09.42

Proposal Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga serta Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENANAMAN NILAI BUDI PEKERTI ANAK
DI RW 01 DESA RANCAHILIR PAMANUKAN SUBANG
Oleh Munasir, S.Pd.

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan telebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Keluargalah yang akan memberikan warna kehidupan seorang anak, baik perilaku, budi pekerti maupun adat kebiasaan sehari-hari. Keluarga jualah tempat dimana seorang anak mendapat tempaan pertama kali yang kemudian menentukan baik buruk kehidupan setelahnya di masyarakat. Sehingga tidak salah lagi kalau keluarga adalah elemen penting dalam menentukan baik-buruknya masyarakat (Athiyah, 1993: 133).
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting, terutama ibu. Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya (Daradjat, 1995: 47). Dalam hal ini peranan seorang ibu sangat besar dalam menentukan keberhasilan karier anaknya sebagai anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mulai menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Dalam hal ini faktor penting yang memegang peranan dalam menentukan kehidupan anak adalah pendidikan orang tua. yang selanjutnya digabungkan menjadi pendidikan agama.
Pada setiap anak terdapat suatu dorongan dan suatu daya untuk meniru. Dengan dorongan ini anak dapat mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Apa saja yang didengarnya dan dilihat selalu ditirunya tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Dalam hal ini sangat diharapkan kewaspadaan serta perhatian yang besar dari orang tua. Karena masa meniru ini secara tidak langsung turut membentuk watak dan karakter anak di kemudian hari. Sebagaimana Rasulullah SAW.,bersabda: Artinya: Dari Abu Hurairah, r.a., berkata: Bersabda Rasulullah SAW.: “Tidaklah seseorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasronikannya atau memajusikannya” (HR. Bukhari).
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada orang tuanya, karena itu orang tua harus menjaga dan memelihara serta menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerima. Karena manusia adalah milik Allah SWT, mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada Allah SWT. Mengingat strategisnya jalur pendidikan keluarga, dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN, ps. 10. 5) juga disebutkan arah yang seharusnya ditempuh yakni: pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Thoha, 1996: 103).
Pendidikan keluarga diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadi manusia yang utuh, yaitu manusia yang berbudi luhur, cerdas, dan terampil. Sehingga, di masa mendatang anak tersebut menjadi manusia yang baik, anggota masyarakat dan warga Negara yang baik. Pendidikan agama (khususnya agama Islam) merupakan pendidikan yang sangat sesuai untuk diterapkan dalam rangka pembentukan karakter (akhlak) anak. Karena di dalam pendidikan agama Islam mencakup pendidikan nilai budi pekerti, nilai keyakinan (aqidah), dan nilai pengabdian (ibadah).
Pendidikan agama yang diberikan sejak dini menuntut peran serta keluarga, karena telah diketahui sebelumnya bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama dan utama yang dapat memberikan pengaruh kepada anak. Pelaksanaan pendidikan agama pada anak dalam keluarga di pengaruhi oleh adanya dorongan dari anak itu sendiri dan juga adanya dorongan keluarga. Setiap orang mengharapkan rumah tangga yang aman, tentram dan sejahtera. Dalam kehidupan keluarga, setiap keluarga mendambakan anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Anak merupakan amanat Allah SWT kepada orang tuanya untuk diasuh, dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian orang tua dalam pandangan agama Islam mempunyai peran serta tugas utama dan pertama dalam kelangsungan pendidikan anak-anaknya, baik itu sebagai guru, pedagang, atau dia seorang petani.
Tugas orang tua untuk mendidik keluarga khusus anak-anaknya, secara umum Allah SWT tegaskan dalam al-Qur’an surat At Tahrim (66) ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman periharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dengan demikian pendidikan dalam lingkungan keluarga sangat memberikan pengaruh dalam pembentukan keagamaan, watak serta kepribadiaan anak.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul “Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga dan Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak di RW 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang”
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah dan menghindari salah pengertian serta mempertegas ruang lingkup pembahasan, maka penulis memandang perlu menyampaikan batasan-batasan terhadap beberapa istilah yang terdapat dalam judul di atas. Adapun istilah-istilah yang perlu dijelaskan antara lain :
  • Pendidikan agama Islam yang dimaksud di sini adalah pendidikan aqidah, ibadah, dan pendidikan akhlak.
  • Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008).
  • Anak yang dimaksud di sini adalah anak yang masih usia sekolah.
  • Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).
  • Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat (draft kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001).
Berdasarkan pada masalah tersebut, maka penulis membatasi hanya pada wilayah Rw. 01 desa Rancahilir Pamanukan Subang, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga?
  2. Usaha-usaha apa sajakah yang telah dilakukan keluarga terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak?
  3. Bagaimanakah implikasi pendidikan agama Islam terhadap penanaman nilai budi pekerti pada anak?
  4. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam di wilayah Rw. 01 Desa Ranacahilir Pamanukan Subang.
  2. Untuk mengetahui seberapa besar peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di wilayah Rw. 01 Desa Ranacahilir Pamanukan Subang.
  3. Untuk mengetahui usaha-usaha apa yang dilakukan oleh keluarga terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak.
  4. Untuk mengetahui apakah pendidikan agama Islam itu sangat penting dalam keluarga.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
  • Secara teoritis; dapat menambah hazanah keilmuan khususnya dalam rangka pelaksanaan pendidikan agama Islam di keluarga.
  • Secara praktis; dapat dijadikan referensi para orang tua dan pendidik dalam mendidik anak-anaknya.
  • Secara umum; memberikan gambaran fenomena pendidikan agama Islam yang dilaksanakan oleh keluarga terhadap anak-anaknya.
D. DEFINISI OPERASIONAL
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
  • Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman (Ramayulis, 2005: 21).
  • Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008).
  • Anak yang dimaksud di sini adalah anak yang masih usia sekolah.
  • Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).
  • Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat (draft kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001).

E. KERANGKA TEORITIS
A. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Menurut Zakiyah Darajat Pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Sedangkan menurut A. Tafsir pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Majid dan Andayani, 2004: 130).
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Muhaimin, 2004: 78)
Dari beberapa pengertian pendidikan agama Islam di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk menyiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. dan berakhlak mulia dalam kehidupannya.

2. Kedudukan Pendidikan Agama Islam
Bila seseorang percaya bahwa agama itu adalah sesuatu yang benar, maka timbullah perasaan suka terhadap agama. Perasaan seperti ini merupakan komponen afektif dari sikap kegamaan. Selanjutnya dari adanya kepercayaan dan perasaan senang seseorang itu akan mendorong untuk berperilaku keagamaan atau yang dikenal dengan pengamalan ajaran agama. Dengan demikian konsisten antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, dan perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dengan perilaku terhadap agama sebagai komponen kognitif menjadi landasan pembentukan sikap keagamaan. Baik buruknya keagamaan seseorang tergantung kepada tingkat kepercayaan terhadap agama. Sikap keagamaan mencakup semua aspek yang berhubungan dengan keagamaan sepanjang yang bisa dirasakan dan dijangkau oleh anak di lingkungan keluarga dan sekolah, seperti sikap yang berhubungan dengan aspek keimanan, ibadah, akhlak, dan muamalah.
Sikap keagamaan adalah suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
Ada tiga komponen sikap keagamaan:
  • Komponen Kognisi, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala fikiran seperti ide, kepercayaan dan konsep.
  • Komponen Afeksi, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala perasaan (emosional: seperti senang, tidak senang, setuju)
  • Komponen Konasi, adalah merupakan kecenderungan untuk berbuat, seperti memberi pertolongan, menjauhkan diri, mengabdi dan sebagainya (Jalaludin, 1996: 212).
Pendidikan agama mempunyai kedudukan yang tinggi dan paling utama, karena pendidikan agama menjamin untuk memperbaiki akhlak anak-anak didik dan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi, serta berbahagia dalam hidup dan kehidupannya. Pendidikan agama membersihkan hati dan mensucikan jiwa, serta mendidik hati nurani dan mencetak mereka agar berkelakuan yang baik dan mendorong mereka untuk memperbuat pekerjaan yang mulia. Pendidikan agama memelihara anak-anak, supaya mereka tidak menuruti nafsu yang murka, dan menjaga mereka supaya jangan jatuh ke lembah kehinaan dan kesesatan. Pendidikan agama menerangi anak-anak supaya melalui jalan yang lurus, jalan kebaikan, jalan kesurga. Sebab itu mereka patuh mengikuti perintah Allah, serta berhubungan baik dengan teman sejawatnya dan bangsanya, berdasarkan cinta-mencintai, tolong-menolong dan nasehat-menasehati (Yunus, 1993: 7-8).
Oleh sebab itu pendidikan agama harus diberikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai keperguruan tinggi. Dengan demikian pendidikan agama sangat berperan dalam memperbaiki akhlak anak-anak untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka, agar mereka berkepribadian baik dalam kehidupannya. Dengan pendidikan agama, maka anak-anak menjadi tahu dan mengerti akan kewajibannya sebagai umat beragama, sehingga ia mengikuti aturan yang telah ditetapkan dan menjauhi larangan agama.

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam yaitu: (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam; (2) dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam; (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam; dan (4) dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Muhaimin, 2005: 78)
Tujuan Pendidikan agama dalam segala tingkat pengajaran umum adalah sbb:
  • Menanamkan perasaan cinta dan taat kepada Allah dalam hati kanak-kanak yaitu dengan mengingatkan nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya.
  • Menanamkan itikad yang benar dan kepercayaan yang betul dalam dada kanak-kanak.
  • Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya mengikut suruhan Allah dan meninggalkan segala laranganNya, baik terhadap Allah ataupun terhadap masyarakat, yaitu dengan mengisi hati mereka, supaya takut kepada Allah dan ingin akan pahalanya.
  • Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya membiasakan akhlak yang mulia
  • dan adat kebiasaan yang baik.
  • Mengajar pelajaran-pelajaran, supaya mengetahui macam-macam ibadat yang wajib dikerjakan dan cara melakukannya, serta mengetahui hikmah-hikmah dan faedah-faedahnya dan pengaruhnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Begitu juga mengajarkan hukum-hukum agama yang perlu diketahui oleh tiap-tiap orang Islam, serta taat mengikutnya.
  • Memberi petunjuk mereka untuk hidup di dunia dan menuju akhirat.
  • Memberikan contoh dan tiru teladan yang baik, serta pengajaran dan nasehatnasehat.
  • Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik yang berbudi luhur dan berakhlak mulia, serta berpegang teguh dengan ajaran agama (Yunus, 1983)
Dari berbagai penelitian tentang tujuan pendidikan agama di atas, bahwa pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan. Karena itu terdapat beberapa konsep dari tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri, di antaranya bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membina serta memelihara Islam sesuai dengan syari’ah serta memanfaatkannya sesuai dengan Aqidah dan akhlak Islami. Sebagaimana dalam fiman Allah Swt dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S ADz Dzariyaat: 51:56 ).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah, menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya, memelihara, memperbaiki dan meningkatkan hubungan antar manusia dan lingkungan.

4. Pentingnya Pendidikan Agama dalam Keluarga
Setiap orang tua tentu mendambakan anaknya menjadi anak yang saleh, yang memberi kesenangan dan kebanggaan kepada mereka. Kehidupan seorang anak tak lepas dari keluarga (orang tua), karena sebagian besar waktu anak terletak dalam keluarga. Peran orang tua yang paling mendasar didalam mendidik agama kepada anak-anak mereka adalah sebagai pendidik yang pertama dan utama, karena dari orang tualah anak pertama kali menerima pendidikan,baik itu pendidikan umum maupun agama.
Adapun peranan orang tua dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) orang tua berfungsi sebagai pendidik keluarga, 2) orang tua berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung keluarga (Arifin, 1978: 80).
1. Orang tua sebagai pendidik keluarga
Dari orang tualah anak-anak menerima pendidikan, dan bentuk pertama dari pendidikan itu terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu orang tua memegang peranan penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak. Agar pendidikan anak dapat berhasil dengan baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendidik antara lain:
a. Mendidik dengan ketauladanan (contoh)
Ketauladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang paling efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya. Apabila kita perhatikan cara Luqman mendidik anaknya yang terdapat dalam surat Luqman ayat 15 bahwa nilai-nilai agama mulai dari penampilan pribadi luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah Swt dan bijaksana dalam segala hal, kemudian yang di didik dan di nasehatkan kepada anaknya adalah kebulatan iman kepada Allah Swt semata, akhlak dan sopan santun terhadap kedua orang tua, kepada manusia dan taat beribadah.
Sehubungan dengan hal tersebut, hendaklah orang tua selaku memberikan contoh yang ideal kepada anak-anaknya, sering terlihat oleh anak melaksanakan sholat, bergaul dengan sopan santun. Berbicara dengan lemah lembut dan lainlainnya. Dan semua itu akan ditiru dan dijadikan contoh oleh anak.
b. Mendidik dengan adab pembiasaan dan latihan.
Setiap anak dalam keadaan suci, artinya ia dilahirkan di atas fitrah (kesucian) bertauhid dan beriman kepada Allah Swt. Oleh karena itu menjadi kewajiban orang tua untuk memulai dan menerapkan kebiasaan, pengajaran dan pendidikan serta menumbuhkan dan mengajak anak kedalam tauhid murni dan akhlak mulia. Hendaknya setiap orang tua menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan itu akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan terlihat jelas dan kuat, sehingga telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Ulwan (1992: 65) mengemukakan bahwa, “Pendidikan dengan pembiasaan dan latihan merupakan salah satu penunjang pokok pendidikan dan merupakan salah satu sarana dalam upaya menumbuhkan keimanan anak dan meluruskan moralnya”.
Di sinilah bahwa pembiasaan dan latihan sebagai suatu cara atau metode mempunyai peranan yang sangat besar sekali dalam menanamkan pendidikan pada anak sebagai upaya membina akhlaknya. Peranan pembiasaan dan latihan ini bertujuan agar ketika anak tumbuh besar dan dewasa, ia akan terbiasa melaksanakan ajaran-ajaran agama dan tidak merasa berat melakukannya. Pembiasaan dan latihan jika dilakukan berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang nantinya membuat anak cenderung melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk dengan mudah.
c. Mendidik dengan nasehat
Di antara mendidik yang efektif di dalam usaha membentuk keimanan anak, mempersiapkan moral, psikis dan sosial adalah mendidik dengan nasehat. Sebab nasehat ini dapat membukakan mata anak-anak tentang hakikat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur, menghiasinya dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam (Ulwan, 1997: 66). Nasehat yang tulus berbekas dan berpengaruh jika memasuki jiwa yang bening, hati terbuka, akal yang bijak dan berpikir. Nasehat tersebut akan mendapat tanggapan secepatnya dan meniggalkan bekas yang dalam. Al Qur’an telah menegaskan pengetian ini dalam banyak ayatnya, dan berulang kali menyebutkan manfaat dari peringatan dengan kata-kata yang mengandung petunjuk dan nasehat yang tulus, di antaranya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Q.S Qaaf: 50:37)
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa'at bagi orang-orang yang beriman”.(Q.S Dzariyat: 51:55)
Nasehat sangat berperan dalam menjelaskan kepada anak tentang segala hakekat serta menghiasinya dengan akhlak mulia. Nasehat orang tua jauh lebih baik dari pada orang lain, karena orang tualah yang selalu memberikan kasih sayang serta contoh perilaku yang baik kepada anaknya. Disamping memberikan bimbingan serta dukungan ketika anak mendapat kesulitan atau masalah, begitupun sebaliknya ketika anak mendapatkan prestasi.

d. Mendidik dengan pengawasan
Pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam upaya membentuk akidah dan moral, mengasihinya dan mempersiapkan secara psikis dan sosial, memantau secara terus menerus tentang keadaannya baik dalam pendidikan jasmani maupun dalam hal belajarnya. Mendidik yang disertai pengawasan bertujuan untuk melihat langsung tentang bagaimana keadaan tingkah laku anak sehari-harinya baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Di lingkungan keluarga hendaknya anak tidak selalu dimarahi apabila ia berbuat salah, tetapi ditegur dan dinasehati dengan baik. Sedangkan di lingkungan sekolah, pertama-tama anak hendaknya diantar apabila ia ingin pergi ke sekolah. Supaya ia nanti terbiasa berangkat kesekolah dengan sendiri. Begitu pula setelah anak tiba di rumah ketika pulang dari sekolah hendaknya ditanyakan kembali pelajaran yang ia dapat dari gurunya.
2. Orang tua sebagai pemelihara dan pelindung keluarga
Selain mendidik, orang tua juga berperan dan bertugas melindungi keluarga dan memelihara keselamatan keluarga, baik dari segi moril maupun materil, dalam hal moril antara lain orang tua berkewajiban memerintahkan anak anaknya untuk taat kepada segala perintah Allah Swt., seperti sholat, puasa dan lain-lainnya. Sedangkan dalam hal materil bertujuan untuk kelangsungan kehidupan, antara lain berupa mencari nafkah (Rahmat, 1994: 20)
Menurut Naufal (1994: 160), agar berhasil dalam mendidik anak, maka orang tua harus lebih dahulu memelihara diri dari hal-hal yang tidak pantas, serta melaksanakan perintah agama dengan baik. Sebab anak lebih cenderung meniru dan mengikuti kebiasaan yang ada dalam lingkungannya. Walhasil mendidik anak dengan contoh perilaku itu lebih baik dari pada dengan nasehat-nasehat lisan. Untuk itulah perlu kiranya diciptakan lingkungan keluarga yang islami. Misalnya, di dalam rumah ada tulisan-tulisan al-qur’an dan hadist (sebagai hiasan dinding), sering diputar kaset bacaan al-Qur’an, atau anak diajak langsung ke tempat peribadatan (masjid dan majlis taklim) atau bahkan diajak shalat bersama kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut Shaleh (2000: 96), ada tiga macam lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan proses belajar pendidikan agama di sekolah yaitu:
Pertama, keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan agama bagi perkembangan anak. Orang tua dari lingkungan keluarga yang demikian akan selalu medorong untuk kemajuan pendidikan agama serta kebersamaan mengajak anak untuk menjalankan agamanya. Orang tua mendatangkan guru ngaji atau privat agama di rumah serta menyuruh anaknya untuk belajar di madrasah diniyah dan mengikuti kursus agama.
Kedua, keluarga yang acuh tak acuh terhadap pendidikan keagamaan anak-anaknya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini tidak mengambil peranan untuk mendorong atau melarang terhadap kegiatan atau sikap keagamaan yang dijalani anak-anaknya.
Ketiga, keluarga yang antipati terhadap dampak dari keberadaan pendidikan agama di sekolah atau dari masyarakat sekitarnya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini akan menghalangi dan mensikapi dengan kebencian terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anaknya dan keluarga lainnya.
Banyak alasan mengapa pendidikan agama di rumah tangga sangat penting. Alasan pertama, pendidikan di masyarakat, rumah ibadah, sekolah frekuensinya rendah. Pendidikan agama di masyarakat hanya berlangsung beberapa jam saja setiap minggu, di rumah ibadah seperti masjid, juga sebentar, di sekolah hanya dua jam pelajaran setiap minggu. Alasan kedua, dan ini paling penting, inti pendidikan agama Islam ialah penanaman iman. Penanaman iman itu hanya mungkin dilaksanakan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari dan itu hanya mungkin dilakukan di rumah. Pendidikan agama itu intinya ialah pendidikan keberimanan, yaitu usaha-usaha menanamkan keimanan di hati anak-anak kita (Tafsir, 1999: 134)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik, khususnya di dalam melindungi keluarga dan memelihara keselamatan keluarga. Melindungi keluarga bukan hanya memberikan tempat tinggal saja, tetapi memberikan perlindungan supaya keluarga kita terhindar dari mala petaka baik didunia maupun di akherat nanti yaitu dengan cara mengajak keluarga kita kepada perbuatan-perbuatan yang perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangan-larangannya. Memelihara keselamatan keluarga yaitu mengajarkan keluarga kita supaya taat kepada Allah SWT, agar keluarga kita diberikan keselamatan oleh Allah SWT baik di dunia dan akherat.
Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga harus benar-benar dilaksanakan. Dan sebagai orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anknya, karena anak itu sifatnya menerima semua yang dilkukan, yang dilukiskan dan condong kepada semua yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu akan hidup bahagia di dunia dan di akherat. Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja, maka anak itu akan celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya.

B. Peranan Keluarga dalam Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Peter Murdock, 1949).
Pengertian-pengertian lainnya sebagai berikut:
  • Keluarga (bahasa) berasal dari dua struktur kata, yakni kata kula dan warga. Kula berarti abdi atau hamba. Warga berarti anggota. (Hidayat Y.,2008: 31)
  • Keluarga adalah sanak saudara yang bertalian darah karena faktor keturunan yang dihasilkan atas dasar perkawinan. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1980: 471)
  • Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu orang tua (keluarga) mempunyai peranan yang dominan dalam pengembangan kesadaran beragama anak. (Yusuf LN, 2008: 41)
  • Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)
  • Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)
  • Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.
Menurut Amini (107: 2006), keluarga adalah orang-orang yang secara terus menerus atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga, diantara mereka disebabkan mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang menyebabkan si anak terlahir ke dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak. Menjadi ayah dan ibu tidak hanya cukup dengan melahirkan anak, kedua orang tua dikatakan memiliki kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh dalam mendidik anak mereka. Islam menganggap pendidikan sebagai salah satu hak anak, yang jika kedua orang tua melalaikannya berarti mereka telah menzalimi anaknya dan kelak pada hari kiamat mereka dimintai pertanggung jawabannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak. Masing-masing unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga, sehingga bila salah satu unsur tersebut hilang maka keluarga tersebut akan guncang atau kurang seimbang. Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia prasekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya. Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.

