan Maria. Begitu Hatib memberikan penjelasan baru, hati Maria dan Sirin semakin condong pada Islam; dan setiap Hatib memberikan penjelasan baru tentang pribadi Nabi Suci, Maria semakin kagum dan jatuh cinta pada manusia teladan itu. Tanpa terasa perjalanan yang cukup panjang dan biasanya sangat melelahkan, dilalui oleh mereka dengan perasaan gembira. Ingin sekali segera sampai dan bertemu dengan Nabi Agung yang disebut-sebut Hatib, ungkap Maria dalam hatinya.
Akhirnya mereka sampai pula di Madinah. Ternyata apa yang disampaikan Hatib tepat sekali. Maria dan Sirin menyampaikan salam dan hormat kepada Nabi Muhammad SAW dan menyampaikan pula salam dari Raja Muqouqis serta menyatakan bahwa mereka berdua sebagai wakil kaum Qibthi.
Maria yang semula kagum dengan ajaran Islam, kagum dengan pribadi Mulia Nabi, dan setelah bertemu langsung tertarik pula dengan wajah Nabi yang sangat tampan. Kita dapat membayangkan, betapa tampannya Nabi Yusuf a.s. ketika disuguhi buah apel beserta pisaunya, para wanita tanpa sadar mengupas lengannya hingga terluka dan patah, karena melihat ketampanan nabi Yusuf a.s. Nabi Muhammad SAW lebih tampan dibanding Nabi Yusuf a.s., dan keringatnya pun harum melebihi minyak wangi yang paling harum. Sangat wajar dan pantas bila Maria Al-Qibthi menyatakan keinginannya untuk diperistri oleh nabi SAW. Kemudian Nabi SAW menikahi Maria dan melahirkan seorang anak, namun wafat ketika masih kecil.
Muhammad SAW Manusia Agung
Sejak dalam kandungan, ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib telah meninggal dunia. Setelah lahir pun Nabi Muhammad tidak disusukan dan diasuh oleh Siti Aminah binti Wahab, ibunya. Memang secara kebetulan ada tradisi Arab Quraisy menyusukan anak selama dua tahun di pedesaan. Tapi Nabi Muhammad menyimpang dari tradisi. Setelah beliau disusukan selama dua tahun oleh Hallimatus Sa’diyah, Siti Aminah mengembalikan putera kesayangannya ke pedesaan. Hampir empat tahun Muhammad kecil dipelihara Tsuwaibah Aslamiyah, ibu pengasuh lainnya. Menjelang usia enam tahun Muhammad kecil kembali kepangkuan ibunya yang sudah sakit-sakitan. Sayang, tidak lama kemudian ibu kandung yang mulia meninggalkan anak kecil untuk selama-lamanya. Calon Nabi terakhir ini kemudian dipelihara oleh kakeknya yang sudah sangat tua, Abdul Muthalib, dengan penuh kecintaan. Sayang sekali kakeknya pun meninggal ketika Muhammad kecil sangat memerlukan kasih-sayangnya. Beruntung, sebelum meninggal Abdul Muthalib berwasiat agar anak-anaknya menjaga sang cucu tercintanya. Diantara anak-anaknya ada yang kaya-raya tetapi ada juga yang miskin. Walaupun anak-anaknya berebut ingin mengasuh cucunya yang satu ini, tapi firasat kuat kakenya justru menunjuk Abu Thalib, salah seorang anak kesayangannya yang bermoral tinggi hanya miskin harta. Alasan karena pamannya yang miskin itulah yang membuat Muhammad seusia anak SD kembali ke gurun pasir dengan dengan dalih berburuh menggembala kambing. Setiap pagi beliau pergi ke gurun dan sore hari pulang ke rumah Abu Thalib. Alasan itu juga yang membuat Muhammad tidak bersekolah, selain tidak terdapatnya sekolah di Jazirah Arabia. Memang ada 1-2 Kuttab, tempat belajar tulis-baca dan syair di Makkah dan di tempat lainnya. Tapi beliau tidak bersekolah. Hingga diangkat menjadi seorang Nabi pun beliau tidak bisa menulis dan membaca.
Sekarang coba bandingkan dengan keadaan di Eropa dan Persia yang pada saat itu telah memiliki dan mendirikan universitas-universitas dengan para filosof dan saintisnya yang berotak. Jika membaca kitab-kitab klasik sebelum abad VI masehi tidak terdapat kata ”Arab”. Ini menunjukan bahwa Arabia merupakan daerah asing yang tidak diperhitungkan oleh negara-negara maju saat itu. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW justru lahir dari daerah yang tidak maju, yang tidak diperhitungkan dunia-dunia maju saat itu.
Watak Muhammad SAW
Beliau tetesan darah bapak para Nabi, Nabi pendiri Ka’bah dan Nabi kekasih Allah, Ibrahim a.s., melalui Nabi yang rela dikurbankan disembelih ayahnya demi memenuhi perintah Allah, Nabi yang bersama ayahnya mendirikan Ka’bah, Ismail a.s. Beliau lahir dari keluarga pemelihara Ka’bah.
Akhlak para Nabi telah benar-benar mempribadi sejak dini pada diri beliau. Abu Thalib, wali beliau, sangat ta’jub dengan perilaku keponakannya. Beliau benar-benar berbeda dengan anak-anak sebayanya.
Sejak masa kecil, beliau merasa puas dengan makanan yang sedikit dan selalu menghindarkan diri dari sifa berlebih-lebihan. Idak pernah menunjukan minat dan kerakusan terhadap makanan. Beliau selalu memelihara dan merawat secara rapih wajah dan rambutnya, menyenangi kebersihan dan wewangian bagi diri dan rumah.
Suatu hari Abu Thalib meminta agar Muhammad kecil mengganti pakaian dihadapannya untuk kemudian tidur. Karena hormat dengan paman pemeliharanya, beliau meminta agar pamannya memalingkan wajahnya. Beliau tidak pernah berdusta, tidak pernah tertawa tanpa alasan, tidak pernah tertarik pada mainan anak-anak, lebih menyukai sendirian, dan selalu rendah hati. Belia tidak suka iseng dan membenci kemalasan.
Beliau sangat jujur sehingga mendapat gelar ”Al-Amin” (yang terpercaya). Di masa mudanya beliau mendirikan suatu perkumpulan ”Hilful Fudhul” (perkumpulan keutamaan) untuk membela hak-hak orang lemah dan menentang para penindas. Perkumpulan ini selalu dikenang oleh beliau.
Terhadap keluarga beliau sangat baik. Berbeda dari kebiasaan orang Arab saat itu beliau tidak pernah berkata kasar pada isterinya. Beliau selalu mentolelir ucapan yang menyakitkan hati dari sebagian isterinya. Beliau selalu menganjurkan untuk bersikap sopan terhadap wanita. Beliau sangat baik dan pengasih kepada anak-cucunya, meletakan mereka diatas pangkuan dan bahunya, dan menciumnya, disaat kebiasaan itu tidak ada pada kalangan bangsa Arab. Beliau pun sangat baik kepada budak-budaknya.
Apabila duduk beliau tidak pernah menjulurkan kakinya di hadapan orang lain tidak pernah menyandarkan punggungnya bila sedang berhadapan dengan orang lain. Dalam pertemuan, beliau selalu meminta duduk melingkar agar semua orang menempati posisi yang sama. Belia memperlihatkan kasih sayang kepada sahabat-sahabatnya. Bila tidak berjumpa selama tiga hari, beliau suka menanyakannya apakah sakit atau punya masalah. Jika memang demikian, beliau selalu mengunjunginya dan membantunya.
Beliau hidup sederhana. Tidur di atas tikar, biasa duduk di lantai, memerah susu kambing, menunggang kuda dan unta tanpa pelana. Beliau terbiasa memperbaiki sepatu dan pakaiannya sendiri. Makanan beliau terbuat dari roti gandum dan kurma. Tetapi beliau tidak menyukai kemelaratan. Beliau menegaskan perlunya memiliki uang dan kekayaan demi kepentingan masyarakat dan untuk dibelanjakan secara halal.
Selama masa hidupnya, terutama dalam masa kenabian, beliau menghadapi situasi yang sulit dan penuh rintangan. Tapi beliau tabah dan penuh keyakinan bahwa ajaran yang benar pasti menang. Beliau bekerja dengan tertib dan disiplin. Walaupun segala perintah beliau ditaati oleh para pengikut setianya, beliau tidak pernah bertindak diktator, beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.
Ada kalanya beberapa sahabat menunjukan keberatannya terhadap keputusan Nabi SAW. Tapi beliau dengan penuh sabar mau mendengarkan kritikan. Beliau sangat membenci sifat penjilat dan beliau berkata ”lemparkanlah debu kemuka orang yang suka menjilat”. Beliau sangat pemaaf dan suka memohonkan ampun kepada Allah bagi orang yang beriman.
Beliau tidak pernah memanfaatkan kelemahan dan kebodohan masyarakat demi kepentingannya. Beliau justru selalu berusaha keras memerangi kelemahan dan kebodohan dengan cara menyadarkannya. Beliau mendorong orang untuk mencari ilmu hingga ke negeri cina sekalipun.
Dalam beribadah, beliau selalu menghabiskan sebagian malamnya, kadang-kadang 1/3 , 1/2 atau 2/3 ,malam, untuk shalat, padahal sepanjang siang harinya bekerja keras.
Sebagian telah diuraikan diatas, bahwa pribadi Nabi Muhammad S.A.W. memang sejak kanak-kanak suka menyendiri, tidak begitu suka bergaul beramai-ramai dengan orang banyak. Selanjutnya dikala telah dewasa dan sebagai seorang pemuda, perangai beliau yang utama itu tetap ada pada pribadi beliau tidak dapat diperdayakan oleh atau dipengaruhi oleh suasana yang terjadi disekelilingnya.
Setelah pribadi Nabi s.a.w. berusia 40 tahun, maka kian hari kian mendalam hasratnya untuk menjauhkan diri dari masyarakat ramai, maka ketika itu beliau sudah sering kali pergi meninggalkan keluarga dan rumah tangganya untuk mencari tempat dimana disekitarnya baik untuk berkhalwat, dengan tujuan hendak menenagkan diri, pikiran, menjernihkan angan-angan, yang selanjutnya, guna mencari kebenaran yang hakiki.
Tidak lama kemudian beliau mendapati suatu gunung yang ada guanya, berada di suatu tempat yang sunyi-senyap, yang letaknya kira-kira tiga mil disebelah utara kota Mekkah. Gunung itu tingginya kurang lebih 200 meter dan terkenal dengan nama jabal ”Hiraa” dan guanya terkenal juga dinamakan gua ”Hiraa”. Oleh pribadi Nabi s.a.w ketika itu dipandang untuk temapt berkhalwat dan mengasingkan diri dari keramaian.
Setelah berulang-ulang pribadi Nabi s.a.w. berkhalwat dalam tempo beberapa bulan, maka pada suatu malam didalam tidur, beliau bermimpi melihat cahaya terang, seperti cahaya terang di waktu shubuh. Berhubung dengan itu, maka beliau di kala itu menjadi gemar berkhalwat dan bertahanuts di gua Hiraa tesebut.
Hati nurani beliau mendorong dan mendesak supaya terus berkhalwat, terus menasingkan diri dari keraimaian di dalam gua Hiraa tersebut untuk mncari kebnaran yang hakiki. Maka beliau pun terus berkhalwat dan tambah gemar mengasingkan diri di gua tersebut. Dengan demikian, beliau di kala itu sudah dapat bayangan, bahwa kebenaran yang dicarinya dan dituntutnya itu pasti ada dan tentu dapat dicapainya.
Pada hakikatnya, beliau berbuat dan dan mengerjakan seperti itu memang sudah menjadi kehendak Allah S.W.T, Tuhan semesta alam. Karena pada saat itulah beliau akan menerima keangkatan dan penetapan menjadi Nabi dan Rasul Allah yang terakhir.
Kemudian setelah enam bulan lamanya, beliau berkhalwat dan betahanuts di gua Hiraa tersebut, usia beliau dikala itu menginjak usia yanga keempat puluh (40), maka beliau bertanya kepada diri sendiri....... atas perbuatannya yang telah sekian lama dikerjakannya itu. Beliau merasa khawatir dalam hati kecilnya terhadap apa yang telah dikerjakannya selama berkhalwat itu,kuatir atas dirinya sendiri, kalau dirinya tergoda atau mendapat godaan dari jin dan sebagainya, sebagaimana beliau sering berkhlawat di dalam gua-gua yang jauh dari keramaian dan tempat –tempat yang sunyi senyap.
Beliau dikala itu tidaklah begitu mengerti akan adanya dorongan ghaib sepenting itu; yang terguris dalam hati beliau di kala itu; bahwa beliau sudah dekat sekali, akan diangkat sebagai Nabi penutup dan Rasul yang terakhir, untuk penduduk ditanah Arab khususnya dan untuk segenap umat manusia yang ada di alam semesta ini.
Kemudian pada suatu malam, di tengah malam yang gelap gulita, beliau yang sedang tidur nyenyak, tiba-tiba ada sesorang yang masuk kedalam gua Hiraa tersebut, dengan kedatangannya beliau sangat kaget dan menakutkan karena beliau tidak mengenal sama sekali orang itu, sehingga beliau terbangun dan seketika itu juga oran itu berakata dengan suara yang keras kepada beliau, demikian :
”Gembiralah ya Muhammad ! Saya Jibril, dan engkau adalah Rasul ALLAH kepada umat ini”.

Orang itu dengan menunjukan sehelai kertas yang bertuliskan, lalu memrintahkan kepada beliau supaya membaca tulisan itu, ia berkata :

”Bacalah olehmu, ya Muhammad”
Dengan terperanjat beliau menjawab :
”Saya tidak dapat membaca”
Orang itu lalu memegang diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, kemudian dilepaskan sambil berkata lagi :
”Bacalah olehmu, ya Muhammad”
Beliau menjawab :
”Saya tidak dapat membaca”
Orang itu lalu memegang kembali diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, sehingga beliau merasa seakan akan nafasnya akan putus, lantas dilepaskannya kembali dan berkata lagi :
”Bacalah olehmu, ya Muhammad”
Beliau menjawab :
”Saya tidak dapat membaca”
Orang itu lalu memegang kembali diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, sehingga beliau merasa seakan akan nafasnya akan putus, lantas dilepaskannya kembali dan berkata lagi :
”Bacalah olehmu, ya Muhammad dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, olehmu! dan Tuhan mu yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al-Alaq [96] : 1-5)

Dengan pertolongan Allah S.W.T. seketika itu beliau dapat membaca apa yang telah dibacakan oleh orang yang belum pernah dikenal dan yang mengaku namanya jibril tersebut.
Sepeninggal Jibril dari tempat itu dengan hati yang sangat takut, perasaan yang amat terkejut, tubuh amat gemetar dan beliau bertanya-tanya pada dirinya sendiri : Apkah gerangan yang dilihat dan dialaminya itu; tidakkah itu suatu godaan daripada jin atau syetan sebagai yang telah dikhawatirkan oleh beliau sebelumnya. Beliau menoreh kekanan dan kekiri, tetapi tidak ada seorangpun yang terlihat. Seluruh badan beliau terus menerus gemetar dan dalam hati beliau ada rasa ketakutan, barangkali di dalam gua yang sempit itu ada apa-apa, yang akhirnya beliau mencari jalan keluar dari gua tersebut. Keluar dari gua tersebut dan berjalan menuruni bukit itu dengan penuh rasa khawatir dan takut.
Sesudah beliau keluar dan turun dari gua Hiraa, dalam hati beliau terus bertanya seorang diri : ”siapakah gerangan yang datang tadi itu, yang dengan suara yang keras memerintahkan supaya membaca, membaca dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah itu?”. Dalam keadaan yang sedahsyat itu, beliau terus menerus berjal;an menuruni bukit, dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati, karena tubuh masih dalam keadaan gemetar, akhitnya sampailah beliau kebawah dan seketika itu beliau pulang ke Mekkah, ke rumah Khadijah, istrinya yang telah beberapa bulan ditinggalkannya itu.

Demikianlah riwayat pertamakali Nabi Muhammad S.A.W. menerima wahyu dari hadirat ALLAH, yang diantarkan dan disampaikan kepada beliau dengan perantaraan malaikat jibril, dan pada malam hari itulah beliau menerima angkatan dan penetapan dari hadirat Allah s.w.t menjadi Nabi sekaligus Rasul terakhir, untuk menyampaikan Risalah-Nya kepada segenap umat manusia yang ada di seluruh alam semesta.

D. Nabi Muhammad SAW Adalah Nabi Terakhir
Berdasarkan info sebanyak 124.000 Nabi a.s., 313 diantaranya adalah Rasul a.s. telah diutus oleh Allah SWT ke tengah-tengah kita, umat manusia. Al-Quran sendiri hanya mengabarkan sebanyak 25 Nabi dan Rasul a.s.
Sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Isa a.s. para Nabi datang silih berganti, seiring dengan zaman, dan dalam waktu yang (hampir) bersamaan diturunkan beberapa Nabi. Nabi Ishaq a.s. dan Nabi Ismail a.s. datang selagi Nabi Ibrahim a.s. ada di tengah-tengah mereka; Nabi Yusuf a.s. datang selagi ayahnya Nabi Ya’kub a.s. masih ada; demikian juga Nabi Yahya a.s. dengan Nabi Zakariya a.s., kemudian Nabi Isa a.s. Bahkan Nabi Harun a.s. dengan Nabi Musa a.s. diutus secara bersamaan kepada satu kelompok dan dalam waktu yang bersamaan kepada satu kelompok dan dalam waktu yang sama. Sejak kedatangan Rasulullah SAW, umat manusia diingatkan bahwa tidak akan ada lagi utusan Allah sepeninggal Beliau. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. berfirman,
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ahzab [33] : 40).

”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa [21] :107)

Tapi dari Nabi Isa a.s. hingga Nabi Terakhir, berselang enam abad, tidak terdengar adanya seorang Nabi yang diutus. Para Nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. memang telah mengabarkan tentang akan adanya seorang Nabi Besar, Nabi yang diutus untuk seluruh manusia dan jin, bukan untuk kelompok manusia yang tertentu saja, seorang Nabi Penutup. Masyarakat pun menunggu-nunggu kedatangannya. Tapi dalam waktu yang cukup panjang, selama lima ratus tahun Nabi yang ditunggu itu tidak pula muncul.
Para Nabi a.s., terlebih-lebih menjelang ditutupnya kenabian, banyak berdatangan di sekitar perbatasan Eropa dan Timur Tengah. Makanya masyarakat di sekitar tempat itu khususunya mengira bahwa Nabi yang terakhir itu akan datang dari tempat mereka. Tetapi secara tidak disangka-sangka Nabi yang ditunggu-tunggu ternyata datang dari daerah yang tidak dikenal, tempat Nabi Ibrahim a.s. mengasingkan isteri dan putera tercintanya Nabi Ismail a.s., di Mekkah. Kebanyakan masyarakat pun berbalik, mengingkari kenabian Muhammad SAW. Mereka hanya mengakui Nabi-nabi lokal mereka bahkan memusuhi Nabi Terakhir dan para pengikut setianya.
Kita kembali pada tema di atas, mengapa kenabian ditutup? Kita cari ilustrasi. Agama Islam kita ibaratkan suatu pesan atau program umum, manusia sebagai anak, dan Allah SWT sebagai orangtua. Apakah seorang anak dapat memahami suatu pesan umum? Coba ingat-ingat saja kamu selagi masih kecil. Apakah kita mengerti istilah hemat, istilah nakal dan manis? Tentu saja tidak bisa, karena kecerdasan dan daya tangkap kita belum berkembang. Orang tua yang bijak biasanya menyampaikan pesan umum itu setahap demi setahap. Istilah hemat dikongkritkan, misalnya: uang kita yang Rp. 500,- jajankan saja Rp. 250,- dan sisanya ditabungkan; istilah nakal dikonkritkan dengan: mencubit adik, mengambil jambu tetangga, dsb, dan istilah manis dikongkritkan dengan kesanggupan anak menyapu lamtai, mencuci piring, belanja ke warung, dsb. Sekarang bila ibu kita berbicara ”coba hemat dikit sayang”, apakah kita masih belum mengerti? Jika telah dewasa kita pasti akan mengerti. Ibu kita menghendaki agar kita, misalnya jangan meminta uang yang berlebihan.
Demikian juga dengan Agama Islam dan manusia. Di masa lalu umat islam bagaikan anak kecil, belum bisa memahami agama Islam dengan sempurna. Oleh karena itu Allah Yang Maha Bijak dan Maha Tahu keadaan manusia menurunkan Nabi-nabi. Setelah masyarakat manusia dewasa, barulah Allah SWT menurunkan ajaran Islam yang sempurna. Bersamaan dengan itu ditutup pula kenabian
Coba telaah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan Al-Quran sebagai Kitab Sucinya. Apakah benar ada seorang nabi yang bernama Muhammad SAW? Kita dapat dengan mudah menunjukannya yaitu dengan sebuah bukti adanya makam Nabi Muhammad SAW yang berada di Madinah Semenanjung Arabia, di dalam Masjid Nabawi. Bandingkan dengan misalnya Nabi Idris a.s., apakah benar ada seorang Nabi yang bernama Yunus a.s.? selain dengan modal iman, kita tidak dapa menunjukan bukti yang kuat karena kita tidak tahu dan sejarahpun tidak mencatat dimanakah makam Nabi Idris a.s. dan Nabi Saleh a.s. Hal ini menunjukan bahwa di masa lalu belum dapat melestarikan suatu ajaran yang benar, pemuka agamanya pun tidak dapat menjaganya. Berbeda dengan saat pada zaman Nabi Muhammad SAW masyarakat telah dapat melestarikan suatu bukti keberadaan Nabinya. Telaah juga Kitab Suci. Seluruh penelitian membuktikan bahwa Al-Quran adalah juga Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bandingkan dengan Kitab-kitab suci lainnya, jangan pun isinya, bahkan bahasanya pun telah berubah. Bahasa yang digunakan oleh para Nabi a.s. terdahulu semuanya telah mati, idak dipakai oleh seorang manusia pun. Berbeda dengan bahasa Arab, dari waktu kewaktu terus dilestarikan, terbukti dengan adanya pelajaran bahasa Arab dan Jurusan dan Sastra Arab di berbagai Universitas. Sejarah hidup, sabda-sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW pun terekam secara baik. Berjilid-jilid kitab dan beribu-ribu bahkan berjuta-juta halaman memenuhi lembaran kehidupan Nabi Muhammad SAW yang mulia.
Mungkin terdapat pertanyaan mengapa manusia sekarang mampu melestarikan agama Islam tanpa didatangkannya seorang Nabi? Itulah bedanya Ulama sekarang dengan Ulama pada zaman dahulu. Di masa-masa lalu hanya nabi a.s. yang dapat melestarikan ajaran dari Allah. Sungguh menajubkan, di masa sekarang ulama disebuah desa pun mampu melesarikan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Maka berdasarkan uraian diatas sudah sepantasnya apabila kenabian ditutup.







BAB III
Pembahasan

A. Penomena Nabi Palsu dan nabi-nabi palsu di Indonesia
Tidak ada yang lebih membuat hati kita sedih dan marah kalau ternyata ada nabi palsu. jaman canggih seperti sekarang bukan hanya uang atau barang-barang branded yang bisa dipalsukan, tapi nabi juga bisa dibikin tiruannya. Contohnya adalah apa yang diyakini sama orang-orang di aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Mereka mengaku sudah punya nabi lagi setelah Muhammad SAW. Malah mereka udah bersyahadat ulang dengan mengganti lafadz "wa asyhadu anna Muhammad ar rasulullah" menjadi "wa asyhadu anna al masih al maw'ud ar rasulullah". Astaghfirullahal adzim wa na'udzubillahi min dzalik! Markasnya digrebek umat, dan ajarannya dihujat sebagai sesat. Pastilah memang nyata-nyata sesat

Adalah seorang lelaki paruh baya bernama Ahmad Mushaddeq yang mengaku mendapat wahyu setelah bertapa di padepokannya di sebuah kawasan di Bogor. Setelah itu ia memproklamirkan diri sebagai nabi berikutnya setelah Rasulullah SAW dengan sebutan al-masih al-maw'ud. Ternyata, tidak sedikit orang yang percaya pada perkataan mantan pelatih bulutangkis nasional ini. Dari pemberitaan, sedikitnya 50 ribu orang pengikutnya tersebar di sejumlah kota di tanah air. Kebanyakan anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa.

Beruntung, tak lama kemudian sejumlah ormas Islam termasuk MUI bergerak. Pemimpinnya dilaporkan ke kepolisian, pengikutnya diajak bertobat, dan ajarannya dinyatakan sesat. Terakhir, sang nabi palsu ini pun menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.

Munculnya nabi-nabi palsu itu jelas tidak diakui oleh agama Islam. Sejak kedatangan Rasulullah SAW, umat manusia diingatkan bahwa tidak akan ada lagi utusan Allah sepeninggal Beliau. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. berfirman,

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ahzab [33] : 40).
”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa [21] :107)

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga sudah berwasiat kepada kita semua bahwa memang tidak ada lagi nabi sepeninggal beliau. Sabdanya, "Dulu Bani Israil yang mengurus mereka adalah para nabi, jika salah seorang nabI wafat maka nabi yang lain menggantikannya. Tetapi sesungguhnya tak ada nabi setelahku, dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak." Para sahabat bertanya, "Maka apa yang engkau perintahkah pada kami?" Jawab Rasulullah SAW, "Penuhilah bai'at yang pertama dan pertama, dan berilah pada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang mereka urus." (HR. Muslim).

Nabi SAW juga pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, "Wahai Ali, tidakkah engkau ridha kedudukanmu di sisiku seperti Harun AS bagi Musa AS? Akan tetapi bahwasanya tak ada lagi nabi sepeninggalku." (HR. Bukhari).

Semoga semuanya jelas bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir tidak ada lagi nabi berikutnya. Pengakuan mereka yang menyatakan diri sebagai nabi lagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Palsu dan tidak kreatif. Pelakunya jelas berdosa besar dan pasti sudah keluar dari agama Islam (baca : murtad). Karena keimanan pada Allah juga harus dibarengi dengan iman pada kenabian Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul.

B. Nabi-Nabi Palsu Di Indonesia
1. Ali Taetang
berasal dari Banggai pada tahun 1956 ali taetang mendirikan aliran alian Imamullah. Aliran ini didirikan Haji Ali Taetang Likabu di Dusun Sampekonan, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Tak ada data pasti jumlah pengikutnya tetapi diduga ribuan orang menjadi anggotanya dan tersebar di seluruh Indonesia.Sebelumnya di daerah ini masyarakat menganut animisme, dinamisme, dan mistik. Secara umum ajaran Alian Imamullah sama dengan Islam tetapi paham ini mempunyai dua penyimpangan pokok yakni kepercayaan terbukanya pintu kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sehingga Ali Taetang menyebut diri nabi. Kedua, dia mengubah syahadat rasul.

2. Zikrullah Aulia Allah
berasal dari Sulawesi Tengah. Zikrullah Anak kedua dari istri kedua Taetang ini mengaku mendapat wahyu tentang kenabian melalui mimpi. Aliran Zikrullah Aulia Allah baru berdiri pada 29 Agustus 2004 lalu. Aliran ini merupakan versi terbaru dari aliran Alian Imamullah yang didirikan ayahnya, Ali Taetang Likabu pada 1970-an. Pada saat pendirian aliran itu, Zikrullah mengumumkan kenabiannya di atas mimbar Masjid Barokah, Dusun Sampekonan, Desa Labibi, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan. Saat itu, Zikrullah mengaku telah diangkat Allah menjadi nabi meneruskan almarhum ayahnya Ali Taetang Likabu yang juga mengaku sebagai nabi.

3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended
berasal dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul. ajaran eyang model ajaran agama yang memastikan tentang kiamat dan membolehkan seks bebas. Dan para nabi pun

4. Lia Eden
dengan sekte kerajaan Tuhan berasal dari Jakarta. Lia yang jago buat puisi mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril.

5. Ahmad Moshaddeq
berasal dari jakarta mengaku dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.

C. Faktor-Faktor Kemunculan Nabi Palsu Dan Aliran Sesat Di Indonesia

- Faktor Agama
Tidak perlu heran kenapa sekarang muncul aliran-aliran sesat plus nabi-nabi palsu. Ada dua sebabnya; pertama, banyak orang yang awam terhadap agamanya sendiri. Tapi, meski awam, mereka berani menakwilkan ajaran Islam termasuk menakwilkan Al-Qur'an. Hasilnya? Ngaco kuadrat! Karenanya, Nabi SAW mengingatkan kita semua tentang bahayanya kebodohan, "Umatku rusak oleh dua golongan manusia; orang alim yang keji dan orang bodoh yang suka beribadah."

Di Indonesia sebagian kecil orang yang mengaku beragama islam tetapi kurang memahami islam itu sendiri sehingga sebagian kecil orang indonesia mudah tertipu oleh orang yang mengaku Nabi baru dan gampang saja percaya bahwa ada nabi baru setelah nabi Muhammad SAW. Dan juga di Indonesia ada sebagian kecil yang mendalami agama terlalu extrim atau fanatisnya berlebihan sehingga dia berfikir sendiri/ijtihad kearah yang salah.

Selain itu dicurigai tentang adanya kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap munculnya nabi palsu tersebut. Kelompok-kelompok ini sengaja membentuk, membiayai aliran-aliran sesat untuk menghancurkan Islam. Dari isu teroris sampai ke aliran sesat tentu membuat trauma masyarakat kita belajar agama atau ikut pengajian. Sehingga masyarakat kita hanya akan menerima Islam sebagaimana adanya. Ketika ada ajaran Islam yang tidak biasa walaupun itu berasal dari ajaran Islam. Ajaran tersebut akan dicurigai.

Menurut kami alasan seseorang mengikuti suatu ajaran dikarenakan Sesesat-sesaatnya suatu aliran tetap saja mengandung kebenaran walaupun hanya beberapa persen saja. Inilah yang bisa menarik simpati para pengikut ajarannya. Sedangkan ajaran yang sesatnyapun dibuat sehingga sesuai dengan selera pengikutnya. Misalnya tidak shalat dan puasa. Bagi sebagian orang yang malas dengan kedua ibadah ini. Tentu ketika menemukan ajaran ini seolah ada pembenaran dengan kemalasannya. Padahal dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas bahwa Sholat diwajibkan, dalam al-qur’an Allah berfirman;
”Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-nisa [4] :103)

Kemudian Allah berfirman tentang kewajiban berpuasa;

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] :183)

- Faktor Budaya (Culture)
Memiliki sifat terbuka terhadap perkembangan yang masuk dari luar dan tetapi disamping memiliki sifat terbuka masyarakat di Indonesia mudah terpengaruh dengan mengikuti suatu ajaran tampa mempertimbangkan lebih dalam apakah ajaran tersebut benar atau salah.

- Faktor Hukum
Di Indonesia masih kurang tegasnya dalam masalah hukum terhadap orang-orang yang mengaku nabi padahal sebenarya dia palsu, dan apabila ada penyelesaian dalam bidang hukum maka sanksi yang diberikannyapun terhitung tidak tegas da malahan ringan dibandingkan dengan yang telah dia lakukan yakni penistaan agama.

- Faktor Sosial
Kebanyakan yang masuk ke aliran sesat ini disebabkan karena mudah terbujuk rayu oleh ajakan-ajakan yang sifatnya belum tentu membawa kearah yang benar, ajakan-ajakan itu bisa datang dari saudara, teman, atau bahkan dari seorang pacar.

- Faktor Pendidikan
Sebagian kecil kurangnya pendidikan tentang agama sehingga kurangnya pengetahuan tentang agama islam sehingga mudah tersesat dan nabi palsu mudah untuk membujuk tetapi ada juga yang pendidikannya tinggi tetapi dia salah menafsirkan tentang agama sehingga dia menyimpang. adalah mereka merasa ‘terbelenggu’ dengan aturan dan kewajiban yg mesti mereka lakukan di Islam. Sebagai contoh, mereka tidak mau sholat 5 waktu tapi lebih memilih qiyamul lail. Dengan kata lain, mereka memilih hawa nafsu mereka dan tidak mau ‘bercape-cape’ dalam menjalankan syariat.

- Faktor Lingkungan
Dikarenakan lingkungannya telah terprovokasi dan menganut suatu ajaran yang sesat maka seseorang bisa terbawa karena orqang tersebut sudah terbiasa dengan ajaran baru yang ada maka orang tersebut secara tidak langsung akan mengikuti ajaran sesat yang terdapat dilingkungannya, bisa karena ajakan dari orang lain ataupun keinginannya sendiri unuk mengikuti ajaran tersebut dikarenakan ajaran itu sudah berkembang dilingkungannya

D. Dampak Yang Di Timbulkan Dari Kemunculan Nabi Palsu

Dengan maraknya kemunculan nabi-nabi palsu di Indonesia banyak orang-orang yang terjurumus kedalam aliran sesat yang dibawa oleh nabi-nabi palsu ini, dan terjadi ketidakamanan, tentram dan harmonis didalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan sampai-sampai terjadi kekerasan terhadap umat aliran sesat itu. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dalam islam. Selain hal tersebut dampak lainnya adalah bila orang yang mengikuti ajaran sesat yang didalangi oleh nabi palsu tersebut diketahui oleh masyarakat luas maka mereka akan dikucilkan oleh orang-orang sekitarnya dan mereka akan diusir oleh masyarakat sekitarnya.

E. Solusi Mencegah Terjerumus Oleh Bujuk Rayu Nabi Palsu
Faktor Agama
- Lebih memahami dan mendalami tentang islam dan alqur’an.
- Tidak mudah percaya dengan ajaran-ajaran yang berkedok dan mengatasnamakan islam yang mengaku memiliki seorang nabi baru.
- Dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad S.A.W. Allah berfirman bahwa;
” Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],” (QS. Al-Baqarah [2] :2)

[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.
[12] takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.

Faktor Budaya (Culture)
- Kita harus dapat memperhatikan dan menelaah terhadap budaya budaya luar yang masuk, karena belum tentu budaya itu baik dan sesuai dengan kita, dan apabila kita mengikutinya kita dapat terjerumus kedalamnya.

Faktor Hukum
- Aparat harus mampu bertindak tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, khususnya masalah agama seperti yang terjadi sekarang ini.
- Pemerintah harus tindak tegas terhadap aliran-aliran agama yang menyesatkan


Faktor Sosial
- Tidak mudah percaya dengan teman yang mengajak kepada sesuatu yang kebenarannya belum bisa dibuktikan khususnya masalah keagamaan.
-
Faktor Pendidikan
- dari hasil pemberitaan di media cetak ataupun televisi ternyata tidak hanya orang yang berlatar belakang pendidikan kurang yang terjerumus kedalam ajaran atau aliran yang sesat, tetapi banyak juga orang–orang yang pada dasarnya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi ikut-ikutan terjerumus, ini memperlihatkan bahwa ajaran sesat yang disebarkan
-
Faktor Lingkungan
- Kita harus dapat membentengi diri dari pergaulan–pergaulan yang dapat menyesatkan kita.
- Berusaha mempelajari kebenaran dari suatu ajaran yang masuk, perhatikan apakah ajaran itu benar dan sesuai dengan kaidah islam atau tidak sehingga kita tidak terjerumus kadalam aliran yang sesat.
Faktor Ekonomi
- Berusahalah untuk mendapatkan sesuatu dengan bekerja keras dan diakhiri dengan do’a.
- Apabila Allah memberikan cobaan berat, percayalah bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan pada umatNya jika umatNya tidak dapat memikulnya



BAB IV
Kesimpulan

- Orang yang terjerumus kepada aliran sesat yang mengikuti dan berpanutan kepada seorang nabi palsu adalah orang yang awam akan agamanya sendiri
- Dicurigai adanya kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap munculnya nabi palsu tersebut. Kelompok-kelompok ini sengaja membentuk, membiayai aliran-aliran sesat untuk menghancurkan Islam.
- Kita harus mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir tidak ada lagi nabi berikutnya. Pengakuan mereka yang menyatakan diri sebagai nabi lagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah berfirman bahwa;

” Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],” (QS. Al-Baqarah [2] :2)

[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.
[12] takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
-



Daftar Pustaka

ALQURAN
ALHADIST
Subhani, Ja’far. 1996. Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw. Terjemahan. Jakarta: Litera Antarnusa, Cetakan Ke-14.
Haikal, Muhammad Husain. 1992. Sejarah Hidup Muhammad. Terjemahan. Jakarta: Litera Antarnusa, Cetakan Ke-14.
Muthahhari, Murtadha. 2000. Kenabian Terakhir. Terjemahan. Jakarta: Lentera.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam UPI. 2004. ISLAM Doktrin dan Dinamika Umat. Bandung: Value Press,
Chalil, Moenawar. 1964. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad S.A.W . Jakarta: Bulan Bintang. Cetakan Keempat.

http://tausyiah275.blogsome.com/2005/09/20/nabi-nabi-palsu/trackback/ KotaSantri.com

06.31

Makalah Agama, Filsafat, dan Ilmu

Agama, Filsafat, dan Ilmu
(Objek kajian dan Relevansi)
Oleh Munasir, S.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan hati. Manusia pun diberi oleh Allah beberapa pengetahuan (Ar-Rahman: 3). Dalam sejarah pun dicatat perkembangan pengetahuan manusia mulai dari filsafat sampai pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Manusia tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi mulai berpikir itu sebagai kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak pasif, melainkan proaktif dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Pengetahuan manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai dari masa Yunani Kuno (700 SM), masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa Renaisans (abad ke 15-16), masa modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer (abad ke 20). Zaman kontemporer ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi tinggi, sehingga dikenal pula zaman eraglobalisasi. Dimana informasi dan transpormasi budaya dapat dilakukan dengan sangat mudah.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer, handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Sehingga, kamunikasi sosial kita dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan adanya bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.
Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.
Kenyataan di atas membuat paradigma di sebagian masyarakat, bahwa antara filsafat, ilmu, dan agama itu bertentangan. Benarkah demikian? Padahal dalam agama kita (Islam), terdapat ajaran-ajaran tentang pentingnya berpikir dan menuntut ilmu. Sehingga dalam beberapa ayat Allah memuji orang-orang yang mampu berpikir dengan benar (ulil albab) dan meninggikan derajat orang-orang beriman lagi berilmu (al-Mujadalah: 9). Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah yang berjudul ”Relevansi Agama, Ilmu, dan Filsafat.

B. Identifikasi Masalah
a. Batasan Masalah
Karena keluasan kajian yang akan muncul apabila tidak dikhususkan pada kajian tertentu, maka dalam kajian ini dibatasi pada aspek-aspek tertentu, yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
  1. Pengertian filsafat, ilmu, dan agama
  2. Objek kajian filsafat, ilmu, dan agama
  3. Persamaan dan perbedaan serta relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama

b. Rumusan Masalah
Agar hasil kajian ini jelas dan tidak wilayah kajiannya tidak melebar terlalu jauh, dan berdasarkan pada batasan masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan dengan tesis-tesis sebagai berikut
  1. Apa yang dimaksud dengan filsafat, ilmu, dan agama?
  2. Apa objek kajian filsafat, ilmu, dan agama?
  3. Bagaimana persamaan, perbedaan,dan relevansi antara ilmu, filsafat, dan agama?

C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu: Bab I, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teoritis, yang berisi pengertian dari filsafat, ilmu, dan agama, objek kajiannya, dan persamaan serta perbedaan antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab III, Pembahasan, berisi sejarah sekulerisasi ilmu dan agama, dan relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab IV, Penutup, berisi kesimpulan dan saran.



BAB II
Agama, Filsafat, dan Ilmu

A. Pengertian dan Objek Kajian Agama
Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri (Sadulloh, 2007: 49).
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
Konsep din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat. Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat. (TIM Dosen PAI MKDU UPI, 2008: 12)
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.
Adapun objek kajian agama adalah firman Tuhan dalam hal ini wahyu atau yang diyakini sebagai kitab suci atau pedoman hidup. Mempelajari tentang konsep Tuhan, manusia, dan segala penomena di alam semesta ini baik fisik atau metafisik.


B. Pengertian dan Objek Filsafat
Apakah filsafat itu? bagaimana definisinya? demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a. Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,(nasution, 1779: 9) yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ yaitu cinta, suka (loving), dan ’sophia’ yaitu pengetahuan, hikmah/wisdom. Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf’(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
  1. Socrates (469 – 399 SM). Socrates memahami filsafat sebagai suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
  2. Plato (427 – 347 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
  3. Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmumetafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
  4. Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Dan menyebut filsafat sebagai ibu dari semua pengetahuan .
  5. Al-Farabi (meninggal 950 M). Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
  6. Immanuel Kant (1724 -1804). Yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
  • Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
  • Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat Tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.
Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Berbicara tentang objek filsafat, sama halnya dengan ilmu lain yaitu sama-sama mempunyai objek. Biasanya para ahli membaginya kepada dua bahagian, yaitu objek materi dan objek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan di kupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi-filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

C. Pengertian dan Objek Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya;lamu, ilman dengan wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)_scire (mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12).
Kemudian Anshari (1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu menurut beberapa ahli sebagai berikut:
  • Mohammad Hatta mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.
  • Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
  • Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
  • Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:
  • Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
  • Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
  • Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
  • Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tiubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif (Bahtiar, 2004: 1).

D. Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Agama.
Filsafat, ilmu, dan agama memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai berikut:
1. Persamaan
  • Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
  • Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
  • Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
  • Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
  • Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

2. Perbedaan
  • Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
  • Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
  • Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
  • Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
  • Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
  • Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada wahyu.
  • Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama diawali oleh keyakinan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Sekulerisasi Antara Ilmu dan Agama
Pencerahan di barat diawali dengan pergulatan antara para ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain. Para ilmuan beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin dapat dikompromikan dengan agama. Pergulatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuan. Inilah awal dari proses sekulerisasi Barat. Ilmu pengetahuan sama sekali terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Bahkan mereka cenderung mentuhankan pengetahuan itu sendiri, sehingga ilmu pengetauan dianggap sebagai solusi atas segala problematika yang dihadapi umat manusia. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan dianggap lepas dari manusia sehinga eksistensi manusi hanyalah sebagai pion pengetahuan.
Dari sini muncul gerakan Antiscience. Mereka menolak mengikuti pengetahuan secara membabi buta yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa pemahaman seperti ini hanya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sebagian mereka bahkan menyeru agar manusia menjauhkan diri dari sikap materialistis dan kembali kepada fitrah manusia.
Sayangnya pemahaman mengenai sekulerisasi ilmu pengetahuan, bahwa pengetahuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama merembet ke dunia Islam. Muncul kesan bahwa untuk dapat mengejar ketertinggalan harus meniru metodologi barat meskipun itu bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Maka mengembalikan metodologi keilmuan sebagaimana yang digariskan oleh Islam menjadi suatu keharusan.

B. Relevansi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:
- Manusia adalah animal rationale
Karena itu, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
- Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
b. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
  • Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh pengetahuan tentang manusia.
  • Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
  • Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.
B. Saran
Berdasarkan hal di atas penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih mendalami lagi ketiga bidang kajian ini, filsafat, ilmu, dan agama. Sehingga, mampu menjawab setiap permasalahan dengan bijak dan benar.










DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Nasution, Harun. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung. Pustaka Bani Quraisy, 2004.

06.08

Makalah Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu

Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu
Oleh Husnan Sulaiman, S. Pd. & Munasir, S.Pd.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan “potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia (atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : “Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?
  2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
  3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
  4. Bagaimana hubungan antara ketiga landasan tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :
  1. Untuk mengetahui makna landasan ontologi
  2. Untuk mengetahui makna landasan epistemologi
  3. Untuk mengetahui makna landasan aksiologi
  4. Untuk mengetahui hubungan ke tiga landasan tersebut

D. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sestematika penulisan; BAB II Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan epistemologi, landasan aksiologi dan hubungan ke tiga landasan tersebut dalam filsafat ilmu. BAB III berisi tentang kesimpulan, yang memaparakan makna dan kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan dalam suatu pengkajian ilmu, yakni; Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.


BAB II
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU


A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
  • Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
  • Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
  • Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.

b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
  • Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
  • Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
  • Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
  • Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

3.Pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.

4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.

5. Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.

B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan [science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan [knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa" dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change], “tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.

b. Landasan Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah kriterianya ?
- Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
Inilah kajian epistemologi
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.


c. Landasan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan :
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
- Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi terhadap hasil akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan untuk memberikan hasil yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

BAB III
KESIMPULAN

Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia
H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.