06.31

Makalah Agama, Filsafat, dan Ilmu

Agama, Filsafat, dan Ilmu
(Objek kajian dan Relevansi)
Oleh Munasir, S.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan hati. Manusia pun diberi oleh Allah beberapa pengetahuan (Ar-Rahman: 3). Dalam sejarah pun dicatat perkembangan pengetahuan manusia mulai dari filsafat sampai pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Manusia tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi mulai berpikir itu sebagai kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak pasif, melainkan proaktif dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Pengetahuan manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai dari masa Yunani Kuno (700 SM), masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa Renaisans (abad ke 15-16), masa modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer (abad ke 20). Zaman kontemporer ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi tinggi, sehingga dikenal pula zaman eraglobalisasi. Dimana informasi dan transpormasi budaya dapat dilakukan dengan sangat mudah.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer, handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Sehingga, kamunikasi sosial kita dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan adanya bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.
Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.
Kenyataan di atas membuat paradigma di sebagian masyarakat, bahwa antara filsafat, ilmu, dan agama itu bertentangan. Benarkah demikian? Padahal dalam agama kita (Islam), terdapat ajaran-ajaran tentang pentingnya berpikir dan menuntut ilmu. Sehingga dalam beberapa ayat Allah memuji orang-orang yang mampu berpikir dengan benar (ulil albab) dan meninggikan derajat orang-orang beriman lagi berilmu (al-Mujadalah: 9). Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah yang berjudul ”Relevansi Agama, Ilmu, dan Filsafat.

B. Identifikasi Masalah
a. Batasan Masalah
Karena keluasan kajian yang akan muncul apabila tidak dikhususkan pada kajian tertentu, maka dalam kajian ini dibatasi pada aspek-aspek tertentu, yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
  1. Pengertian filsafat, ilmu, dan agama
  2. Objek kajian filsafat, ilmu, dan agama
  3. Persamaan dan perbedaan serta relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama

b. Rumusan Masalah
Agar hasil kajian ini jelas dan tidak wilayah kajiannya tidak melebar terlalu jauh, dan berdasarkan pada batasan masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan dengan tesis-tesis sebagai berikut
  1. Apa yang dimaksud dengan filsafat, ilmu, dan agama?
  2. Apa objek kajian filsafat, ilmu, dan agama?
  3. Bagaimana persamaan, perbedaan,dan relevansi antara ilmu, filsafat, dan agama?

C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu: Bab I, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teoritis, yang berisi pengertian dari filsafat, ilmu, dan agama, objek kajiannya, dan persamaan serta perbedaan antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab III, Pembahasan, berisi sejarah sekulerisasi ilmu dan agama, dan relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab IV, Penutup, berisi kesimpulan dan saran.



BAB II
Agama, Filsafat, dan Ilmu

A. Pengertian dan Objek Kajian Agama
Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.
Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri (Sadulloh, 2007: 49).
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
Konsep din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat. Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat. (TIM Dosen PAI MKDU UPI, 2008: 12)
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.
Adapun objek kajian agama adalah firman Tuhan dalam hal ini wahyu atau yang diyakini sebagai kitab suci atau pedoman hidup. Mempelajari tentang konsep Tuhan, manusia, dan segala penomena di alam semesta ini baik fisik atau metafisik.


B. Pengertian dan Objek Filsafat
Apakah filsafat itu? bagaimana definisinya? demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
a. Segi Semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,(nasution, 1779: 9) yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ yaitu cinta, suka (loving), dan ’sophia’ yaitu pengetahuan, hikmah/wisdom. Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf’(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b. Segi Praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
  1. Socrates (469 – 399 SM). Socrates memahami filsafat sebagai suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
  2. Plato (427 – 347 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
  3. Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmumetafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
  4. Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Dan menyebut filsafat sebagai ibu dari semua pengetahuan .
  5. Al-Farabi (meninggal 950 M). Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
  6. Immanuel Kant (1724 -1804). Yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
  • Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
  • Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat Tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.
Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Berbicara tentang objek filsafat, sama halnya dengan ilmu lain yaitu sama-sama mempunyai objek. Biasanya para ahli membaginya kepada dua bahagian, yaitu objek materi dan objek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan di kupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi-filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

C. Pengertian dan Objek Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya;lamu, ilman dengan wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)_scire (mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12).
Kemudian Anshari (1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu menurut beberapa ahli sebagai berikut:
  • Mohammad Hatta mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.
  • Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
  • Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
  • Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:
  • Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
  • Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
  • Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
  • Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).
Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tiubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif (Bahtiar, 2004: 1).

D. Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Agama.
Filsafat, ilmu, dan agama memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai berikut:
1. Persamaan
  • Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
  • Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
  • Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
  • Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
  • Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.

2. Perbedaan
  • Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
  • Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
  • Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
  • Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
  • Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
  • Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada wahyu.
  • Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama diawali oleh keyakinan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Sekulerisasi Antara Ilmu dan Agama
Pencerahan di barat diawali dengan pergulatan antara para ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain. Para ilmuan beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin dapat dikompromikan dengan agama. Pergulatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuan. Inilah awal dari proses sekulerisasi Barat. Ilmu pengetahuan sama sekali terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Bahkan mereka cenderung mentuhankan pengetahuan itu sendiri, sehingga ilmu pengetauan dianggap sebagai solusi atas segala problematika yang dihadapi umat manusia. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan dianggap lepas dari manusia sehinga eksistensi manusi hanyalah sebagai pion pengetahuan.
Dari sini muncul gerakan Antiscience. Mereka menolak mengikuti pengetahuan secara membabi buta yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa pemahaman seperti ini hanya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sebagian mereka bahkan menyeru agar manusia menjauhkan diri dari sikap materialistis dan kembali kepada fitrah manusia.
Sayangnya pemahaman mengenai sekulerisasi ilmu pengetahuan, bahwa pengetahuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama merembet ke dunia Islam. Muncul kesan bahwa untuk dapat mengejar ketertinggalan harus meniru metodologi barat meskipun itu bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Maka mengembalikan metodologi keilmuan sebagaimana yang digariskan oleh Islam menjadi suatu keharusan.

B. Relevansi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
Aristoteles:
- Manusia adalah animal rationale
Karena itu, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup
Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan
Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional
- Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
b. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
  • Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh pengetahuan tentang manusia.
  • Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
  • Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.
B. Saran
Berdasarkan hal di atas penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih mendalami lagi ketiga bidang kajian ini, filsafat, ilmu, dan agama. Sehingga, mampu menjawab setiap permasalahan dengan bijak dan benar.










DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Nasution, Harun. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung. Pustaka Bani Quraisy, 2004.

06.08

Makalah Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu

Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu
Oleh Husnan Sulaiman, S. Pd. & Munasir, S.Pd.

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.
Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan “potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.
Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia (atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : “Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?
  2. Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
  3. Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
  4. Bagaimana hubungan antara ketiga landasan tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :
  1. Untuk mengetahui makna landasan ontologi
  2. Untuk mengetahui makna landasan epistemologi
  3. Untuk mengetahui makna landasan aksiologi
  4. Untuk mengetahui hubungan ke tiga landasan tersebut

D. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sestematika penulisan; BAB II Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan epistemologi, landasan aksiologi dan hubungan ke tiga landasan tersebut dalam filsafat ilmu. BAB III berisi tentang kesimpulan, yang memaparakan makna dan kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan dalam suatu pengkajian ilmu, yakni; Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.


BAB II
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU


A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
  • Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
  • Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
  • Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.

b. Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
  • Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
  • Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
  • Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
  • Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

3.Pluralisme
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.

4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.

5. Agnotisisme
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.

B. Landasan Epistemologi
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

C. Landasan Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan [science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan [knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa" dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
- Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change], “tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi terhadap realitas.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.
- Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.

b. Landasan Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
- Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah kriterianya ?
- Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
Inilah kajian epistemologi
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.


c. Landasan Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Suatu pertanyaan :
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
- Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi terhadap hasil akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan untuk memberikan hasil yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

BAB III
KESIMPULAN

Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia
H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.





05.42

Makalah Cabang dan Aliran filsafat

Cabang-cabang dan Aliran-aliran Filsafat, serta Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama.
Oleh:
Teni Maryatin, S.Pd
Munasir, S.Pd.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan kehidupan kita. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati, karena dianggap sebagai ilmu yang membingungkan. Memang untuk para pembelajar filsafat tingkat pemula biasanya mereka merasa sangat cemas ketika mulai memasuki bidang studi ini. Keraguan dan kecemasan ini biasanya pelan-pelan pudar ketika sudah mulai menekuni bidang ini dan akan terasa lebih menarik lagi ketika sadar bahwa filsafat adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita.
Faktor lain yang menyebabkan orang beranggapan bahwa filsafat itu ilmu yang membingungkan, karena dalam mempelajari filsafat kita diarahkan untuk menggunakan metode berpikir dalam memahami bidang kajian ilmu tersebut. Berbicara tentang berpikir sesungguhnya erat kaitannya dengan penggunaan sebuah potensi terpenting yang dianugerahkan Allah SWT kepada satu-satunya makhluk yang disebut manusia. Potensi terpenting yang dimaksud di sini adalah akal .
Dalam Al-Qur'an kata akal (al'alqlu) diungkapkan dalam kata kerja, yaitu 'aqaluh 1 ayat, ta'qilun 24 ayat, na'qilun 1 ayat, ya'qiluha 1 ayat dan ya'qilun 22 ayat. Semua diungkap dalam bentuk kata kerja (fi'il) yang mengandung arti memahami dan mengerti. Selain itu penggunaan kata akal dalam maknanya sebagai sifat berpikir yang terdapat pada manusia di dalam Al-Qur'an sering juga disamakan dengan kata 'ulu al albab (orang berpikir), 'ulul al abshar (orang berpandangan) dan kata-kata lainnya yang mengandung arti sama yaitu berpikir.
( Sofyan Sauri, 2006: 23-26).
Salah satu contoh ayat al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata akal sebagai sarana untuk berpikir adalah firman Allah SWT : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali-Imran : 190).
Menafakkuri ayat di atas, sebagai manusia yang telah dianugerahi Allah potensi yang berharga yaitu akal, kita seyogyanya dapat mengoptimalkan potensi tersebut. Salah satu upaya optimalisasi potensi akal tersebut adalah dengan mempelajari salah satu bidang ilmu yang memang banyak melibatkan akal sebagai alat untuk berpikir yaitu filsafat.
Kajian filsafat itu sendiri sebetulnya bertujuan untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu yang kemudian biasanya mempermudah kita untuk mempelajari filsafat ini secara rinci. Sistematika filsafat biasanya terbagi atas tiga cabang besar filsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Dari ketiga cabang besar tersebut lahirlah aliran-aliran dalam filsafat. (Tafsir, 2002 : 21)
Oleh karena itu, melalui makalah ini penyusun mencoba menguraikan secara sistematis bidang kajian filsafat yang intinya berisi tentang cabang-cabang besar dari teori-teori di atas dan membahas secara garis besar mengenai aliran-aliran dalam filsafat disertai bagaimana jalinan tiga disipilin ilmu yaitu pengetahuan, filsafat dan agama.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apa saja cabang-cabang filsafat itu ?
  2. Apa saja aliran-aliran dalam filsafat itu ?
  3. Bagaimana jalinan antara ilmu, filsafat dan agama ?
C. Tujuan Penulisan
Secara umum, makalah ini disusun untuk menjelaskan secara garis besar bidang kajian filsafat. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :
  1. Mengetahui cabang-cabang filsafat
  2. Mengetahui aliran-aliran filsafat
  3. Mengetahui jalinan ilmu, filsafat dan agama
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode analisis deskriptif dan kajian pustaka.
Sistematika Uraian
Sistematika penyusunan makalah ini adalah terdiri atas : BAB I yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika uraian; BAB II berisi tentang cabang-cabang, aliran-alairan dalam filsafat serta jalinan antara ilmu, filsafat dan agama; BAB III berisi kesimpulan tentang permasalahan sekitar filsafat dan pentingnya mempelajari filsafat serta garis besar bidang kajian filsafat.

BAB II
CABANG-CABANG FILSAFAT; ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT; JALINAN ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

A. Cabang-cabang Filsafat
Menguraikan tentang cabang-cabang filsafat, penyusun mencoba menuangkan hasil bacaan yang bersumber pada dua buah buku yang menjadi referensi utama, yaitu buku “Filsafat Umum” yang ditulis Tafsir (2002) dan buku “Aliran-aliran Filsafat dan Etika” yang ditulis oleh Juhaya (2005).
Mempelajari filsafat memang dirasakan sangat berguna untuk memahami bagaimana manusia berpikir. Pemikiran manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh aliran filsafat yang dianut serta yang dipahaminya. Mengingat pemikiran filsafat sangat beragam, maka cara mudah mempelajarinya adalah dengan mengklasifikasi aliran-aliran utamanya.
Secara pokok sebenarnya bidang kajian filsafat berkisar pada tiga cabang besar filsafat, yaitu : (a) Teori pengetahuan; (b) Teori hakikat; (c) Teori Nilai. Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang memiliki cabang lagi yaitu epistemologi dan logika; teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri yang kemudian disebut ontologi; dan teori nilai membicarakan guna pengetahuan yang disebut axiologi. Dari tiga cabang besar tersebut lahirlah cabang-cabang baru yang merupakan anak cabang yang kemudian melahirkan adanya aliran-aliran dalam filsafat.
Penjelasan mengenai aliran-aliran filsafat secara rinci akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Namun sebelum sampai kepada aliran-aliran filsafat, tentunya secara sistematis kita harus mengulas ketiga cabang besar diatas agar lebih memahami bagaimana objek kajian filsafat itu sebenarnya. Ketiga cabang besar itu yakni :
Pertama, teori pengetahuan atau disebut dengan epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logy, episteme berarti knowledge atau pengetahuan dan logy berati teori. Oleh sebab itu epistemologi diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Istilah epistemologi ini untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrrier pada tahun 1854. Dalam buku Filsafat Umum yang ditulis oleh Tafsir (2002), Runes menjelaskan dalam kamusnya (1971) epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge (Runes, 1971:94).
Secara ringkas pengertian epistemologi yang diungkapkan oleh Runes diatas mirip dengan inti pengertian yang disampaikan Juhaya (2005) dalam bukunya “Aliran-aliran Filsafat dan Etika”, terdapat empat persoalan pokok bidang epistemologi tersebut yaitu : Apa pengetahuan itu? Apa sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Adapun logika dilihat dari segi etimologi, perkataan logika berasal dari bahasa Yunani logike (kata sifat) yang berhubungan kata benda logo yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Logika secara terminologi mempunyai arti : ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti suapaya dapat berpikir valid.
Logika adalah salah satu cabang filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Logika membicarakan norma-norma berpikir benar agar memperoleh dan terbentuk pengetahuan yang benar. Ada dua macam logika: logika formal dan logika material. Logika formal adalah logika bentuk. Logikanya ialah agar diperoleh pengatahuan yang benar, mka bentuk berpikirnya harus benar. Soal apakah isinya benar atau salah, ini dibicarakan oleh logika material. Logika mempunyai faedah tidak hanya untuk berfilsafat tapi juga dalam bidang lainnya. Faidah itu diantaranya : (a) logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan; (b) logika menambah daya berpikir abstrak dan melatih cara mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual; (c) logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoriti.
Kedua, teori hakikat yaitu merupakan cabang filsafat yang membicarakan hakikat sesuatu. Hakikak artinya keadaaan yang sebenarnya, hakikat sebenarnya adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu itu, bukan keadaan sementara yang selalu berubah. Contoh tentang hakikat air. Air itu jika didinginkan sampai titik nol derajat celcius maka ia akan membeku, jika dipanaskan maka ia akan menguap. Teori hakikat mempunyai cabang-cabang yaitu : Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodecia, Filsafat Agama, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain. Cabang-cabang inilah yang kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang akan dibahas juga pada halaman selanjutnya.
Ketiga, teori nilai yaitu merupakan kerangka ketiga dalam ketiga dalam tiga kerangka besar filsafat. Sebelum menjelaskan teori nilai, kita ungkap terlebih dahulu apa itu nilai. Nilai artinya harga, sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang melekat pada benda dan bukan di luar benda. Teori nilai ini mencakup dua cabang filsafat yang cukup terkenal yaitu : Etika dan Estetika. Etika membicarakan soal baik-buruk perbuatan manusia. Sedangkan Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum.
Tentunya pada kesempatan ini, teori nilai tidak akan dibahas secara rinci karena secara umum teori nilai banyak berbicara tugas etika, sifat dasar etika, objek etika, metode etika serta pendekatan-pendekatanya, dan macam-macam etika serta dan secara umum penjelasan estetika yang akan lebih dirinci diuraikan lagi dalam pembahasan filsafat etika dan aliran-alirannya.
Dalam referensi lain yang penyusun temukan melalui internet, cabang-cabang filsafat ini dibicarakan lebih spesifik oleh para pemerhati filsafat, diantara ada yang membagi filsafat ini kedalam :
  1. Filsafat Alam, Obyeknya: alam kehidupan dan alam bukan kehidupan. Tujuannya: menjelaskan fenomena alam dari aspek eksistensi fenomena tersebut dan menelusuri syarat-syarat kemungkinan.
  2. Filsafat Analitis, yaitu Ilmu memusatkan perhatian pada bahasa dan upaya untuk menganalisis pernyataan (konsep, atau ungkapan kebahasaan aatau bentuk-bentuk logis. Tujuannya ialah untuk menemukan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas dan yang terbaik, yang cocok dengan fakta atau arti yang disajikan,
  3. Filsafat Bahasa Sehari-hari, yaitu yang berpandangan bahwa dengan menganalisis bahasa biasa (makna, implikasi, bentuk dan fungsinya) kita dapat memperlihatkan kebenaran mengenai kenyataan. Dengan analisis bahasa biasa kita dapat memahami masalah pokok filsafat dan sekaligus dapat memecahkannya.
  4. Filsafat Gestalt .yaitu salah satu pandangan filsafat ini berpandangan bahwa realitas merupakan dunia tempat organisme fisik memberikan tanggapan dalam proses mengatur struktur-struktur atau keseluruhan yang diamati.
  5. Filsafat Kebudayaan, yaitu filsafat yang memberikan gambaran keseluruhan mengenai gejala kebudayaan (bentuk, nilai dan kreasinya). Tugasnya untuk menyelidiki hakekat kebudayaan, memahaminya berdasarkan sebab-sebab dan kondisi-kondisinya yang esensial. Filsafat ini juga bertugas untuk menjabarkan pada tujuan-tujuannya yang paling mendasar dan karena itu juga menemukan arah dan luas perkembangan budaya.
  6. Filsafat Kehidupan, yaitu filsafat kehidupan dalam bahasa sehari-hari yang berarti (1) cara tau pandangan hidup. Dan ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis. (2) Etika sebagai ilmu yang berbicara mengenai tujuan dan kaidah-kaidah kehidupan dapat juga disebut sebagai filsafat kehidupan.

B. Aliran-aliran dalam Filsafat
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa aliran-aliran dalam filsafat ini terlahir dari cabang-cabang besar atau teori-teori yang menjadi kajian utama bidang filsafat. Dari teori pengetahuan lahir cabang epistemologi. Persoalan pertama dalam epistemologi seperti diterangkan diatas adalah tentang apa pengetahuan itu?. Pengetahuan adalah sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. (Juhaya, 2005: 9).
Selanjutnya persoalan kedua adalah tentang sumber pengetahuan manusia, yang kemudian lahir aliran-aliran dalam filsafat. Menurut Louis Q. Kattsof dalam buku yang sama mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu : (1) Empiris yang kemudian melahirkan aliran empirisme; (2) Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme; (3) Fenomena yang melahirkan aliran fenomenologi; (4) Instuisi yang melahirkan aliran instuisme; dan (5) Metode ilmiah yang merupakan gabungan antara aliran rasialisme dan empirisme. Metode ilmiah inilah yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh universitas di dunia ini.
Mari kita uraikan lagi kelima aliran-aliran tersebut diatas yang sebenarnya merupakan pokok yang menjadi fokus uraian kita pada kesempatan ini. Aliran- aliran itu adalah :
  • Aliran Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan itu adalah pengalaman inderawi. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704), analogi dari aliran ini menyebutkan bahwa es itu membeku dan dingin, karena secara pengalaman inderawi es itu dapat dilihat bentuknya beku dan rasanya dingin. Dari disinilah dapat disimpulkan bahwa menurut aliran empirisme pengetahuan itu didapat dengan perantaraan inderawi atau pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai, tetapi aliran ini mempunyai kelamahan karena sebetulnya inderawi memiliki keterbatasan dan terkadang menipu. Dari kelemahan ini muncul aliran kedua yatiu aliran Rasionalisme.
  • Aliran Rasionalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa akal adalah dasar dari kepastian pengetahuan. Tokoh aliran ini adalah Rene Descartes (1596 – 1650). Aliran ini muncul karena koreksi dari aliran Empirisme menurut kacamata aliran ini manusia akan sampai pada kebenaran semata-mata karena akal, inderawi menurut aliran Rasionalisme hanyalah merupakan bahan yang belum jelas, akal-lah yang kemudian mengatur bahan tersebut sehingga membentuk pengetahuan yang benar. Analogi menurut aliran ini adalah kenapa benda yang jauh akan kelihatan kecil ?, karena secara akal bayangan yang jatuh dimata akan kecil atau contoh analogi lain kenapa gula terasa pahit bagi orang yang demam, karena lidah orang yang sakit demam itu tidak normal.
  • Aliran Fenomenalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan didasarkan pada sebab akibat yang merupakan hubungan yang bersifat niscaya dan ditampakan oleh sebuah gejala (Pehenomenon). Tokoh aliran ini adalah Imanuel Kant yaitu seorang filosof Jerman ( abad ke-18) analogi dari aliran ini adalah tetang bagaimana memperoleh pengetahuan bahwa kuman itu menyebabkan penyakit tifus, orang yang menderita demam tifus disebabkan oleh kuman yang masuk dalam diri orang tersebut.
  • Aliran Instuisme, yatiu aliran yang berpendapat lahirnya pengetahuan yang lengkap dan utuh tidak hanya diperoleh melalui indera dan akal tetapi butuh juga instuisi utuk menangkap keseluruhan objek pengetahuan. Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson (1859 – 1941), aliran ini mirip dengan aliran Iluminasionesme atau Teori Kasyf dalam ajaran Islam yaitu pengetahuan langsung dari Tuhan yang hanya bisa diterima apabila hatinya telah bersih. Pengetahuan itu bisa didapat melalui latihan atau “riyadhah”. Contoh dari intuisi atau pengetahuan tingkat tinggi ini yang dimiliki oleh Nabi SAW (atas izin Allah) dapat melihat atau mengetahui hal-hal yang ghaib, dapat mendengar orang yang disiksa di alam kubur, menghitung tiang-tiang mesjid Al Aqsha dan sebagainya.
Metode Ilmiah, yaitu sebuah sarana untuk memperoleh pengetahuan. Metode ilmiah ini merupakan suatu metode yang menggabungkan antara pengalaman dan akal sebagai pendekatan bersama dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian-penyelesaian yang disarankan. Metode ilmiah diawali dengan melalui pengamatan-pengamatan yang selanjutnya dilakukan hipotesis. Sifat yang menonjol dari dari metode illmiah ialah digunakannya akal dan pengalaman disertai dengan sebuah unsur baru yaitu hipotesis tadi. Bila suatu hipotesis dikukuhkan kebenarannnya oleh contoh-contoh yang banyak jumlahnya, maka hipotesis tersebut kemudian dapat dipandang sebagai hukum. Metode ilmiah ini pernah di praktekkan oleh seorang ahli Astronomi yang bernama Kepler yang melakukan pengamatan tentang posisi planet Mars.
Dalam buku Filsafat Ilmu yang ditulis oleh Tafsir (2002), beliau memasukkkan aliran aliran Positivisme kedalam kelompok pengetahuan dari cabang epistemologi. Menurut beliau aliran Positisme lahir karena merupakan gabungan antara aliran-aliran empirisme dan rasionalisme yang sudah diuraikan diatas juga menyempurnakan kedua aliran tersebut. Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857) yang merupakan penganut aliran empirisme.
Aliran inilah melahirkan science knowledge (sains/ilmu pengetahuan). Menurut aliran ini kebenaran dapat diperoleh dengan akal didukung oleh bukti-bukti empiris yang diukur dan diperkuat serta dipertajam oleh eksperimen. Analogi dari aliran ini misalnya tentang panas dapat diukur dengan derajat (termometer), jauh dapat diukur dengan meteran, berat-ringan dapat diukur oleh timbangan.
Kajian pokok filsafat yang kedua adalah teori hakikat. Teori hakikat mempunyai cabang-cabang yaitu : Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodecia, Filsafat Agama, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain.
Selanjutnya dari teori hakikat atau muncul yang disebut dengan ontologi. Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Berikutnya kita akan membahas keempat aliran tersebut, yakni :
  1. Aliran Materialisme, adalah aliran yang beranggapan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri, hakikat kayu adalah kayu itu sendiri, hakikat air adalah air itu sendiri, begitu pula yang lainnnya. Jadi menurut aliran ini materilah yang hakikat;
  2. Aliran Idealisme, adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran, atau jiwa. Dunia menurut aliaran ini dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu objek semata-mata. Prinsip pokok dari idealisme adalah kesatuan organik, jadi kesimpulannya menurut aliran ini yang hakikat itu adalah ruh atau ide sedangkan materi bukan hakikat;
  3. Aliran Dualisme, adalah aliran filsafat yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat.materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
  4. Aliran Agnoticisme, adalah alirn yang mengatkan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.
Demikian aliran-aliran yang dilahirkan oleh ontologi yang merupakan salah satu cabang besar yang memiliki aliran-aliran berbeda dengan kosmologi dan antropologi yang kedua-duanya tidak memiliki cabang-cabang secara terinci.
Kosmologi itu sendiri intinya merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat asal, susunan, dan hakikat perubahan serta tujuan akhir dari jagat raya/alam besar (kosmos). Tentang kosmologi ini ada spekulasi teori kabut, teori pasang, teori ledakan dahsyat tentang susunan kosmos ada teori geosentris dan teori heliosentris.
Sedangkan Antropologi membicarakan hakikat manusia dari segi filsafat. Misalnya muncul pertanyaan : Apa manusia itu/, Apa dan dari mana asalnya?, apa akhir dan tujuannya?. Menurut filsafat mengenai asal manusia berdasarkan aliran materialisme adalah materi, sedangkan menurut aliran idealisme hidup manusai berasal dari Yang Hidup.
Filsafat yang membicarakan Tuhan adalah Theodicea atau Theologika, yaitu membicarakan Tuhan dari segi pikiran (akal): untuk membedakannya dari pembicaraan Tuhan dari segi wahyu dan iman, yang pertama itu sering disebut teologi naturalis (membicarakan Tuhan dari segi akal).
Selanjutnya mengenai fisafat agama, filsafat hukum dan filsafat pendidikan lebih lanjut dijelaskan secara spesifik dalam pembahasan tersendiri yang biasanya sudah menjadi disiplin ilmu yang menjadi kajian utama dalam perkuliahan.

C. Jalinan Ilmu, Filsafat dan Agama
Sebelum membahas bagaimana jalinan antara ilmu, filsafat dan agama, alangkah baiknya apabila kita mencoba kembali mengungkap definisi dari ilmu, filsafat dan agama tersebut walaupun sebenarnya sulit sekali mengungkap sebuah definisi karena biasanya dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang orang yang akan membuat definisi tersebut. Demikian yang diungkapkan Juhaya (2005) ketika beliau akan memberikan definisi-definisi tentang ilmu, filsafat dan agama.
Dalam bukunya yang berjudul Aliran-aliran Filsafat dan Etika beliau membuat definisi tentang ilmu, filsafat dan agama. Menurut beliau yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Jadi secara umum sebenarnya ilmu itu berarti tahu/pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan sebagainya. Pada dasarnya ilmu/pengetahuan mempunyai tiga kriteria, yaitu ; (a) adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran;(b) persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya; dan (c) adanya keyakinan tentang persesuaian itu.
Adapun filsafat mempunyai arti yang diambil dari kata Philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos yang artinya cinta atau suka dan shopia artinya bijaksana. Dengan demikian kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut Philosopher atau Failasuf. Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam diantaranya yang diungkapkan Al-Farabi (wafat 950 M) seorang filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya.
Sedangkan agama memiliki arti yang berasal dari bahasa sansakerta yaitu a-gama, a=tidak; gama=kacau; agama berarti tidak kacau. Dalam arti luas agama mempunyai makna bahwa manusia yang beragama atau menjalankan aturan agama maka hidupnya tidak akan kacau balau.
Lalu bagaimana sebetulnya jalinan antara ilmu, filsafat dan agama? Marilah kita kaji dimana titik temu antara ilmu dengan filsafat dan titik temu antara agama dan filsafat. Ada beberapa hal dimana filsafat dan ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.
Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat, ilmu pengetahuan juga melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangakan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sementara filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Sebagai contoh tentang konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembalai pemikiran kita hampir dalam segala bidang.
Kesimpulannya kontribusi yang lebih jauh yang diberikan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai. Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan ari-arti dari objeknya masing-masing. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan meraka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu.
Dalam perjalanannya filsafat dengan ilmu juga terkadang memiliki pertentangan pada kecondongan atau titik penekanan, bukan pada penekanan yang mutlak. Penekanan itu dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan berikut ini, yaitu :
  • Ilmu-ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba melayani seluruh manusia dan lebih bersifat inklusif tidak ekslusif;
  • Ilmu lebih analitik dan lebih deskriptif, sedangkan filsafat lebih sintetik dan sinoptik;
  • Ilmu menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya; sedangkan filsafat berusaha untuk mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif;
  • Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi, sedangkan filsafat lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga bidang pengalaman;
  • Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif, sedangkan filsafat bersifat radikal dan subjektif;
Adapun titik temu antara agama dan filsafat adalah baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi, yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rosul-Nya.
Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada hal-hal yang penting, misalnya Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada-atau paling tidak-mungkin ada, karena objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Tegasnya akan kita lihat perbedaan-perbedaan antara agama dan filsafat sebagai berikut :
  • Filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan wahyu ilahi, oleh karena itu agama sering juga disebut kepercayaan alasannya karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai;
  • Dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan bathin, sedangkan dalam agama untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman;
  • Agama beralatkan kepercayaan, sedangkan filsafat berdasarkan penelitian.
Demikianlah antara ilmu, filsafat dan agama sebenarnya mempunyai jalinan dan saling berhubungan satu sama lain yang memiliki kesamaan yaitu mencari hakikat kebenaran, meski ada beberapa perbedaan terutama yang berkaitan dengan objek forma, sumber, cara pandang, hasil serta alat ukurnya.
Titik temu dari ketiga disiplin ilmu itu adalah bahwa ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan Agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.
Secara ringkas jalinan ilmu, filsafat dan agama dapat digambarkan sebagai berikut :





BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah sebuah ilmu yang sebenarnya bisa dipelajari oleh semua orang. Walaupun memang sedikit rumit bagi sebagian anggapan orang tentang filsafat, tetapi apabila kita dapat mempelajarinya secara sistematik, maka akan didapat pemahaman yang komprehensif mengenai filsafat tersebut.
Bidang kajian filsafat secara umum dapat dibagi ke dalam tiga cabang besar yaitu : teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai. Dari ketiga teori tersebut lahirlah cabang-cabang yang kemudian di kembangkan oleh para ahli filsafat menjadi aliran yang bermacam-macam.
Filsafat dalam perkembangannya erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan agama, sehingga terjadinya jalinan yang kuat antara ketiga disiplin ilmu tersebut. ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan Agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.
Akhirnya sebagai manusia yang dianugerahi potensi berharga yaitu akal, sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT dengan mendaya gunakan segala potensi yang dimiliki oleh akal tersebut melalui belajar filsafat, karena dengan filsafat tersebut kita sebagai manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, dan berefleksi tentang bagaimana kita sebagai seorang manusia memandang dunia dan menata kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia
Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.