2. Fungsi Keluarga
Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142).
Dalam ­ GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992).
Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa” (Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga.
Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Purwo, 1990:101-103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak (Gordon,1984; 6). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orang tuanya.
Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orang tua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidakharmonisan hubungan antara orang tua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orang tua berperan sangat besar (Gordon,1984 : 1-9).
Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orang tua mereka.
Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai budi pekerti, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28). Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi. Pertama, keluarga harmonis, yaitu keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah, yaitu keluarga yang memiliki masalah, baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal, yaitu keluarga yang mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah.
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi” (Rahmat, 1994: 20-21)
Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto yang dikutip Sabri (2005:23-24) bahwa keluarga mempunya 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:
Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.
  • Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
  • Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.
  • Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan hingga ke perguruan tinggi.
  • Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.
  • Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
  • Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi. Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain.
  • Menurut Ahmadi (89: 1998), ia menambahkan satu fungsi keluarga selain ketujuh fungsi di atas yaitu fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi adalah keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan manusia yang pokok, diantaranya kebutuhan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya dan kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan pokok ini maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal.
Dari berbagai fungsi keluarga yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Karena sangat berpengaruh sekali kepada anak apabila ia tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, dalam rangka:
Memelihara dan membesarkan anaknya.
Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.
Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.

C. Pengertian Nilai Budi Pekerti
1. Pengertian Nilai
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosop dan ahli pendidikan nilai berkaitan dengan pengertian Nilai. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang nilai:
A value is an idea –a concept- abaout what some one think is important in life (Fraenkel, 1977:60).
Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar dan adil (Djahiri, 1089:36).
Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama. Jadi, sebenarnya perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dimaksud.
Rumusan definisi Nilai nampaknya dipengaruhi oleh sudut pandang para tokoh, namun yang jelas bahwa Nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap orang baik disadari atau tidak. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih prilaku apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Sebagai standar, Nilai membantu seseorang menentukan apakah ia suka terhadap sesuatu atau tidak.
2. Pengertian Budi Pekerti
Pengertian Budi Pekerti secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah, 2007:17). Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian dalam KBBI (1998) di atas, budi pekerti diartikan dengan akhlak. Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut bahasa diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat, khususnya keluarga yang berada di wilayah Rw. 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang, mereka yang mempunyai anak yang masih sekolah.
Adapun waktu penelitiannya selama enam bulan setelah disyahkannya proposal ini.
2. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang berusaha untuk meyajikan data dan fakta-fakta yang sesungguhnya tentang peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam dengan menyebarkan angket (kuesioner) kepada responden di tempat diadakan penelitian.
Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang didasarkan pada data atau informasi yang diperoleh melalui penelitian sebagai berikut:
Field Research yaitu mengumpulkan data-data dengan jalan meneliti langsung ke objek yang bersangkutan (turun ke lapangan)
Library Research yaitu mengumpulkan data-data dan fakta-fakta dengan meneliti dari beberapa buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Menurut Margono (2003: 1998) populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Sedangkan sampel adalah sebagian kecil atau wakil dari populasi yang diteliti, atau sampel adalah bagian dari populasi.
Dalam penelitian ini penulis nanti akan membatasi populasinya hanya pada kepala keluarga Rt. 03, 04, 06 dan 08 yang memiliki anak yang masih bersekolah. Jumlah kepala keluarga Rt. 03, 04, 06 dan 08 berjumlah 250 kepala keluarga, dengan rincian kepala keluarga Rt. 03 berjumlah 56 KK, Rt. 04 berjumlah 100 KK, Rt. 06 berjumlah 54 KK dan Rt. 08 berjumlah 54 KK. Jadi populasi penelitian yaitu sebanyak 250 Kepala keluarga.
Adapun yang menjadi sampel pada penelitian ini, penulis mengambil sampel sebanyak 20% dari 250 Kepala keluarga. Jadi sampel yang diambil sebanyak 50 kepala keluarga.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan berbagai macam metode dan teknik pengumpulan data yang tepat. Tujuannya agar diperoleh data yang obyektif. Adapun teknik pengumpulan data tersebut antara lain:
A. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Setiap penelitian ilmiah akan banyak bersandarkan dan ketergantungan kepada kepustakaan. Dan seperti yang dimaklumi bahwa hasil penelitian yang sudah ada belumlah bersifat final, artinya masih terbuka kesempatan bagi orang lain untuk mengoreksi dan bila perlu menguji kembali hasilnya agar ada kesempurnaan. Untuk dapat mempersoalkannya harus betul-betul mendalami mengenai tulisan-tulisan dari kepustakaan.
B. Penelitian Lapangan
Untuk memperoleh data yang obyektif berdasarkan kebenaran yang terjadi di lapangan, penulis nanti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya:
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sebagai alat pengumpulan data dapat dilakukan secara spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya (Subagyo, 2004: 63)
Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut. Bagi pelaksana atau petugas atau disebut sebagai observer bertugas melihat obyek dan kepekaan mengungkap serta membaca permasalahan dalam momen-moment tertentu dengan dapat memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan.
Dengan observasi kita ingin mengetahui kebenaran pandangan teoritis tentang masalah yang kita selidiki dalam hubungannya dengan dunia kenyataan.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Tujuan wawancara ialah untuk mengumpulkan informasi dan bukannya untuk merubah ataupun mempengaruhi pendapat responden (Achmadi, 2004:83)
Sejalan dengan pentingnya wawancara di dalam melakukan survai, peranan pewawancara sangatlah penting. Meskipun daftar pertanyaan telah lanjut dibuat dengan sempurna oleh para peneliti, namun tetap kuncinya terletak pada pewawancara. Penulis akan melakukan wawancara langsung kepada ketua wilayah Rw. 01.


c. Angket
Angket adalah suatu daftar yang bersisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti. Untuk memperoleh data, angket disebarkan kepada responden, terutama pada penelitian survai. Angket bertujuan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi mengenai suatu masalah secara serentak (Achmadi, 2004:96)
Angket dapat disebarluaskan sesuai keperluan pada setiap responden dalam waktu relatif singkat dengan mengerahkan seluruh jajaran peneliti untuk membagikannya secara langsung. Angket yang nantinya diisi oleh para orang tua yang mempunyai anak yang masih sekolah.
5. Tehnik Analisa Data
Agar data yang terkumpul dapat terbaca dan penelitian ini dapat dipercaya, maka data tersebut harus dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan. Adapun teknik analisa data yang digunakan adalah deskriptif analisis karena data yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak bersifat kualitatif maka dengan sendirinya dalam penganalisaan data-data penulis lebih banyak menganalisa.
Metode analisa data yang digunakan adalah:
1. Analisa Kualitatif
Analisa kualitatif dilakukan terhadap data baik berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kualitatif dikemukakan dalam bentuk kalimat sehingga nantinya dapat diambil kesimpulan. Yang dianalisa adalah data tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga yang bersumber dari observasi, wawancara, dan angket.
2. Analisa Kuantitatif
Penelitian kuantitatif selalu berbicara variabel. Variabel adalah perubahan-perubahan perilaku yang dapat diukur. Kuantitatif adalah data tentang fenomena yang hanya bisa dijelaskan dan ditransformasikan ke angka. Analisa kuantitatif yaitu analisa yang dilakukan terhadap data yang berwujud angka dengan mengklasifikasikan, mentabulasikan dan dilakukan perhitungan dengan menggunakan statistik sederhana untuk memperoleh hasil penelitian. Untuk data kuantitatif penulis menggunakan perhitungan prosentase dari hasil angket. Hasil penelitian disajikan dengan menggunakan frekuensi distribusi dan prosentase dengan rumus perhitungannya:
Keterangan:
P = F X 100 %
N
Keterangan:
P = Angka persentasi
F = Frekuensi jawaban responden
N = Jumlah frekuensi
Untuk mengukur tinggi rendahnya peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama di Rw. 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang, maka
penulis memilih ketentuan dengan kriteria sebagai berikut:
Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 90%-100%, ini berarti baik sekali.
Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 70%-80%, ini berarti baik.
Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 50%-60%, ini berarti sedang atau cukup.
Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B kurang dari 50%, ini berarti kurang.
6. Validasi dan Reliabilitas
Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan, maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang ditemukan di lapangan. Adapun teknik yang digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini adalah triangulasi dan member check.
Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara dan membandingkan informasi yang diperoleh dengan hasil wawancara dan membandingkan informasi yang diperoleh dari pihak sekolah dengan pihak keluarga.
Sementara yang dimaksud member check dalam penelitian ini dalah suatu tahap uji kritis terhadap data sementara yang diperoleh dari subjek penelitian sesuai dengan data yang ditampilkan subjek. Member check dilakukan dengan cara mengoreksi, merubah dan memperluas data tersebut sehingga menampilkan kasus terpercaya.
G. Sistematika Laporan Penelitian
Penelitian ini dilaporkan dengan sistematika penulisan di bawah ini:
BAB I, Pendahuluan. Terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan laporan.
BAB II, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga serta Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak. Di dalamnya terdapat: Pengertian keluarga, fungsi keluarga dan lingkungan keluarga, pengertian pendidikan agama Islam, tujuan pendidikan agama Islam, kedudukan pendidikan agama Islam, tujuan pendidikan agama Islam, pentingnya pendidikan agama dalam keluarga, pengertian nilai, pengertian budi pekerti, dan implementasi pendidikan agama Islam dalam keluarga.
BAB III, Metode Penelitian. Meliputi: waktu dan lokasi penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta validasi dan reliabilitas.
BAB IV, Pengolahan Data dan Pembahasan Hasil Penelitian. Meliputi: proses pengolahan data, analisis data, rangkuman hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V, Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi.

H. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan sekolah dan keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Amini, Ibrahim, Agar tidak Salah Mendidik Anak, Jakarta: Al Huda, 2006
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bima Aksara1998
Al-Abrasy, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Al Hasan, Yusuf Muhammad, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Darul Haq, 1998
Alwasilah, A. C., Pokoknya Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya, 2008
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: CV Ruhama, 1995
_______________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1989
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1996
Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Yogyakarta: Al Husna Press, 1994
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995
______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Nasution, S. Metode Research (Penelitian ilmiah), Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Rakhmat, Jalaluddin, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994
________, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005
Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000
Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka cipta: 2004
Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999


PEDOMAN ANGKET

1. Sejak kapan Anda memperhatikan pendidikan agama Islam untuk anak Anda?
a. Sejak Lahir
b. Ketika SD
c. Ketika SMP
d. Ketika SMA
2. Apakah Anda mengajarkan pendidikan agama Islam kepada anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
3. Apakah Anda selalu memberikan contoh teladan yang baik pada anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
4. Apakah Anda selalu mencerminkan sikap yang baik kepada anak ketika di rumah dan di luar rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
5. Apakah Anda selalu menegur dan menasehati anak ketika melakukan hal yang buruk baik di rumah maupun di luar rumah?
a. Selalu menegur
b. Sering menegur
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
6. Apakah Anda selalu mengarahkan anak untuk bersikap baik ketika di rumah atau di luar rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
7. Apakah Anda menyiapkan fasilitas pendidikan yang memadai kepada anak?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
8. Apakah Anda memberikan motivasi dan semangat belajar anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
9. Apakah Anda mengadakan diskusi keagamaan bersama anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
10. Apakah anak Anda mengikuti kursus tambahan baik di rumah/di sekolah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
11. Apakah Anda mengontrol kegiatan ibadah anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
12. Apakah Anda menegur anak apabila tidak shalat?
a. Selalu menegur
b. Sering menegur
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah menegur
13. Bagaimana Anda Mendidik ibadah shalat dan puasa?
a. Melalui contoh teladan
b. Melalui pembiasaan
c. Melalui buku bacaan
d. Melalui guru agama
14. Apakah Anda melakukan pembiasaan melakukan shalat berjamaah dengan anak-anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
15. Apakah Anda selalu menanamkan sikap disiplin kepada anak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah

16. Apakah Anda memberikan pengawasan terhadap kegiatan kegiatan belajar anak di rumah maupun di luar rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
17. Apakah Anda selalu menanamkan pendidikan akhlak di rumah?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
18. Bagaimana minat anak terhadap pendidikan agama Islam?
a. Sangat berminat
b. Berminat
c. Kurang berminat
d. Tidak berminat
19. Bagaimana pendapat Anda (anak) tentang pendidikan agama Islam?
a. Sangat penting
b. Penting
c. Kurang penting
d. Tidak penting
20. Bagaimana sikap anak ketika di rumah dan di luar rumah?
a. Sangat baik
b. Baik
c. Kurang baik
d. Tidak baik

21. Apakah setelah memperoleh pendidikan agama Islam anak akan bersikap baik dan patuh pada Anda?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
22. Apakah setelah setelah memperoleh pendidikan agama islam anak akan bersikap baik, hormat, tidak bertengkar dan saling menghargai sesama kerabat?
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
23. Apakah anak rajin melaksanakan ajaran agama seperti shalat, puasa, dan mengaji?
a. Sangat rajin
b. Rajin
c. Kurang rajin
d. Tidak rajin
24. Apakah anak rajin belajar dan mengerjakan tugasnya sendiri?
a. Sangat rajin
b. Rajin
c. Kurang rajin
d. Tidak rajin
25. Bagaimana kemampuan anak membaca al-Qur’an?
a. Sangat baik
b. Baik
c. Kurang baik
d. Tidak baik









0 komentar: