10.10

Konsep Dasar dan Filosofi Pendidikan Nilai

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.
Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain.
Dengan demikian, salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka kami menyusun sebuah makalah sederhana yang berjudul “Makna dan Filosofi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum” sebagai sebuah atensi dalam membumikan Pendidikan Nilai di Indonesia pada umumnya dan khususnya di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Pembahasan makalah ini dibatasi oleh beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan nilai?
2. Bagaimana klasifikasi nilai?
3. Bagaimana hierarki nilai?
4. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Nilai?
5. Apa Tujuan Pendidikan Nilai?
6. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Umum?
7. Bagaimana filosofi Pendidikan Nilai?

C. Tujuan Penulisan
Secara umum, penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan makna Pendidikan Nilai dan filosofinya. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui definisi nilai
2. Mengetahui klasifikasi dan hierarki nilai
3. Mengetahui definisi Pendidikan Nilai
4. Mengetahui tujuan Pendidikan Nilai
5. Mengetahui definisi Pendidikan Umum
6. Mengetahui filosofi Pendidikan Nilai

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode analisis deskriftif dan kajian pustaka.

E. Sistematika Uraian
Dalam bab I dijelaskan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika uraian. Sementara dalam bab II dibahas mengenai definisi nilai, klasifikasi nilai, hierarki nilai, definisi Pendidikan Nilai, tujuan Pendidikan Nilai, definisi Pendidikan Umum, dan filosofi Pendidikan Nilai. Sedangkan dalam bab III berisi kesimpulan.


BAB II
MAKNA DAN FILOSOFI PENDIDIKAN NILAI
DALAM PENDIDIKAN UMUM
A. Definisi Nilai
Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga “ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.
Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan Kluckhohn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan sikap.
Sementara itu, Mulyana (2004: 11) menyederhanakan definisi nilai sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit.

B. Klasifikasi Nilai
Dalam teori nilai yang digagasnya, Spranger (Mulyana, 2004: 32) menjelaskan ada enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Ke-enam nilai tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Nilai teoretik: Nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal. Oleh karena itu nilai erat dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah dan pembuktian ilmiah. Komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah para filosof dan ilmuwan.
  2. Nilai ekonomis: Nilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah “harga” dari suatu barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Oleh karena pertimbangan nilai ini relatif pragmatis, Spranger melihat bahwa dalam kehidupan manusia seringkali terjadi konflik antara kebutuhan nilai ekonomis ini dengan nilai lainnya. Kelompok manusia yang tertarik nilai ini adalah para pengusaha dan ekonom.
  3. Nilai estetik: Nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai estetik berbeda dengan nilai teoretik. Nilai estetik lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif, sedangkan nilai teroretik lebih melibatkan penilaian obyektif yang diambil dari kesimpulan atas sejumlah fakta kehidupan. Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model.
  4. Nilai sosial: Nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang individualistik dengan yang altruistik. Sikap yang tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, serta perasaan simpati dan empati merupakan kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Nilai sosial ini banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia.
  5. Nilai politik: Nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh pada diri seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang kurang tertarik pada nilai ini. Dilihat dari kadar kepemilikannya nilai politik memang menjadi tujuan utama orang-orang tertentu seperti para politisi dan penguasa.
  6. Nilai agama: Secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan, antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan, antara ucapan dengan tindakan, antara i’tikad dengan perbuatan. Spranger melihat bahwa pada sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam, atau orang-orang sholeh.


C. Hirarki Nilai
Menurut Scheler (Mulyana, 2004: 38), nilai dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada juga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, nilai menurut Scheler memiliki hierarki yang dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
  1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederet nilai yang menyenangkan atau sebaliknya yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita.
  2. Nilai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan lain-lain.
  3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak bergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.
  4. Nilai Kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci maupun tidak suci. Nilai-nilai ini terutama lahir dari ketuhanan sebagai nilai tertinggi.
Hierarki nilai tersebut ditetapkan Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu: semakin lama semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya.

D. Definisi Pendidikan Nilai
Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control).
Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik.
Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral.
Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat.

E. Tujuan Pendidikan Nilai
Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah:
to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them”.

Lorraine (1996: 9) pun berpendapat:
in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society”.

Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).

F. Definisi Pendidikan Umum
Menurut Cohen & Arthur (1998) yang dimaksud dengan Pendidikan Umum adalah the process of developing a framework on which to place knowledge stemming from various souerce. Pendidikan Umum adalah proses pembangunan suatu kerangka kerja yang tekanannya pada pengetahuan dari bermacam-macam sumber.
R. O. Hand & P. B. Bibna (1990: 76) menjelaskan bahwa:
General Education is the making of: 1) complete man, 2) mental physical heart, 3) social adjustment, understanding of other people, responsivenes to other need with is counterpart of good manners, 4) personal adjustment, the individual understanding of himselves, his poises and adequence in copying with real situation.”

Wolf & Klafki (1985: 321) mengatakan: “General Education is the development of human power , the comprehensive education of man, the education of head, heart and hand, general education for all.”
P. H. Phenix (1964: 7) pun memiliki definisi sendiri. Menurutnya Pendidikan Nilai adalah: “General Education should develope in everyone, general education is the process of engineering essential meaning, to lead to fulfillment of human live the entargement and deeping of meaning.”
Sementara itu Draper, E. (1980: 25) menyebutkan: ”General Education is that every one must have for satisfactory and efficient living, regardless of what one plans to make his life work”.
Dalam Ventura College (2004: 1) Pendidikan Umum diartikan sebagai berikut:
General Education: A program of courses in the arts and sciences that provides students with a broad educational experience. Courses typically are introductory in nature and provide students with fundamental skills and knowledge in mathematics, English, arts, humanities, and physical, biological, and social sciences. Transfer students often take these classes while attending a community college. Completion of a general education program is required for a baccalaureate degree.”
Dalam SK Mendiknas No.008-E/U/1975 disebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik.
Mulyana (1999: 121) mengatakan bahwa Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang harmonis yang mengembangkan aspek kogitif, afektif, dan psikomotorik. Namun penekannya lebih besar pada aspek afektif (nilai, moral, sikap, dsb).
Faridah (1992: 55) menyatakan bahwa Pendidikan Umum adalah program pendidikan yang membina kepribadian warga negara peserta didik menjadi manusia seutuhnya melalui pembinaan nilai-nilai untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Pendidikan Umum, yaitu membina manusia indonesia seutuhnya.
Sumaatmadja (2002: 93-94) mengungkapkan bahwa tujuan Pendidikan Umum di Indonesia dalam ketetapan MPR II/MPR/1988 sangat rinci, yakni; aspek kognitif (kecerdasan, inovatif, dan kreatif), aspek afektif (beriman, bertaqwa, berbudi pekerti, berkepribadian, disiplin, tangguh, tanggung jawab, kesetiakawanan sosial dan percaya diri), dan aspek psikomotornya (bekerja keras, tangguh, terampil, sehat jasmani dan rohani). Bila dikaitkan dengan bobot nalarnya dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah nalar intelektual, emosional, sosial dan spiritual.
Djahiri (2004: 1) mengatakan tujuan Pendidikan Umum sebagai pembelajaran adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, baik secara kodrati Ilahiyyah maupun sebagai insan sosial-politik-ekonomi. Sebagai insan kodrati, Allah melengkapi potensi ragawi dan panca indera manusia dengan akal pikiran dan hati nurani (al-Qalb) berikut fungsi dan perannya.
Sikun Pribadi (1981: 11) Pendidikan Umum itu mempunyai tujuan; (a) membiasakan siswa berpikir obyektif, kritis, dan terbuka, (b) memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan; (c) menjadi manusia yang sadar akan dirinya, sebagai makhluk, sebagai manusia, dan sebagai pria dan wanita, dan sebagai warga negara; (d) mampu menghadapi tugasnya, bukan saja karena menguasai bidang profesinya, tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa makna pendidikan nilai dalam Pendidikan Umum adalah suatu sistem pendidikan yang membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai kognitif dan afektif agar ia mampu menjadi manusia seutuhnya, manusia yang tidak hanya cerdas akalnya, namun juga lembut hatinya dan terampil tangannya.

G. Filosofi Pendidikan Nilai
Secara filosofis, pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Pendidikan itu me-manusia-kan manusia (Driyarkara, 1991). Pendidikan adalah untuk kehidupan, bukan untuk memenuhi ambisi-ambisi yang bersifat pragmatis. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan.
Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan nilai-nilai. Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena ciri kehidupan yang baik terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain.
Menurut Piet G.O, nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui (Adimassana, 2001). Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus.
Nilai merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9 & Kneller, 19971: 2).
Apa sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9).
Lalu, dimana sesungguhnya kebenaran sejati itu dapat ditemukan? Kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dengan memulai melakukan pencarian di dalam diri. Pencarian sesuatu dalam diri merupakan awal dari pencarian kebenaran sejati. Inilah yang disebut dengan pencarian pengetahuan diri sejati, self-knowledge, atau pengetahuan tentang diri atau kesadaran jati diri, self-realization (Na-Ayudhya, 2008: 8-9). Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa yang mengerti dirinya ia akan menemukan Tuhannya. Tuhan adalah sumber dan sekaligus kebenaran sejati. Pencarian pengetahuan diri sejati atau pengembangan kesadaran jati diri merupakan topik utama dalam wacana kajian filsafat pendidikan nilai.
Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai.

1. Dasar Ontologis Pendidikan Nilai
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai
Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
3. Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai
Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.


BAB III
KESIMPULAN

Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis nilai dan akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela. Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan, perkosaan, minum minuman keras, dan bahkan pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis nilai dan akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsanya.
Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.
Di sisi lain, tidak dimungkiri bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Di samping itu, penilaian dalam mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa.
Memperhatikan hal-hal tersebut, terjadi gugatan dan hujatan terhadap dunia pendidikan, kepada guru, dan terhadap proses pembelajaran. Di samping itu, terjadi pembicaraan dan diskusi tentang perlunya pemberian pelajaran nilai budi pekerti secara terpisah dari mata-mata pelajaran yang sudah ada atau secara terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran yang sudah ada (PPKN, Pendidikan Agama, dan sejenisnya) kepada para siswa sekolah dasar pada khususnya.
Oleh karena itu, reposisi, re-evaluasi dan redefinisi terhadap "rumpun" Pendidikan Nilai khususnya, dipandang perlu agar tujuan kurikuler dan tujuan nasional pendidikan yang bermaksud menyiapkan generasi bangsa yang berwatak luhur dapat tercapai.

Penyusun:
Firman Robiansyah, Teni Maryatin dan Ahmad Sarbini (Mahasiswa S2 dan S3 PU UPI)

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Dari Non Vitae sed Scholae Discimus Menuju Non Scholae sed Vitae Discimu. http://krisnaster.blogspot.com, 10 Oktober 2008.
Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
George F. Keneller. tt. Introduction to The Philosophy of Education. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai. 2008. Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values Integrated Intructional Model). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia. Jakarta.
Kurniawan, K. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Moral. http://groups.google.co.id, 27 Agustus 2008.
Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Somad, M.A. (2007). Pengembangan Model Pembinaan Nilai-nilai Keimanan dan Keberagamaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung). Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan.
Sudrajat, A. (2008) Konsep, Ruang Lingkup dan Sasaran Pendidikan Umum. [Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/ konsep-ruang-lingkup-dan-sasaran-pendidikan-umum. [11 Nov 2008]
Tiweng, T. (2008). Penanaman Pendidikan Nilai. [Online]. Tersedia: http://www. freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00225.html. [11 November 2008]

Trimo. (2007). Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0807trimo.html. [16 Sept 2008]

Zakaria, T.R. (2008) Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. [Online]. Tersedia: http://groups.yahoo. com /group/pakguruonline/message/131. [11 November 2008)

0 komentar: