tag:blogger.com,1999:blog-35995343634096614162024-03-07T19:59:05.451-08:00Pendidikan NilaiPendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-77862830140192311482009-07-19T07:52:00.000-07:002009-07-19T07:53:47.531-07:00Agama Sebagai Unsur Pemersatu Umar<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; color: rgb(255, 255, 51);"><span style="font-weight: bold;">Agama Sebagai Unsur Pemersatu Umat</span><br /></div><div style="text-align: center;">Oleh Munasir (0807958)<br /></div><br />Terjalinnya persatuan dan kesatuan umat merupakan unsur terpenting dalam menegakkan masyarakat dan pemerintahan yang kuat, damai, dan sejahtera. Sebaliknya, perpecahan dan perceraian umat akan menjadikannya lemah, tidak damai, dan mudah dikuasai oleh kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan. Manusia akan bersatu manakala hak-hak kemanusiannya dihargai dan dihormati,memilki toleransi yan g tinggi, serta tidak ada pembedaan (diskriminasi) dan penindasan. Itulah fitrah manusia yang dapat menjadi unsur pemersatu. Oleh karena itu, pengakuan terhadap keanekaragaman warna kulit, suku, ras, dan juga agama harus dijunjung tinggi.<br />Setali tiga mata uang, sejarah menyatakan bahwa agama Islam lahir di tengah bangsa Arab yang memiliki panatisme suku, agama, dan keturunan. Islam membawa konsep bahwa derajat manusia itu tidak dilihat dari keturunan, ras, warna kulit, atau jenis kelamin. Semua manusia sama di mata Tuhannya, kecuali mereka yang memiliki ketaqwaan. Sebagaimana firman-Nya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurot: 3)<br />Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama manusia. Namun ada titik penekanannya yaitu mereka yang memiliki kemuliaan adalah manusia yang paling bertakwa di sisi Allah.<br />Islam juga mengajarkan bahwa manusia harus berpegang teguh pada tali Allah dan jangan bercerai berai, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.<br />Hanya ideologi Islam yang mampu menyatukan umat manusia. Hal ini dibuktikan oleh Rasulullah saw karena wahyu yang dibawanya memiliki kemampuan menyatukan manusia. Semasa Beliau hidup, sejak berdirinya pemerintahan Islam pertama di Madinah, Islam mempersatukan dan mempersaudarakan berbagai suku dan bangsa. Berbagai kabilah/suku di Makkah yang dulu sering bertentangan dipersaudarakan dengan kalimat tauhid. Macam-macam suku di Madinah, termasuk suku Aus dan Khajraj yang ratusan tahun tak pernah berhenti bertikai, dipersatukan di bawah Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Makkah dan Madinah yang berbeda karakteristik, budaya dan adat kebiasaan pun dipadukan membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Islam. Karenanya, “Mereka membawa bukan hanya ideologi baru, tetapi juga mengilhami energi dan kepercayaan (confidence) yang sedemikian radikalnya mengubah manusia dan masyarakat dimana ia tinggal. Mereka melengkapi pengobar semangat buat abad baru dan kemajuan kebudayaan di peradaban, seni dan ilmu, material dan spiritual.<br />Tidak diragukan lagi, ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan manusia dari berbagai golongan (ras, suku, dan warna kulit) telah mampu menyatukan umat manusia dengan latar belakang yang berbeda. Semua perbedaan itu diikat dalam satu persamaan, yaitu satu keimanan.<br />Tidak hanya dalam intern umat Islam saja, ajaran Islam pun menghendaki persatuan seluruh umat manusia yang memiliki perbedaan keyakinan dengan membawa konsep rahmatal lil alamin. Islam menghargai perbedaan keyakinan, dan tidak pernah memaksakan keyakinan kepada orang-orang yang telah beragama. Sehingga, antar umat beragama bisa hidup dengan rukun.<br />Demikianlah peran agama dalam mempersatukan umat manusia yang beragam.<br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-82441241532790056742009-07-08T08:38:00.000-07:002009-07-08T08:50:27.965-07:00Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">Makalah<br />"Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia"<br /><br /><br /><br />KATA PENGANTAR<br /></div><br /><br />Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga tim penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam. Tugas kelompok ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah tersebut di Jurusan Pendidikan Teknik Mesin FPTK Universitas Pendidikan Indonesia.<br />Makalah ini membahas mengenai “Bermunculannya Nabi Palsu di Indonesia”. Bahasa yang kami pergunakan dalam menerangkan tiap-tiap bagiannya sangat mudah dipahami sehingga pembaca tidak terlalu pusingkan.<br />Dalam penyusunan makalah ini, tim penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak, mungkin tidak akan terselesaikan. Karena itu dengan penuh keikhlasan, tim penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.<br />Akhirnya kami, tim penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca yang memerlukannya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"> Bandung, Maret 2008<br /><br /><br /> Tim penulis<br /></div><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Daftar Isi</span><br /></div><br />Kata Pengantar 1<br />Daftar Isi 2<br />BAB I Pendahuluan 3<br />A. Latar Belakang Masalah 3<br />B. Rumusan Masalah 3<br />C. Sistematika Penulisan 3<br />BAB II Landasan Teori 5<br />A. Pengertian Nabi Dan Rasul 5<br />B. Agama dan Misi Para Nabi 5<br />C. Kerasulan Nabi Muhammad Saw 6<br />D. Nabi Muhammad Adalah Nabi Terakhir 17<br />BAB III Pembahasan Masalah 22<br /> A. Fenomena Nabi Palsu 22<br /> B. Nabi-nabi Palsu di Indonesia 24<br /> C. Faktor-faktor maraknya bermunculan nabi palsu dan aliran sesat 26<br /> D. Dampak dari bermunculan nabi-nabi palsu 29<br /> E. Solusi Menghadapi maraknya bermunculan Nabi Palsu 29<br />BAB IV Kesimpulan 32 <br />DAFTAR PUSTAKA 33<br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB I</span><br /><span style="font-weight: bold;">Pendahuluan</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Latar Belakang Masalah</span><br />Sekarang ini marak bermunculan nabi-nabi palsu di Indonesia dan ini sangat meresahkan masyarakat karena dapat merusak akhlak dan juga mengganggu kenyamanan ketentraman dan keamanan umat beragama, oleh karena itu kami menulis makalah ini agar kita mengetahui mengapa sampai banyaknya orang yang mengaku nabi dan kita mengetahui bagaimana solusi untuk mengatasinya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Rumusan Masalah</span><br />Dalam makalah ini karena terlalu luas pokok masalahnya maka kami membatasi masalahnya yaitu:<br />1) Fenomena nabi palsu di Indonesia<br />2) Faktor-faktor yang menyebabkan banyak bermunculan nabi palsu dan aliran sesat di Indonesia<br />3) Solusi menghadapi maraknya nabi palsu<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Sistematika Penulisan</span><br />Kata Pengantar<br />Daftar Isi<br />BAB I Pendahuluan<br />A. Latar Belakang Masalah<br />B. Rumusan Masalah<br />C. Sistematika Penulisan<br />BAB II Landasan Teori<br />A. Pengertian Nabi Dan Rasul<br />B. Agama dan Misi Para Nabi<br />C. Kerasulan Abi Muhammad Saw<br />D. Nabi Muhammad Adalah Nabi Terakhir<br />BAB III Pembahasan Masalah<br />A. Fenomena Nabi Palsu<br />B. Nabi-nabi Palsu di Indonesia<br />C. Faktor-Faktor Maraknya Bermunculan Nabi Palsu Dan Aliran Sesat<br />D. Dampak Dari Bermunculan Nabi-Nabi Palsu<br />E. Solusi Menghadapi Maraknya Bermunculan Nabi Palsu<br />BAB IV Kesimpulan <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB II</span><span style="font-weight: bold;"><br />Bermunculannya Nabi Palsu<br /><br /></span></div>A. Pengertian Nabi dan Rasul<br />Para Nabi adalah manusia pilihan Allah SWT yang bertugas untuk menyampaikan pesan Allah SWT melalui konsep Tauhid. Intinya agar manusia hanya mempercayai dan mengabdi kepada satu tuhan yaitu Allah SWT. Rasul adalah Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah S.W.T. untuk menyampaikan ajaran atau agama kepada umatNya.<br />Mengapa Allah mendatangkan Nabi rahmat lil al-alamin di Makkah, Jajirah Arab? Ternyata ada rahasia dibalik perbuatanNya itu. Arabia memang sangat strategis bagi perjuangan awal Islam. Dengan menggunakan metode tipologi, Nabi Muhammad memang memiliki keunikan yang tidak dimiliki nabi manapun. Sentuhan sentuhan manusia tampaknya dihindarkan dari beliau agar misi Illahi untuk menjadikan Islam sebagai agama dunia benar-benar berhasil.<br />Semua Nabi memililiki mu’jijat yang disaksikan umat dan musuhnya pada saat itu juga. Tapi mu’jijat paling Nabi terakhir, Al-quran, justru tersaksikan manusia disemua tempat dan sepanjang zaman<br /><br />B. Agama dan Misi Para Nabi<br /> Apakah para nabi membawa agama yang satu ataukah berlain-lainan? Misalnya Nabi Luth a.s. membawa agama Kong Fu Tsu, Nabi Musa a.s. membawa agama Yahudi, Nabi Isa a.s. membawa agama Kristen, dan Nabi Muhammad SAW membawa agama Islam, apakah semua Nabi hanya membawakan agama Islam?<br /> Kita coba pakai akal saja. Bukankah Tuhan itu Satu? Bukankah Tuhan seluruh Nabi juga Satu, bahwa Tuhan Luth, Musa dan Isa a.s. adalah juga Tuhannya Muhammad SAW? Bahwa Tuhan yang kita sembah sekarang adalah juga Tuhannya manusia zaman dulu? Tidak bisa tidak, akal kita pasti menjawab ”Ya”. Sekarang kita dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tadi. Karena Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, bahwa Allah SWT adalah Tuhannya Nabi terakhir, yang juga tuhannya para Nabi a.s., bahwa Allah SWT adalah Tuhan kita, yang juga Tuhan manusia tempo dulu, maka Agama yang dibawakannya pun pasti sama. Ya, mungkin bisa namanya berbeda karena perbedaan bahasa. Tetapi jika diartikan kedalam bahasa Arab, terjemahannya menjadi ”Islam”.<br /> Dengan demikian Agama seluruh Nabi adalah Islam. Kita dapat menelaahnya berdasarkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi ternyata sama, membawa keimanan yang sama, membawa syari’at (ajaran) yang sama. Coba baca terjemahan Al-Quran, buka dafar isisnya dan cari ayat-ayat tentang Nabi-nabi, pasti pembaca mendapatkan jawaban yang demikian. WA NAHNU LAHU MUSLIMIN.<br /><br />C. Kerasulan Nabi Muhammad SAW<br /> Sepanjang jalan Allah SWT selalu mengutus Nabi-nabi. Tidak ada satu zaman pun yang kosong dari kenabian. Para Nabi datang silih berganti hingga ditutupnya kenabian oleh Muhammad bin Abdullah. Nabi Muhammad SAW disebut-sebut sebagai teladan umat sepanjang zaman, yang menjadi pokok permasalahan kita tidak sempat berjumpa (secara fisik) dengan beliau, bagaimanakah cara menteladaninya?<br />Pribadi Nabi Muhammad SAW<br /> Kisah Maria Al-Kibti, Raja Muqouqis, dan Nabi SAW<br /> Pembaca pernah mendengar kisah Maria? Bukan ibunda Nabi Isa a.s., melainkan istri Nabi kita SAW. Dia orang jauh, dari seberang Jazirah Arabia, tepatnya orang Sungai Nil di Mesir. Ayah-ibunya selain berbudi pekerti luhur, juga tampan dan cantik, cerdas dan juga berakhlak mulia. Diberi nama Maria justru dengan harapan agar kelak puterinya dapat menteladani ibunda Al-Masih, Maryam. Kedua orangtua Maria memang beragama Kristen. Maria lahir disaat agama Islam baru tumbuh di Mekkah.<br /> Semasa usia SLTP, Maria justru menampilkan perilaku dewasa. Karena itulah ia bersama adik perempuannya, Sirin, diminta hidup di Istana Raja Muqouqis. Tidak sulit mendidik kedua gadis ini. Di lingkungan istana inilah Maria tumbuh sebagai gadis jelita yang menawa hati, berbudi pekerti luhur, penuru, jujur, sabar, dan amat horma. Maria merpakan wanita terpandang asuhan Raja Muqouqis dan menjadi suri tauladan bagi gadis-gadis di sekitar istana.<br /> Pada zaman dahulu banyak istana yang mendidik para gadis dalam menjalin persahabatan dengan negara lain karena biasanya sang Raja menikahkan gadis istana dengan Raja atau pembesar negara lain yang menjadi sahabatnya. Gadis teladan di lingkungan istana dinikahkan dengan Raja atau pembesar dari negara sahabat yang paling dihormati dan dimuliakan. Demikian halnya dengan Istana Muqouqis. Sudah banyak gadis istana yang dinikah para pembesar mancanegara. Dan pada waktu itu, gadis mesir memang sangat terkenal, baik kecanikan ataupun budi pekertinya. Tapi dengan siapakah Maria akan menikah?<br /> Pusat Islam kemudian berpidah dari Makkah ke Yasrib, Madinah. Dari sinilah mula-mula Islam menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Tapi, Nabi terakhir ditugaskan untuk menyebarkan Islam bagi seluruh umat manusia, di manca negara, bukan bagi bangsa Arab saja. Ditugaskanlah beberapa orang sahabat untuk surat seruan masuk Islam kepada Raja-raja manca negara. Hatib bin Abi Balta’ah ditugaskan untuk menyampaikan surat da’wah kepada raja Muqouqis. Tidak diketahui apakah Raja menerima seruan Nabi SAW apakah menolaknya. Ketika Hatib menjelaskan tentang pribadi Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam, Raja Muqouqis yang beragama Kristen mengangguk-anggukan kepalanya, Raja merenung semalaman. Esok harinya Raja meminta maaf dengan menyatakan bahwa kaum Qibthi sangat memegag teguh kepercayaan lamanya. Tapi kemudian Raja Muqouqis menitipkan beberapa hadiah bagi Nabi Muhammad SAW. ”Aku titipkan dua gadis Qibthi yang sangat terpandang, Maria dan Sirin, mudah-mudahan berkenan untuk Muhammad”, ujar Muqouqis di ruang kerjanya dengan penuh kesungguhan. Sampaikan pula salamku untuk kaum muslimin di sana, tambah Muqouqis.<br /> Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Maria yang cerdas dan sangat memahami agama Kristen, banyak bertanya tentang pribadi Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. Hatib dengan sangat cermat dan sangat rinci menjelaskan setiap aspek kepribadian Nabi mulia dan ajaran Islam. Setiap penjelasan Hatib mengundang rasa penasaran Maria, mengundang pertanyaan baru. Untung saja Hatib dapat menjelaskan setiap pertanyaan Maria. Begitu Hatib memberikan penjelasan baru, hati Maria dan Sirin semakin condong pada Islam; dan setiap Hatib memberikan penjelasan baru tentang pribadi Nabi Suci, Maria semakin kagum dan jatuh cinta pada manusia teladan itu. Tanpa terasa perjalanan yang cukup panjang dan biasanya sangat melelahkan, dilalui oleh mereka dengan perasaan gembira. Ingin sekali segera sampai dan bertemu dengan Nabi Agung yang disebut-sebut Hatib, ungkap Maria dalam hatinya.<br /> Akhirnya mereka sampai pula di Madinah. Ternyata apa yang disampaikan Hatib tepat sekali. Maria dan Sirin menyampaikan salam dan hormat kepada Nabi Muhammad SAW dan menyampaikan pula salam dari Raja Muqouqis serta menyatakan bahwa mereka berdua sebagai wakil kaum Qibthi.<br /> Maria yang semula kagum dengan ajaran Islam, kagum dengan pribadi Mulia Nabi, dan setelah bertemu langsung tertarik pula dengan wajah Nabi yang sangat tampan. Kita dapat membayangkan, betapa tampannya Nabi Yusuf a.s. ketika disuguhi buah apel beserta pisaunya, para wanita tanpa sadar mengupas lengannya hingga terluka dan patah, karena melihat ketampanan nabi Yusuf a.s. Nabi Muhammad SAW lebih tampan dibanding Nabi Yusuf a.s., dan keringatnya pun harum melebihi minyak wangi yang paling harum. Sangat wajar dan pantas bila Maria Al-Qibthi menyatakan keinginannya untuk diperistri oleh nabi SAW. Kemudian Nabi SAW menikahi Maria dan melahirkan seorang anak, namun wafat ketika masih kecil.<br /> Muhammad SAW Manusia Agung<br /> Sejak dalam kandungan, ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib telah meninggal dunia. Setelah lahir pun Nabi Muhammad tidak disusukan dan diasuh oleh Siti Aminah binti Wahab, ibunya. Memang secara kebetulan ada tradisi Arab Quraisy menyusukan anak selama dua tahun di pedesaan. Tapi Nabi Muhammad menyimpang dari tradisi. Setelah beliau disusukan selama dua tahun oleh Hallimatus Sa’diyah, Siti Aminah mengembalikan putera kesayangannya ke pedesaan. Hampir empat tahun Muhammad kecil dipelihara Tsuwaibah Aslamiyah, ibu pengasuh lainnya. Menjelang usia enam tahun Muhammad kecil kembali kepangkuan ibunya yang sudah sakit-sakitan. Sayang, tidak lama kemudian ibu kandung yang mulia meninggalkan anak kecil untuk selama-lamanya. Calon Nabi terakhir ini kemudian dipelihara oleh kakeknya yang sudah sangat tua, Abdul Muthalib, dengan penuh kecintaan. Sayang sekali kakeknya pun meninggal ketika Muhammad kecil sangat memerlukan kasih-sayangnya. Beruntung, sebelum meninggal Abdul Muthalib berwasiat agar anak-anaknya menjaga sang cucu tercintanya. Diantara anak-anaknya ada yang kaya-raya tetapi ada juga yang miskin. Walaupun anak-anaknya berebut ingin mengasuh cucunya yang satu ini, tapi firasat kuat kakenya justru menunjuk Abu Thalib, salah seorang anak kesayangannya yang bermoral tinggi hanya miskin harta. Alasan karena pamannya yang miskin itulah yang membuat Muhammad seusia anak SD kembali ke gurun pasir dengan dengan dalih berburuh menggembala kambing. Setiap pagi beliau pergi ke gurun dan sore hari pulang ke rumah Abu Thalib. Alasan itu juga yang membuat Muhammad tidak bersekolah, selain tidak terdapatnya sekolah di Jazirah Arabia. Memang ada 1-2 Kuttab, tempat belajar tulis-baca dan syair di Makkah dan di tempat lainnya. Tapi beliau tidak bersekolah. Hingga diangkat menjadi seorang Nabi pun beliau tidak bisa menulis dan membaca.<br /> Sekarang coba bandingkan dengan keadaan di Eropa dan Persia yang pada saat itu telah memiliki dan mendirikan universitas-universitas dengan para filosof dan saintisnya yang berotak. Jika membaca kitab-kitab klasik sebelum abad VI masehi tidak terdapat kata ”Arab”. Ini menunjukan bahwa Arabia merupakan daerah asing yang tidak diperhitungkan oleh negara-negara maju saat itu. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW justru lahir dari daerah yang tidak maju, yang tidak diperhitungkan dunia-dunia maju saat itu.<br /> Watak Muhammad SAW<br /> Beliau tetesan darah bapak para Nabi, Nabi pendiri Ka’bah dan Nabi kekasih Allah, Ibrahim a.s., melalui Nabi yang rela dikurbankan disembelih ayahnya demi memenuhi perintah Allah, Nabi yang bersama ayahnya mendirikan Ka’bah, Ismail a.s. Beliau lahir dari keluarga pemelihara Ka’bah.<br /> Akhlak para Nabi telah benar-benar mempribadi sejak dini pada diri beliau. Abu Thalib, wali beliau, sangat ta’jub dengan perilaku keponakannya. Beliau benar-benar berbeda dengan anak-anak sebayanya.<br /> Sejak masa kecil, beliau merasa puas dengan makanan yang sedikit dan selalu menghindarkan diri dari sifa berlebih-lebihan. Idak pernah menunjukan minat dan kerakusan terhadap makanan. Beliau selalu memelihara dan merawat secara rapih wajah dan rambutnya, menyenangi kebersihan dan wewangian bagi diri dan rumah.<br /> Suatu hari Abu Thalib meminta agar Muhammad kecil mengganti pakaian dihadapannya untuk kemudian tidur. Karena hormat dengan paman pemeliharanya, beliau meminta agar pamannya memalingkan wajahnya. Beliau tidak pernah berdusta, tidak pernah tertawa tanpa alasan, tidak pernah tertarik pada mainan anak-anak, lebih menyukai sendirian, dan selalu rendah hati. Belia tidak suka iseng dan membenci kemalasan.<br /> Beliau sangat jujur sehingga mendapat gelar ”Al-Amin” (yang terpercaya). Di masa mudanya beliau mendirikan suatu perkumpulan ”Hilful Fudhul” (perkumpulan keutamaan) untuk membela hak-hak orang lemah dan menentang para penindas. Perkumpulan ini selalu dikenang oleh beliau.<br /> Terhadap keluarga beliau sangat baik. Berbeda dari kebiasaan orang Arab saat itu beliau tidak pernah berkata kasar pada isterinya. Beliau selalu mentolelir ucapan yang menyakitkan hati dari sebagian isterinya. Beliau selalu menganjurkan untuk bersikap sopan terhadap wanita. Beliau sangat baik dan pengasih kepada anak-cucunya, meletakan mereka diatas pangkuan dan bahunya, dan menciumnya, disaat kebiasaan itu tidak ada pada kalangan bangsa Arab. Beliau pun sangat baik kepada budak-budaknya.<br /> Apabila duduk beliau tidak pernah menjulurkan kakinya di hadapan orang lain tidak pernah menyandarkan punggungnya bila sedang berhadapan dengan orang lain. Dalam pertemuan, beliau selalu meminta duduk melingkar agar semua orang menempati posisi yang sama. Belia memperlihatkan kasih sayang kepada sahabat-sahabatnya. Bila tidak berjumpa selama tiga hari, beliau suka menanyakannya apakah sakit atau punya masalah. Jika memang demikian, beliau selalu mengunjunginya dan membantunya.<br /> Beliau hidup sederhana. Tidur di atas tikar, biasa duduk di lantai, memerah susu kambing, menunggang kuda dan unta tanpa pelana. Beliau terbiasa memperbaiki sepatu dan pakaiannya sendiri. Makanan beliau terbuat dari roti gandum dan kurma. Tetapi beliau tidak menyukai kemelaratan. Beliau menegaskan perlunya memiliki uang dan kekayaan demi kepentingan masyarakat dan untuk dibelanjakan secara halal.<br /> Selama masa hidupnya, terutama dalam masa kenabian, beliau menghadapi situasi yang sulit dan penuh rintangan. Tapi beliau tabah dan penuh keyakinan bahwa ajaran yang benar pasti menang. Beliau bekerja dengan tertib dan disiplin. Walaupun segala perintah beliau ditaati oleh para pengikut setianya, beliau tidak pernah bertindak diktator, beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah.<br /> Ada kalanya beberapa sahabat menunjukan keberatannya terhadap keputusan Nabi SAW. Tapi beliau dengan penuh sabar mau mendengarkan kritikan. Beliau sangat membenci sifat penjilat dan beliau berkata ”lemparkanlah debu kemuka orang yang suka menjilat”. Beliau sangat pemaaf dan suka memohonkan ampun kepada Allah bagi orang yang beriman.<br />Beliau tidak pernah memanfaatkan kelemahan dan kebodohan masyarakat demi kepentingannya. Beliau justru selalu berusaha keras memerangi kelemahan dan kebodohan dengan cara menyadarkannya. Beliau mendorong orang untuk mencari ilmu hingga ke negeri cina sekalipun.<br /> Dalam beribadah, beliau selalu menghabiskan sebagian malamnya, kadang-kadang 1/3 , 1/2 atau 2/3 ,malam, untuk shalat, padahal sepanjang siang harinya bekerja keras.<br /> Sebagian telah diuraikan diatas, bahwa pribadi Nabi Muhammad S.A.W. memang sejak kanak-kanak suka menyendiri, tidak begitu suka bergaul beramai-ramai dengan orang banyak. Selanjutnya dikala telah dewasa dan sebagai seorang pemuda, perangai beliau yang utama itu tetap ada pada pribadi beliau tidak dapat diperdayakan oleh atau dipengaruhi oleh suasana yang terjadi disekelilingnya.<br /> Setelah pribadi Nabi s.a.w. berusia 40 tahun, maka kian hari kian mendalam hasratnya untuk menjauhkan diri dari masyarakat ramai, maka ketika itu beliau sudah sering kali pergi meninggalkan keluarga dan rumah tangganya untuk mencari tempat dimana disekitarnya baik untuk berkhalwat, dengan tujuan hendak menenagkan diri, pikiran, menjernihkan angan-angan, yang selanjutnya, guna mencari kebenaran yang hakiki.<br /> Tidak lama kemudian beliau mendapati suatu gunung yang ada guanya, berada di suatu tempat yang sunyi-senyap, yang letaknya kira-kira tiga mil disebelah utara kota Mekkah. Gunung itu tingginya kurang lebih 200 meter dan terkenal dengan nama jabal ”Hiraa” dan guanya terkenal juga dinamakan gua ”Hiraa”. Oleh pribadi Nabi s.a.w ketika itu dipandang untuk temapt berkhalwat dan mengasingkan diri dari keramaian.<br /> Setelah berulang-ulang pribadi Nabi s.a.w. berkhalwat dalam tempo beberapa bulan, maka pada suatu malam didalam tidur, beliau bermimpi melihat cahaya terang, seperti cahaya terang di waktu shubuh. Berhubung dengan itu, maka beliau di kala itu menjadi gemar berkhalwat dan bertahanuts di gua Hiraa tesebut.<br /> Hati nurani beliau mendorong dan mendesak supaya terus berkhalwat, terus menasingkan diri dari keraimaian di dalam gua Hiraa tersebut untuk mncari kebnaran yang hakiki. Maka beliau pun terus berkhalwat dan tambah gemar mengasingkan diri di gua tersebut. Dengan demikian, beliau di kala itu sudah dapat bayangan, bahwa kebenaran yang dicarinya dan dituntutnya itu pasti ada dan tentu dapat dicapainya.<br /> Pada hakikatnya, beliau berbuat dan dan mengerjakan seperti itu memang sudah menjadi kehendak Allah S.W.T, Tuhan semesta alam. Karena pada saat itulah beliau akan menerima keangkatan dan penetapan menjadi Nabi dan Rasul Allah yang terakhir. <br /> Kemudian setelah enam bulan lamanya, beliau berkhalwat dan betahanuts di gua Hiraa tersebut, usia beliau dikala itu menginjak usia yanga keempat puluh (40), maka beliau bertanya kepada diri sendiri....... atas perbuatannya yang telah sekian lama dikerjakannya itu. Beliau merasa khawatir dalam hati kecilnya terhadap apa yang telah dikerjakannya selama berkhalwat itu,kuatir atas dirinya sendiri, kalau dirinya tergoda atau mendapat godaan dari jin dan sebagainya, sebagaimana beliau sering berkhlawat di dalam gua-gua yang jauh dari keramaian dan tempat –tempat yang sunyi senyap.<br /> Beliau dikala itu tidaklah begitu mengerti akan adanya dorongan ghaib sepenting itu; yang terguris dalam hati beliau di kala itu; bahwa beliau sudah dekat sekali, akan diangkat sebagai Nabi penutup dan Rasul yang terakhir, untuk penduduk ditanah Arab khususnya dan untuk segenap umat manusia yang ada di alam semesta ini.<br /> Kemudian pada suatu malam, di tengah malam yang gelap gulita, beliau yang sedang tidur nyenyak, tiba-tiba ada sesorang yang masuk kedalam gua Hiraa tersebut, dengan kedatangannya beliau sangat kaget dan menakutkan karena beliau tidak mengenal sama sekali orang itu, sehingga beliau terbangun dan seketika itu juga oran itu berakata dengan suara yang keras kepada beliau, demikian :<br /> ”Gembiralah ya Muhammad ! Saya Jibril, dan engkau adalah Rasul ALLAH kepada umat ini”.<br /><br /> Orang itu dengan menunjukan sehelai kertas yang bertuliskan, lalu memrintahkan kepada beliau supaya membaca tulisan itu, ia berkata :<br /><br />”Bacalah olehmu, ya Muhammad”<br />Dengan terperanjat beliau menjawab :<br />”Saya tidak dapat membaca”<br />Orang itu lalu memegang diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, kemudian dilepaskan sambil berkata lagi :<br /> ”Bacalah olehmu, ya Muhammad”<br />Beliau menjawab :<br />”Saya tidak dapat membaca”<br />Orang itu lalu memegang kembali diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, sehingga beliau merasa seakan akan nafasnya akan putus, lantas dilepaskannya kembali dan berkata lagi :<br />”Bacalah olehmu, ya Muhammad”<br />Beliau menjawab :<br />”Saya tidak dapat membaca”<br />Orang itu lalu memegang kembali diri Nabi Muhammad s.a.w. sambil memeluknya dengan sekeras-kerasnya, sehingga beliau merasa seakan akan nafasnya akan putus, lantas dilepaskannya kembali dan berkata lagi :<br />”Bacalah olehmu, ya Muhammad dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, olehmu! dan Tuhan mu yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al-Alaq [96] : 1-5)<br /><br /> Dengan pertolongan Allah S.W.T. seketika itu beliau dapat membaca apa yang telah dibacakan oleh orang yang belum pernah dikenal dan yang mengaku namanya jibril tersebut.<br /> Sepeninggal Jibril dari tempat itu dengan hati yang sangat takut, perasaan yang amat terkejut, tubuh amat gemetar dan beliau bertanya-tanya pada dirinya sendiri : Apkah gerangan yang dilihat dan dialaminya itu; tidakkah itu suatu godaan daripada jin atau syetan sebagai yang telah dikhawatirkan oleh beliau sebelumnya. Beliau menoreh kekanan dan kekiri, tetapi tidak ada seorangpun yang terlihat. Seluruh badan beliau terus menerus gemetar dan dalam hati beliau ada rasa ketakutan, barangkali di dalam gua yang sempit itu ada apa-apa, yang akhirnya beliau mencari jalan keluar dari gua tersebut. Keluar dari gua tersebut dan berjalan menuruni bukit itu dengan penuh rasa khawatir dan takut.<br /> Sesudah beliau keluar dan turun dari gua Hiraa, dalam hati beliau terus bertanya seorang diri : ”siapakah gerangan yang datang tadi itu, yang dengan suara yang keras memerintahkan supaya membaca, membaca dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah itu?”. Dalam keadaan yang sedahsyat itu, beliau terus menerus berjal;an menuruni bukit, dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati, karena tubuh masih dalam keadaan gemetar, akhitnya sampailah beliau kebawah dan seketika itu beliau pulang ke Mekkah, ke rumah Khadijah, istrinya yang telah beberapa bulan ditinggalkannya itu.<br /><br /> Demikianlah riwayat pertamakali Nabi Muhammad S.A.W. menerima wahyu dari hadirat ALLAH, yang diantarkan dan disampaikan kepada beliau dengan perantaraan malaikat jibril, dan pada malam hari itulah beliau menerima angkatan dan penetapan dari hadirat Allah s.w.t menjadi Nabi sekaligus Rasul terakhir, untuk menyampaikan Risalah-Nya kepada segenap umat manusia yang ada di seluruh alam semesta.<br /><br />D. Nabi Muhammad SAW Adalah Nabi Terakhir<br /> Berdasarkan info sebanyak 124.000 Nabi a.s., 313 diantaranya adalah Rasul a.s. telah diutus oleh Allah SWT ke tengah-tengah kita, umat manusia. Al-Quran sendiri hanya mengabarkan sebanyak 25 Nabi dan Rasul a.s.<br /> Sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Isa a.s. para Nabi datang silih berganti, seiring dengan zaman, dan dalam waktu yang (hampir) bersamaan diturunkan beberapa Nabi. Nabi Ishaq a.s. dan Nabi Ismail a.s. datang selagi Nabi Ibrahim a.s. ada di tengah-tengah mereka; Nabi Yusuf a.s. datang selagi ayahnya Nabi Ya’kub a.s. masih ada; demikian juga Nabi Yahya a.s. dengan Nabi Zakariya a.s., kemudian Nabi Isa a.s. Bahkan Nabi Harun a.s. dengan Nabi Musa a.s. diutus secara bersamaan kepada satu kelompok dan dalam waktu yang bersamaan kepada satu kelompok dan dalam waktu yang sama. Sejak kedatangan Rasulullah SAW, umat manusia diingatkan bahwa tidak akan ada lagi utusan Allah sepeninggal Beliau. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. berfirman,<br />"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ahzab [33] : 40).<br /><br />”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa [21] :107)<br /><br /> Tapi dari Nabi Isa a.s. hingga Nabi Terakhir, berselang enam abad, tidak terdengar adanya seorang Nabi yang diutus. Para Nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. memang telah mengabarkan tentang akan adanya seorang Nabi Besar, Nabi yang diutus untuk seluruh manusia dan jin, bukan untuk kelompok manusia yang tertentu saja, seorang Nabi Penutup. Masyarakat pun menunggu-nunggu kedatangannya. Tapi dalam waktu yang cukup panjang, selama lima ratus tahun Nabi yang ditunggu itu tidak pula muncul.<br /> Para Nabi a.s., terlebih-lebih menjelang ditutupnya kenabian, banyak berdatangan di sekitar perbatasan Eropa dan Timur Tengah. Makanya masyarakat di sekitar tempat itu khususunya mengira bahwa Nabi yang terakhir itu akan datang dari tempat mereka. Tetapi secara tidak disangka-sangka Nabi yang ditunggu-tunggu ternyata datang dari daerah yang tidak dikenal, tempat Nabi Ibrahim a.s. mengasingkan isteri dan putera tercintanya Nabi Ismail a.s., di Mekkah. Kebanyakan masyarakat pun berbalik, mengingkari kenabian Muhammad SAW. Mereka hanya mengakui Nabi-nabi lokal mereka bahkan memusuhi Nabi Terakhir dan para pengikut setianya.<br /> Kita kembali pada tema di atas, mengapa kenabian ditutup? Kita cari ilustrasi. Agama Islam kita ibaratkan suatu pesan atau program umum, manusia sebagai anak, dan Allah SWT sebagai orangtua. Apakah seorang anak dapat memahami suatu pesan umum? Coba ingat-ingat saja kamu selagi masih kecil. Apakah kita mengerti istilah hemat, istilah nakal dan manis? Tentu saja tidak bisa, karena kecerdasan dan daya tangkap kita belum berkembang. Orang tua yang bijak biasanya menyampaikan pesan umum itu setahap demi setahap. Istilah hemat dikongkritkan, misalnya: uang kita yang Rp. 500,- jajankan saja Rp. 250,- dan sisanya ditabungkan; istilah nakal dikonkritkan dengan: mencubit adik, mengambil jambu tetangga, dsb, dan istilah manis dikongkritkan dengan kesanggupan anak menyapu lamtai, mencuci piring, belanja ke warung, dsb. Sekarang bila ibu kita berbicara ”coba hemat dikit sayang”, apakah kita masih belum mengerti? Jika telah dewasa kita pasti akan mengerti. Ibu kita menghendaki agar kita, misalnya jangan meminta uang yang berlebihan.<br /> Demikian juga dengan Agama Islam dan manusia. Di masa lalu umat islam bagaikan anak kecil, belum bisa memahami agama Islam dengan sempurna. Oleh karena itu Allah Yang Maha Bijak dan Maha Tahu keadaan manusia menurunkan Nabi-nabi. Setelah masyarakat manusia dewasa, barulah Allah SWT menurunkan ajaran Islam yang sempurna. Bersamaan dengan itu ditutup pula kenabian<br /> Coba telaah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan Al-Quran sebagai Kitab Sucinya. Apakah benar ada seorang nabi yang bernama Muhammad SAW? Kita dapat dengan mudah menunjukannya yaitu dengan sebuah bukti adanya makam Nabi Muhammad SAW yang berada di Madinah Semenanjung Arabia, di dalam Masjid Nabawi. Bandingkan dengan misalnya Nabi Idris a.s., apakah benar ada seorang Nabi yang bernama Yunus a.s.? selain dengan modal iman, kita tidak dapa menunjukan bukti yang kuat karena kita tidak tahu dan sejarahpun tidak mencatat dimanakah makam Nabi Idris a.s. dan Nabi Saleh a.s. Hal ini menunjukan bahwa di masa lalu belum dapat melestarikan suatu ajaran yang benar, pemuka agamanya pun tidak dapat menjaganya. Berbeda dengan saat pada zaman Nabi Muhammad SAW masyarakat telah dapat melestarikan suatu bukti keberadaan Nabinya. Telaah juga Kitab Suci. Seluruh penelitian membuktikan bahwa Al-Quran adalah juga Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bandingkan dengan Kitab-kitab suci lainnya, jangan pun isinya, bahkan bahasanya pun telah berubah. Bahasa yang digunakan oleh para Nabi a.s. terdahulu semuanya telah mati, idak dipakai oleh seorang manusia pun. Berbeda dengan bahasa Arab, dari waktu kewaktu terus dilestarikan, terbukti dengan adanya pelajaran bahasa Arab dan Jurusan dan Sastra Arab di berbagai Universitas. Sejarah hidup, sabda-sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW pun terekam secara baik. Berjilid-jilid kitab dan beribu-ribu bahkan berjuta-juta halaman memenuhi lembaran kehidupan Nabi Muhammad SAW yang mulia.<br /> Mungkin terdapat pertanyaan mengapa manusia sekarang mampu melestarikan agama Islam tanpa didatangkannya seorang Nabi? Itulah bedanya Ulama sekarang dengan Ulama pada zaman dahulu. Di masa-masa lalu hanya nabi a.s. yang dapat melestarikan ajaran dari Allah. Sungguh menajubkan, di masa sekarang ulama disebuah desa pun mampu melesarikan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Maka berdasarkan uraian diatas sudah sepantasnya apabila kenabian ditutup.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">Pembahasan<br /><br /></span></div>A. Penomena Nabi Palsu dan nabi-nabi palsu di Indonesia<br />Tidak ada yang lebih membuat hati kita sedih dan marah kalau ternyata ada nabi palsu. jaman canggih seperti sekarang bukan hanya uang atau barang-barang branded yang bisa dipalsukan, tapi nabi juga bisa dibikin tiruannya. Contohnya adalah apa yang diyakini sama orang-orang di aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Mereka mengaku sudah punya nabi lagi setelah Muhammad SAW. Malah mereka udah bersyahadat ulang dengan mengganti lafadz "wa asyhadu anna Muhammad ar rasulullah" menjadi "wa asyhadu anna al masih al maw'ud ar rasulullah". Astaghfirullahal adzim wa na'udzubillahi min dzalik! Markasnya digrebek umat, dan ajarannya dihujat sebagai sesat. Pastilah memang nyata-nyata sesat<br /><br />Adalah seorang lelaki paruh baya bernama Ahmad Mushaddeq yang mengaku mendapat wahyu setelah bertapa di padepokannya di sebuah kawasan di Bogor. Setelah itu ia memproklamirkan diri sebagai nabi berikutnya setelah Rasulullah SAW dengan sebutan al-masih al-maw'ud. Ternyata, tidak sedikit orang yang percaya pada perkataan mantan pelatih bulutangkis nasional ini. Dari pemberitaan, sedikitnya 50 ribu orang pengikutnya tersebar di sejumlah kota di tanah air. Kebanyakan anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa.<br /><br />Beruntung, tak lama kemudian sejumlah ormas Islam termasuk MUI bergerak. Pemimpinnya dilaporkan ke kepolisian, pengikutnya diajak bertobat, dan ajarannya dinyatakan sesat. Terakhir, sang nabi palsu ini pun menyerahkan diri ke pihak yang berwajib.<br /><br />Munculnya nabi-nabi palsu itu jelas tidak diakui oleh agama Islam. Sejak kedatangan Rasulullah SAW, umat manusia diingatkan bahwa tidak akan ada lagi utusan Allah sepeninggal Beliau. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT. berfirman,<br /><br />"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Ahzab [33] : 40).<br />”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa [21] :107)<br /><br />Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga sudah berwasiat kepada kita semua bahwa memang tidak ada lagi nabi sepeninggal beliau. Sabdanya, "Dulu Bani Israil yang mengurus mereka adalah para nabi, jika salah seorang nabI wafat maka nabi yang lain menggantikannya. Tetapi sesungguhnya tak ada nabi setelahku, dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak." Para sahabat bertanya, "Maka apa yang engkau perintahkah pada kami?" Jawab Rasulullah SAW, "Penuhilah bai'at yang pertama dan pertama, dan berilah pada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang mereka urus." (HR. Muslim).<br /><br />Nabi SAW juga pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, "Wahai Ali, tidakkah engkau ridha kedudukanmu di sisiku seperti Harun AS bagi Musa AS? Akan tetapi bahwasanya tak ada lagi nabi sepeninggalku." (HR. Bukhari).<br /><br />Semoga semuanya jelas bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir tidak ada lagi nabi berikutnya. Pengakuan mereka yang menyatakan diri sebagai nabi lagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Palsu dan tidak kreatif. Pelakunya jelas berdosa besar dan pasti sudah keluar dari agama Islam (baca : murtad). Karena keimanan pada Allah juga harus dibarengi dengan iman pada kenabian Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul.<br /><br />B. Nabi-Nabi Palsu Di Indonesia<br />1. Ali Taetang<br />berasal dari Banggai pada tahun 1956 ali taetang mendirikan aliran alian Imamullah. Aliran ini didirikan Haji Ali Taetang Likabu di Dusun Sampekonan, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Tak ada data pasti jumlah pengikutnya tetapi diduga ribuan orang menjadi anggotanya dan tersebar di seluruh Indonesia.Sebelumnya di daerah ini masyarakat menganut animisme, dinamisme, dan mistik. Secara umum ajaran Alian Imamullah sama dengan Islam tetapi paham ini mempunyai dua penyimpangan pokok yakni kepercayaan terbukanya pintu kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sehingga Ali Taetang menyebut diri nabi. Kedua, dia mengubah syahadat rasul.<br /><br />2. Zikrullah Aulia Allah<br />berasal dari Sulawesi Tengah. Zikrullah Anak kedua dari istri kedua Taetang ini mengaku mendapat wahyu tentang kenabian melalui mimpi. Aliran Zikrullah Aulia Allah baru berdiri pada 29 Agustus 2004 lalu. Aliran ini merupakan versi terbaru dari aliran Alian Imamullah yang didirikan ayahnya, Ali Taetang Likabu pada 1970-an. Pada saat pendirian aliran itu, Zikrullah mengumumkan kenabiannya di atas mimbar Masjid Barokah, Dusun Sampekonan, Desa Labibi, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan. Saat itu, Zikrullah mengaku telah diangkat Allah menjadi nabi meneruskan almarhum ayahnya Ali Taetang Likabu yang juga mengaku sebagai nabi.<br /><br />3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended<br />berasal dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul. ajaran eyang model ajaran agama yang memastikan tentang kiamat dan membolehkan seks bebas. Dan para nabi pun<br /><br />4. Lia Eden<br />dengan sekte kerajaan Tuhan berasal dari Jakarta. Lia yang jago buat puisi mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril.<br /><br />5. Ahmad Moshaddeq<br />berasal dari jakarta mengaku dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.<br /><br />C. Faktor-Faktor Kemunculan Nabi Palsu Dan Aliran Sesat Di Indonesia<br /><br />- Faktor Agama<br />Tidak perlu heran kenapa sekarang muncul aliran-aliran sesat plus nabi-nabi palsu. Ada dua sebabnya; pertama, banyak orang yang awam terhadap agamanya sendiri. Tapi, meski awam, mereka berani menakwilkan ajaran Islam termasuk menakwilkan Al-Qur'an. Hasilnya? Ngaco kuadrat! Karenanya, Nabi SAW mengingatkan kita semua tentang bahayanya kebodohan, "Umatku rusak oleh dua golongan manusia; orang alim yang keji dan orang bodoh yang suka beribadah."<br /><br />Di Indonesia sebagian kecil orang yang mengaku beragama islam tetapi kurang memahami islam itu sendiri sehingga sebagian kecil orang indonesia mudah tertipu oleh orang yang mengaku Nabi baru dan gampang saja percaya bahwa ada nabi baru setelah nabi Muhammad SAW. Dan juga di Indonesia ada sebagian kecil yang mendalami agama terlalu extrim atau fanatisnya berlebihan sehingga dia berfikir sendiri/ijtihad kearah yang salah.<br /><br />Selain itu dicurigai tentang adanya kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap munculnya nabi palsu tersebut. Kelompok-kelompok ini sengaja membentuk, membiayai aliran-aliran sesat untuk menghancurkan Islam. Dari isu teroris sampai ke aliran sesat tentu membuat trauma masyarakat kita belajar agama atau ikut pengajian. Sehingga masyarakat kita hanya akan menerima Islam sebagaimana adanya. Ketika ada ajaran Islam yang tidak biasa walaupun itu berasal dari ajaran Islam. Ajaran tersebut akan dicurigai.<br /><br />Menurut kami alasan seseorang mengikuti suatu ajaran dikarenakan Sesesat-sesaatnya suatu aliran tetap saja mengandung kebenaran walaupun hanya beberapa persen saja. Inilah yang bisa menarik simpati para pengikut ajarannya. Sedangkan ajaran yang sesatnyapun dibuat sehingga sesuai dengan selera pengikutnya. Misalnya tidak shalat dan puasa. Bagi sebagian orang yang malas dengan kedua ibadah ini. Tentu ketika menemukan ajaran ini seolah ada pembenaran dengan kemalasannya. Padahal dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas bahwa Sholat diwajibkan, dalam al-qur’an Allah berfirman;<br />”Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-nisa [4] :103)<br /><br />Kemudian Allah berfirman tentang kewajiban berpuasa;<br /><br />”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] :183)<br /><br />- Faktor Budaya (Culture)<br />Memiliki sifat terbuka terhadap perkembangan yang masuk dari luar dan tetapi disamping memiliki sifat terbuka masyarakat di Indonesia mudah terpengaruh dengan mengikuti suatu ajaran tampa mempertimbangkan lebih dalam apakah ajaran tersebut benar atau salah.<br /><br />- Faktor Hukum<br />Di Indonesia masih kurang tegasnya dalam masalah hukum terhadap orang-orang yang mengaku nabi padahal sebenarya dia palsu, dan apabila ada penyelesaian dalam bidang hukum maka sanksi yang diberikannyapun terhitung tidak tegas da malahan ringan dibandingkan dengan yang telah dia lakukan yakni penistaan agama.<br /><br />- Faktor Sosial<br />Kebanyakan yang masuk ke aliran sesat ini disebabkan karena mudah terbujuk rayu oleh ajakan-ajakan yang sifatnya belum tentu membawa kearah yang benar, ajakan-ajakan itu bisa datang dari saudara, teman, atau bahkan dari seorang pacar.<br /><br />- Faktor Pendidikan<br />Sebagian kecil kurangnya pendidikan tentang agama sehingga kurangnya pengetahuan tentang agama islam sehingga mudah tersesat dan nabi palsu mudah untuk membujuk tetapi ada juga yang pendidikannya tinggi tetapi dia salah menafsirkan tentang agama sehingga dia menyimpang. adalah mereka merasa ‘terbelenggu’ dengan aturan dan kewajiban yg mesti mereka lakukan di Islam. Sebagai contoh, mereka tidak mau sholat 5 waktu tapi lebih memilih qiyamul lail. Dengan kata lain, mereka memilih hawa nafsu mereka dan tidak mau ‘bercape-cape’ dalam menjalankan syariat.<br /><br />- Faktor Lingkungan<br />Dikarenakan lingkungannya telah terprovokasi dan menganut suatu ajaran yang sesat maka seseorang bisa terbawa karena orqang tersebut sudah terbiasa dengan ajaran baru yang ada maka orang tersebut secara tidak langsung akan mengikuti ajaran sesat yang terdapat dilingkungannya, bisa karena ajakan dari orang lain ataupun keinginannya sendiri unuk mengikuti ajaran tersebut dikarenakan ajaran itu sudah berkembang dilingkungannya<br /><br />D. Dampak Yang Di Timbulkan Dari Kemunculan Nabi Palsu<br /><br />Dengan maraknya kemunculan nabi-nabi palsu di Indonesia banyak orang-orang yang terjurumus kedalam aliran sesat yang dibawa oleh nabi-nabi palsu ini, dan terjadi ketidakamanan, tentram dan harmonis didalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan sampai-sampai terjadi kekerasan terhadap umat aliran sesat itu. Hal ini dapat menyebabkan perpecahan dalam islam. Selain hal tersebut dampak lainnya adalah bila orang yang mengikuti ajaran sesat yang didalangi oleh nabi palsu tersebut diketahui oleh masyarakat luas maka mereka akan dikucilkan oleh orang-orang sekitarnya dan mereka akan diusir oleh masyarakat sekitarnya.<br /><br />E. Solusi Mencegah Terjerumus Oleh Bujuk Rayu Nabi Palsu<br />Faktor Agama<br />- Lebih memahami dan mendalami tentang islam dan alqur’an.<br />- Tidak mudah percaya dengan ajaran-ajaran yang berkedok dan mengatasnamakan islam yang mengaku memiliki seorang nabi baru.<br />- Dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad S.A.W. Allah berfirman bahwa;<br />” Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],” (QS. Al-Baqarah [2] :2)<br /><br />[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.<br />[12] takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.<br /><br />Faktor Budaya (Culture)<br />- Kita harus dapat memperhatikan dan menelaah terhadap budaya budaya luar yang masuk, karena belum tentu budaya itu baik dan sesuai dengan kita, dan apabila kita mengikutinya kita dapat terjerumus kedalamnya.<br /><br />Faktor Hukum<br />- Aparat harus mampu bertindak tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, khususnya masalah agama seperti yang terjadi sekarang ini.<br />- Pemerintah harus tindak tegas terhadap aliran-aliran agama yang menyesatkan<br /><br /><br />Faktor Sosial<br />- Tidak mudah percaya dengan teman yang mengajak kepada sesuatu yang kebenarannya belum bisa dibuktikan khususnya masalah keagamaan.<br />- <br />Faktor Pendidikan<br />- dari hasil pemberitaan di media cetak ataupun televisi ternyata tidak hanya orang yang berlatar belakang pendidikan kurang yang terjerumus kedalam ajaran atau aliran yang sesat, tetapi banyak juga orang–orang yang pada dasarnya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi ikut-ikutan terjerumus, ini memperlihatkan bahwa ajaran sesat yang disebarkan<br />- <br />Faktor Lingkungan<br />- Kita harus dapat membentengi diri dari pergaulan–pergaulan yang dapat menyesatkan kita.<br />- Berusaha mempelajari kebenaran dari suatu ajaran yang masuk, perhatikan apakah ajaran itu benar dan sesuai dengan kaidah islam atau tidak sehingga kita tidak terjerumus kadalam aliran yang sesat.<br />Faktor Ekonomi<br /> - Berusahalah untuk mendapatkan sesuatu dengan bekerja keras dan diakhiri dengan do’a.<br /> - Apabila Allah memberikan cobaan berat, percayalah bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan pada umatNya jika umatNya tidak dapat memikulnya<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB IV</span><br /><span style="font-weight: bold;">Kesimpulan</span><br /></div><br />- Orang yang terjerumus kepada aliran sesat yang mengikuti dan berpanutan kepada seorang nabi palsu adalah orang yang awam akan agamanya sendiri<br />- Dicurigai adanya kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap munculnya nabi palsu tersebut. Kelompok-kelompok ini sengaja membentuk, membiayai aliran-aliran sesat untuk menghancurkan Islam.<br />- Kita harus mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah SAW adalah nabi terakhir tidak ada lagi nabi berikutnya. Pengakuan mereka yang menyatakan diri sebagai nabi lagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah berfirman bahwa;<br /><br />” Kitab[11] (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],” (QS. Al-Baqarah [2] :2)<br /><br />[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.<br />[12] takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.<br />- <br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />ALQURAN<br />ALHADIST<br />Subhani, Ja’far. 1996. Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw. Terjemahan. Jakarta: Litera Antarnusa, Cetakan Ke-14.<br />Haikal, Muhammad Husain. 1992. Sejarah Hidup Muhammad. Terjemahan. Jakarta: Litera Antarnusa, Cetakan Ke-14.<br />Muthahhari, Murtadha. 2000. Kenabian Terakhir. Terjemahan. Jakarta: Lentera.<br />Tim Dosen Pendidikan Agama Islam UPI. 2004. ISLAM Doktrin dan Dinamika Umat. Bandung: Value Press,<br />Chalil, Moenawar. 1964. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad S.A.W . Jakarta: Bulan Bintang. Cetakan Keempat.<br /><br />http://tausyiah275.blogsome.com/2005/09/20/nabi-nabi-palsu/trackback/ KotaSantri.com<br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-4292635627547744782009-06-29T06:31:00.000-07:002009-06-29T06:45:32.126-07:00Makalah Agama, Filsafat, dan Ilmu<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Agama, Filsafat, dan Ilmu</span><br />(Objek kajian dan Relevansi)<br />Oleh Munasir, S.Pd.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">BAB I</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Latar Belakang</span><br /> Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan hati. Manusia pun diberi oleh Allah beberapa pengetahuan (Ar-Rahman: 3). Dalam sejarah pun dicatat perkembangan pengetahuan manusia mulai dari filsafat sampai pada ilmu pengetahuan. Pada zaman Yunani Kuno yang ditandai dengan perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Manusia tidak lagi berpikir mitos terhadap gejala alam, tetapi mulai berpikir itu sebagai kausalitas. Sehingga, manusia pada waktu itu tidak pasif, melainkan proaktif dankreatif, sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Pengetahuan manusia pun berkembang dari masa ke masa. Mulai dari masa Yunani Kuno (700 SM), masa Islam klasik, masa kejayaan Islam, masa Renaisans (abad ke 15-16), masa modern (abad 17-19), dan zaman kontemporer (abad ke 20). Zaman kontemporer ditandai dengan perkembangan ilmu dan teknologi tinggi, sehingga dikenal pula zaman eraglobalisasi. Dimana informasi dan transpormasi budaya dapat dilakukan dengan sangat mudah.<br /> Perkembangan ilmu dan teknologi yang semula untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh adanya penemuan televisi, komputer, handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Sehingga, kamunikasi sosial kita dengan keluarga dan masyarakat sering terabaikan. Begitu pun dengan adanya bioteknologi yang merancang adanya bayi kloning, mengakibatkan keresahan berbagai kalangan, seperti agamawan dan ahli etika.<br /> Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan objek berpikir filsafat, sehingga pada masa pasca khulafaur Rasyidin muncul beberapa aliran teologi. Hal ini menjadi keresahan bagi ulama dan intelektual Islam. Berbagai pandangan pun muncul mengenai filsafat, salah satunya pandangan hujjatul Islam al-Ghazali dengan munculnya kitab tahafutul falasifah (kesalahan para filosof). Bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang berfilsafat maka dia termasuk kaum Zindiq.<br /> Kenyataan di atas membuat paradigma di sebagian masyarakat, bahwa antara filsafat, ilmu, dan agama itu bertentangan. Benarkah demikian? Padahal dalam agama kita (Islam), terdapat ajaran-ajaran tentang pentingnya berpikir dan menuntut ilmu. Sehingga dalam beberapa ayat Allah memuji orang-orang yang mampu berpikir dengan benar (ulil albab) dan meninggikan derajat orang-orang beriman lagi berilmu (al-Mujadalah: 9). Hal inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah yang berjudul ”Relevansi Agama, Ilmu, dan Filsafat.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Identifikasi Masalah</span><br /> a. Batasan Masalah<br /> Karena keluasan kajian yang akan muncul apabila tidak dikhususkan pada kajian tertentu, maka dalam kajian ini dibatasi pada aspek-aspek tertentu, yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:<br /><ol><li>Pengertian filsafat, ilmu, dan agama</li><li>Objek kajian filsafat, ilmu, dan agama</li><li>Persamaan dan perbedaan serta relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama</li></ol><br /> b. Rumusan Masalah<br /> Agar hasil kajian ini jelas dan tidak wilayah kajiannya tidak melebar terlalu jauh, dan berdasarkan pada batasan masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan dengan tesis-tesis sebagai berikut<br /><ol><li>Apa yang dimaksud dengan filsafat, ilmu, dan agama?</li><li>Apa objek kajian filsafat, ilmu, dan agama?</li><li>Bagaimana persamaan, perbedaan,dan relevansi antara ilmu, filsafat, dan agama?</li></ol><br /><span style="font-weight: bold;">C. Sistematika Penulisan</span><br /> Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu: Bab I, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teoritis, yang berisi pengertian dari filsafat, ilmu, dan agama, objek kajiannya, dan persamaan serta perbedaan antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab III, Pembahasan, berisi sejarah sekulerisasi ilmu dan agama, dan relevansi antara filsafat, ilmu, dan agama. Bab IV, Penutup, berisi kesimpulan dan saran.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB II<br />Agama, Filsafat, dan Ilmu<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Pengertian dan Objek Kajian Agama</span><br /> Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.<br /> Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif, dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang dimiliki oleh agama bersifat universal. Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh pandangan agama yang kita anut sendiri (Sadulloh, 2007: 49).<br /> Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris. Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.<br /> Religi berasal dari kata religie (bahasa Belanda) atau religion (bahasa Inggris), masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dibawa oleh orang-orang Barat yang menjajah bangsa Indonesia. Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-hati dan diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci tersebut.<br /> Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.<br /> Konsep din dalam Al-Qur’an di antaranya terdapat pada surat Al-Maidah ayat 3 yang mengungkapkan konsep aturan, hukum atau perundang-undangan hidup yang harus dilaksanakan oleh manusia. Islam sebagai agama namun tidak semua agama itu Islam. Surat Al-Kafirun ayat 1-6 mengungkapkan tentang konsep ibadah manusia dan kepada siapa ibadah itu diperuntukkan. Dalam surat As-Syura ayat 13 mengungkapkan din sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh Allah. Dalam surat As-Syura ayat 21 Din juga dikatakan sebagai sesuatu yang disyariatkan oleh yang dianggap Tuhan atau yang dipertuhankan selain Allah. Karena din dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang disyariatkan, maka konsep din berkaitan dengan konsep syariat. Konsep syariat pada dasarnya adalah “jalan” yaitu jalan hidup manusia yang ditetapkan oleh Allah. Pengertian ini berkembang menjadi aturan atau undang-undang yang mengatur jalan kehidupan sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan. Pada ayat lain, yakni di surat Ar-Rum ayat 30, konsep agama juga berkaitan dengan konsep fitrah, yaitu konsep yang berhubungan dengan penciptaan manusia.<br /> Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat. (TIM Dosen PAI MKDU UPI, 2008: 12)<br /> Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.<br /> Adapun objek kajian agama adalah firman Tuhan dalam hal ini wahyu atau yang diyakini sebagai kitab suci atau pedoman hidup. Mempelajari tentang konsep Tuhan, manusia, dan segala penomena di alam semesta ini baik fisik atau metafisik.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Pengertian dan Objek Filsafat </span><br /> Apakah filsafat itu? bagaimana definisinya? demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni:<br />a. Segi Semantik<br /> Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,(nasution, 1779: 9) yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ yaitu cinta, suka (loving), dan ’sophia’ yaitu pengetahuan, hikmah/wisdom. Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf’(Hasyimsyah, 1998: 1) Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.<br />b. Segi Praktis<br /> Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.<br /> Banyak definisi yang bermunculan karana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:<br /><ol><li>Socrates (469 – 399 SM). Socrates memahami filsafat sebagai suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahagia.</li><li>Plato (427 – 347 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).</li><li>Aristoteles (384 - 322 SM). Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmumetafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).</li><li>Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Dan menyebut filsafat sebagai ibu dari semua pengetahuan .</li><li>Al-Farabi (meninggal 950 M). Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.</li><li>Immanuel Kant (1724 -1804). Yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)</li></ol> Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:<br /><ul><li>Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.</li><li>Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat Tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.</li></ul> Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.<br /> Berbicara tentang objek filsafat, sama halnya dengan ilmu lain yaitu sama-sama mempunyai objek. Biasanya para ahli membaginya kepada dua bahagian, yaitu objek materi dan objek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan di kupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi-filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya. Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.<br /> Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat. Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Pengertian dan Objek Ilmu</span><br /> Ilmu berasal dari bahasa Arab: ’Alima-ya;lamu, ilman dengan wazan fa’ila-yaf’ulu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)_scire (mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12).<br /> Kemudian Anshari (1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu menurut beberapa ahli sebagai berikut:<br /><ul><li>Mohammad Hatta mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.</li><li>Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak</li><li>Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana</li><li>Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.</li></ul>Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:<br /><ul><li>Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan</li><li>Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia</li><li>Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”</li></ul><ul><li>Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.</li></ul> Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).<br /> Adapun objek ilmu pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tiubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif (Bahtiar, 2004: 1).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">D. Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Agama</span>.<br /> Filsafat, ilmu, dan agama memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai berikut:<br />1. Persamaan<br /><ul><li>Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.</li><li>Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.</li><li>Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.</li><li>Ketiganya mempunyai metode dan sistem.</li><li>Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.</li></ul><br />2. Perbedaan<br /><ul><li>Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.</li><li>Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.</li><li>Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.</li><li>Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.</li><li>Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).</li><li>Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada wahyu.</li><li>Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama diawali oleh keyakinan.</li></ul><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">PEMBAHASAN</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Sejarah Munculnya Sekulerisasi Antara Ilmu dan Agama</span><br /> Pencerahan di barat diawali dengan pergulatan antara para ilmuan di satu pihak dan gereja di pihak lain. Para ilmuan beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin dapat dikompromikan dengan agama. Pergulatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuan. Inilah awal dari proses sekulerisasi Barat. Ilmu pengetahuan sama sekali terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Bahkan mereka cenderung mentuhankan pengetahuan itu sendiri, sehingga ilmu pengetauan dianggap sebagai solusi atas segala problematika yang dihadapi umat manusia. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan dianggap lepas dari manusia sehinga eksistensi manusi hanyalah sebagai pion pengetahuan.<br /> Dari sini muncul gerakan Antiscience. Mereka menolak mengikuti pengetahuan secara membabi buta yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa pemahaman seperti ini hanya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sebagian mereka bahkan menyeru agar manusia menjauhkan diri dari sikap materialistis dan kembali kepada fitrah manusia.<br /> Sayangnya pemahaman mengenai sekulerisasi ilmu pengetahuan, bahwa pengetahuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama merembet ke dunia Islam. Muncul kesan bahwa untuk dapat mengejar ketertinggalan harus meniru metodologi barat meskipun itu bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Maka mengembalikan metodologi keilmuan sebagaimana yang digariskan oleh Islam menjadi suatu keharusan.<br /> <br /><span style="font-weight: bold;">B. Relevansi Filsafat, Ilmu dan Agama</span><br /> Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:<br /> Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.<br /> Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.<br /> Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:<br />Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.<br />Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.<br />Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.<br />Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.<br /> Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:<br />Aristoteles:<br />- Manusia adalah animal rationale<br /> Karena itu, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia<br />Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup<br />Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan<br />Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional<br /> - Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.<br />b. Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.<br /> Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru.<br /> Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.<br /> Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.<br /> Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.<br /> Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.<br /> Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.<br /> Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.<br /> Keempat, yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.<br /> Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.<br /> Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB V</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENUTUP</span><br /></div><br />A. Kesimpulan<br /> Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:<br /><ul><li>Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh pengetahuan tentang manusia.</li><li>Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.</li><li>Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.</li></ul> Dengan demikian antara filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.<br />B. Saran<br /> Berdasarkan hal di atas penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih mendalami lagi ketiga bidang kajian ini, filsafat, ilmu, dan agama. Sehingga, mampu menjawab setiap permasalahan dengan bijak dan benar.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Bahtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.<br />Nasution, Harun. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.<br />Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.<br />Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung. Pustaka Bani Quraisy, 2004.<br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-23181313072065320962009-06-29T06:08:00.000-07:002009-06-29T06:28:12.019-07:00Makalah Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu</span><br />Oleh Husnan Sulaiman, S. Pd. & Munasir, S.Pd.<br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB 1</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Latar Belakang Masalah</span><br />Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.<br />Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.<br />Satu hal lain yang menjadi karakter spesifik ilmu kontemporer, dan dalam konteks ini dapat kita temukan secara relatif lebih mudah pada bidang-bidang sosial, yaitu bahwa ilmu kontemporer tidak segan-segan melakukan dekontruksi dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekontruksi ilmu yang mereka bangun. Dalam hal inilah penyebutan “potmodernisme” dalam bidang ilmu dan filsafat menjadi diskursus yang akan cukup banyak ditemukan.<br />Semua kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.<br />Pengetahuan (knowlodge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berfikir”. Berfikir (atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia (atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?<br /> Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.<br /> Oleh karena itu, permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : “Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu”.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Perumusan Masalah</span><br /> Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka dapat diambil suatu formulasi yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :<br /><ol><li>Apa yang dimaksud dengan landasan ontologi?</li><li>Apa yang dimaksud dengan landasan epistemologi?</li><li>Apa yang dimaksud dengan landasan aksiologi?</li><li>Bagaimana hubungan antara ketiga landasan tersebut?</li></ol><span style="font-weight: bold;">C. Tujuan Penulisan </span><br /> Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah :<br /><ol><li>Untuk mengetahui makna landasan ontologi</li><li>Untuk mengetahui makna landasan epistemologi</li><li>Untuk mengetahui makna landasan aksiologi</li><li>Untuk mengetahui hubungan ke tiga landasan tersebut </li></ol><br /><span style="font-weight: bold;">D. Metode Penulisan</span><br /> <br /> Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">E. Sistematika Penulisan</span><br /><br /> Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sestematika penulisan; BAB II Pembahasan, berisi landasan ontologi, landasan epistemologi, landasan aksiologi dan hubungan ke tiga landasan tersebut dalam filsafat ilmu. BAB III berisi tentang kesimpulan, yang memaparakan makna dan kegunaan memahami ketiga landasan pendekatan dalam suatu pengkajian ilmu, yakni; Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. <br /><br /><br /> <div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB II<br />LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI<br />DALAM FILSAFAT ILMU<br /></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;">A. Landasan Ontologi</span><br /> Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.<br />Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).<br />Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.<br />Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah , sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.<br />Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.<br /> Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.<br /> Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.<br /> Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :<br />1. Monoisme<br />Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:<br />a. Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:<br /><ul><li>Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. </li><li>Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.</li><li>Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan. </li></ul>Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.<br />Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.<br /><br />b. Idealisme<br />Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.<br />Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:<br /><ul><li>Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.</li><li>Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.</li><li>Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.</li><li>Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.</li></ul>2. Dualisme<br /> Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.<br />Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).<br /><br />3.Pluralisme<br />paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.<br /><br />4. Nihilisme<br />Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.<br /><br />5. Agnotisisme <br />adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.<br /> Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.<br />Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Landasan Epistemologi</span><br />Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”<br /> Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:<br />(1) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?<br />(2) Dari mana pengtahuan itu dapat diperoleh?<br />(3) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?<br />(4) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).<br />Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:<br />1. Metode Induktif<br /> Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.<br /> Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.<br />2. Metode Deduktif<br />Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.<br />3. Metode Positivisme<br /> Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.<br />4. Metode Kontemplatif<br />Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.<br />5. Metode Dialektis<br />Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Landasan Aksiologi</span><br />Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.<br />Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.<br />Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.<br />Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.<br />Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.<br />Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam</span><br /><span style="font-weight: bold;"> Filsafat Ilmu</span><br /> Istilah ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan [science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.<br /> Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.<br />Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan [knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa" dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi.<br />a. Landasan Ontologi<br /> Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?<br />Suatu pertanyaan:<br /> - Obyek apa yang ditelaah ilmu ?<br /> - Bagaiman wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?<br /> - Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.<br />[inilah yang mendasari Ontologi].<br /> Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality]. Ontologi menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan” [reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change], “tunggal”[one]dan“jamak”[many].<br /> Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?<br /> Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.<br /> Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris. Dengan demikian obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empiris.<br /> Pengetahuan keilmuan mengenai obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi terhadap realitas.<br />Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.<br /> Ilmu memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :<br /> - Asumsi pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi [taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.<br /> - Asumsi kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.<br /> - Asumsi ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika adalah teori peluang.<br /><br />b. Landasan Epistemologi<br />Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :<br /> 1. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;<br /> 2. Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.<br />Suatu Pertanyaan : <br /> - Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?<br /> - Bagaimana prosedurnya ?<br /> - Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?<br /> - Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?<br /> - Apakah kriterianya ?<br /> - Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?<br />Inilah kajian epistemologi<br />DASAR EPISTEMOLOGI ILMU<br /> Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.<br />Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.<br />Hakikat keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan. <br /><br /><br />c. Landasan Aksiologi<br /> Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.<br />Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.<br />Suatu pertanyaan :<br /> - Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?<br /> - Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?<br /> - Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.<br /> Pertanyaan-pertanyaan di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi terhadap hasil akhir pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan untuk memberikan hasil yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">KESIMPULAN</span><br /></div><br /> Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal. Pertama, pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme. Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan dialektis. Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.<br /> Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :<br />Bagaimana hakikat dari sesuatu yang ditelaah?<br />Bagaimana cara-cara memahami pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya?<br />Bagaimana urgensi, nilai dan kegunaan dari sesuatu itu?<br /> Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu. <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia<br />H. Sofyan Sauri, Dr. M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo<br />Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.<br />Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br /><br />S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]<br />Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.<br />M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.<br />R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br />Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.<br />Amsal Bakhtiar, (2006). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.<br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-16331844215824717972009-06-29T05:42:00.002-07:002009-06-29T05:55:11.964-07:00Makalah Cabang dan Aliran filsafat<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Cabang-cabang dan Aliran-aliran Filsafat, serta Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama.<br />Oleh:<br /> Teni Maryatin, S.Pd<br />Munasir, S.Pd.<br /><br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB I</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Latar belakang</span><br />Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan kehidupan kita. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati, karena dianggap sebagai ilmu yang membingungkan. Memang untuk para pembelajar filsafat tingkat pemula biasanya mereka merasa sangat cemas ketika mulai memasuki bidang studi ini. Keraguan dan kecemasan ini biasanya pelan-pelan pudar ketika sudah mulai menekuni bidang ini dan akan terasa lebih menarik lagi ketika sadar bahwa filsafat adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita.<br />Faktor lain yang menyebabkan orang beranggapan bahwa filsafat itu ilmu yang membingungkan, karena dalam mempelajari filsafat kita diarahkan untuk menggunakan metode berpikir dalam memahami bidang kajian ilmu tersebut. Berbicara tentang berpikir sesungguhnya erat kaitannya dengan penggunaan sebuah potensi terpenting yang dianugerahkan Allah SWT kepada satu-satunya makhluk yang disebut manusia. Potensi terpenting yang dimaksud di sini adalah akal .<br />Dalam Al-Qur'an kata akal (al'alqlu) diungkapkan dalam kata kerja, yaitu 'aqaluh 1 ayat, ta'qilun 24 ayat, na'qilun 1 ayat, ya'qiluha 1 ayat dan ya'qilun 22 ayat. Semua diungkap dalam bentuk kata kerja (fi'il) yang mengandung arti memahami dan mengerti. Selain itu penggunaan kata akal dalam maknanya sebagai sifat berpikir yang terdapat pada manusia di dalam Al-Qur'an sering juga disamakan dengan kata 'ulu al albab (orang berpikir), 'ulul al abshar (orang berpandangan) dan kata-kata lainnya yang mengandung arti sama yaitu berpikir.<br />( Sofyan Sauri, 2006: 23-26).<br />Salah satu contoh ayat al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata akal sebagai sarana untuk berpikir adalah firman Allah SWT : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali-Imran : 190).<br />Menafakkuri ayat di atas, sebagai manusia yang telah dianugerahi Allah potensi yang berharga yaitu akal, kita seyogyanya dapat mengoptimalkan potensi tersebut. Salah satu upaya optimalisasi potensi akal tersebut adalah dengan mempelajari salah satu bidang ilmu yang memang banyak melibatkan akal sebagai alat untuk berpikir yaitu filsafat.<br />Kajian filsafat itu sendiri sebetulnya bertujuan untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu yang kemudian biasanya mempermudah kita untuk mempelajari filsafat ini secara rinci. Sistematika filsafat biasanya terbagi atas tiga cabang besar filsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Dari ketiga cabang besar tersebut lahirlah aliran-aliran dalam filsafat. (Tafsir, 2002 : 21)<br />Oleh karena itu, melalui makalah ini penyusun mencoba menguraikan secara sistematis bidang kajian filsafat yang intinya berisi tentang cabang-cabang besar dari teori-teori di atas dan membahas secara garis besar mengenai aliran-aliran dalam filsafat disertai bagaimana jalinan tiga disipilin ilmu yaitu pengetahuan, filsafat dan agama.<br /><span style="font-weight: bold;">B. Rumusan Masalah</span><br /> Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :<br /><ol><li>Apa saja cabang-cabang filsafat itu ?</li><li>Apa saja aliran-aliran dalam filsafat itu ?</li><li>Bagaimana jalinan antara ilmu, filsafat dan agama ?</li></ol><span style="font-weight: bold;">C. Tujuan Penulisan</span><br />Secara umum, makalah ini disusun untuk menjelaskan secara garis besar bidang kajian filsafat. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :<br /><ol><li>Mengetahui cabang-cabang filsafat</li><li>Mengetahui aliran-aliran filsafat</li><li>Mengetahui jalinan ilmu, filsafat dan agama</li></ol><span style="font-weight: bold;">D. Metode Penulisan</span><br />Dalam penyusunan makalah ini menggunakan metode analisis deskriptif dan kajian pustaka.<br />Sistematika Uraian<br />Sistematika penyusunan makalah ini adalah terdiri atas : BAB I yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika uraian; BAB II berisi tentang cabang-cabang, aliran-alairan dalam filsafat serta jalinan antara ilmu, filsafat dan agama; BAB III berisi kesimpulan tentang permasalahan sekitar filsafat dan pentingnya mempelajari filsafat serta garis besar bidang kajian filsafat.<br /><br /><div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB II<br />CABANG-CABANG FILSAFAT; ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT; JALINAN ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">A. Cabang-cabang Filsafat</span><br />Menguraikan tentang cabang-cabang filsafat, penyusun mencoba menuangkan hasil bacaan yang bersumber pada dua buah buku yang menjadi referensi utama, yaitu buku “Filsafat Umum” yang ditulis Tafsir (2002) dan buku “Aliran-aliran Filsafat dan Etika” yang ditulis oleh Juhaya (2005).<br /> Mempelajari filsafat memang dirasakan sangat berguna untuk memahami bagaimana manusia berpikir. Pemikiran manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh aliran filsafat yang dianut serta yang dipahaminya. Mengingat pemikiran filsafat sangat beragam, maka cara mudah mempelajarinya adalah dengan mengklasifikasi aliran-aliran utamanya.<br /> Secara pokok sebenarnya bidang kajian filsafat berkisar pada tiga cabang besar filsafat, yaitu : (a) Teori pengetahuan; (b) Teori hakikat; (c) Teori Nilai. Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang memiliki cabang lagi yaitu epistemologi dan logika; teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri yang kemudian disebut ontologi; dan teori nilai membicarakan guna pengetahuan yang disebut axiologi. Dari tiga cabang besar tersebut lahirlah cabang-cabang baru yang merupakan anak cabang yang kemudian melahirkan adanya aliran-aliran dalam filsafat.<br /> Penjelasan mengenai aliran-aliran filsafat secara rinci akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Namun sebelum sampai kepada aliran-aliran filsafat, tentunya secara sistematis kita harus mengulas ketiga cabang besar diatas agar lebih memahami bagaimana objek kajian filsafat itu sebenarnya. Ketiga cabang besar itu yakni :<br /> Pertama, teori pengetahuan atau disebut dengan epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logy, episteme berarti knowledge atau pengetahuan dan logy berati teori. Oleh sebab itu epistemologi diartikan sebagai teori pengetahuan atau filsafat ilmu. Istilah epistemologi ini untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrrier pada tahun 1854. Dalam buku Filsafat Umum yang ditulis oleh Tafsir (2002), Runes menjelaskan dalam kamusnya (1971) epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge (Runes, 1971:94).<br /> Secara ringkas pengertian epistemologi yang diungkapkan oleh Runes diatas mirip dengan inti pengertian yang disampaikan Juhaya (2005) dalam bukunya “Aliran-aliran Filsafat dan Etika”, terdapat empat persoalan pokok bidang epistemologi tersebut yaitu : Apa pengetahuan itu? Apa sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya? Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?<br /> Adapun logika dilihat dari segi etimologi, perkataan logika berasal dari bahasa Yunani logike (kata sifat) yang berhubungan kata benda logo yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Logika secara terminologi mempunyai arti : ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti suapaya dapat berpikir valid.<br /> Logika adalah salah satu cabang filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Logika membicarakan norma-norma berpikir benar agar memperoleh dan terbentuk pengetahuan yang benar. Ada dua macam logika: logika formal dan logika material. Logika formal adalah logika bentuk. Logikanya ialah agar diperoleh pengatahuan yang benar, mka bentuk berpikirnya harus benar. Soal apakah isinya benar atau salah, ini dibicarakan oleh logika material. Logika mempunyai faedah tidak hanya untuk berfilsafat tapi juga dalam bidang lainnya. Faidah itu diantaranya : (a) logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan; (b) logika menambah daya berpikir abstrak dan melatih cara mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual; (c) logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoriti.<br /> Kedua, teori hakikat yaitu merupakan cabang filsafat yang membicarakan hakikat sesuatu. Hakikak artinya keadaaan yang sebenarnya, hakikat sebenarnya adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu itu, bukan keadaan sementara yang selalu berubah. Contoh tentang hakikat air. Air itu jika didinginkan sampai titik nol derajat celcius maka ia akan membeku, jika dipanaskan maka ia akan menguap. Teori hakikat mempunyai cabang-cabang yaitu : Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodecia, Filsafat Agama, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain. Cabang-cabang inilah yang kemudian melahirkan aliran-aliran filsafat yang akan dibahas juga pada halaman selanjutnya.<br /> Ketiga, teori nilai yaitu merupakan kerangka ketiga dalam ketiga dalam tiga kerangka besar filsafat. Sebelum menjelaskan teori nilai, kita ungkap terlebih dahulu apa itu nilai. Nilai artinya harga, sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang melekat pada benda dan bukan di luar benda. Teori nilai ini mencakup dua cabang filsafat yang cukup terkenal yaitu : Etika dan Estetika. Etika membicarakan soal baik-buruk perbuatan manusia. Sedangkan Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum.<br /> Tentunya pada kesempatan ini, teori nilai tidak akan dibahas secara rinci karena secara umum teori nilai banyak berbicara tugas etika, sifat dasar etika, objek etika, metode etika serta pendekatan-pendekatanya, dan macam-macam etika serta dan secara umum penjelasan estetika yang akan lebih dirinci diuraikan lagi dalam pembahasan filsafat etika dan aliran-alirannya.<br /> Dalam referensi lain yang penyusun temukan melalui internet, cabang-cabang filsafat ini dibicarakan lebih spesifik oleh para pemerhati filsafat, diantara ada yang membagi filsafat ini kedalam :<br /><ol><li>Filsafat Alam, Obyeknya: alam kehidupan dan alam bukan kehidupan. Tujuannya: menjelaskan fenomena alam dari aspek eksistensi fenomena tersebut dan menelusuri syarat-syarat kemungkinan.</li><li>Filsafat Analitis, yaitu Ilmu memusatkan perhatian pada bahasa dan upaya untuk menganalisis pernyataan (konsep, atau ungkapan kebahasaan aatau bentuk-bentuk logis. Tujuannya ialah untuk menemukan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas dan yang terbaik, yang cocok dengan fakta atau arti yang disajikan,</li><li>Filsafat Bahasa Sehari-hari, yaitu yang berpandangan bahwa dengan menganalisis bahasa biasa (makna, implikasi, bentuk dan fungsinya) kita dapat memperlihatkan kebenaran mengenai kenyataan. Dengan analisis bahasa biasa kita dapat memahami masalah pokok filsafat dan sekaligus dapat memecahkannya.</li><li>Filsafat Gestalt .yaitu salah satu pandangan filsafat ini berpandangan bahwa realitas merupakan dunia tempat organisme fisik memberikan tanggapan dalam proses mengatur struktur-struktur atau keseluruhan yang diamati.</li><li>Filsafat Kebudayaan, yaitu filsafat yang memberikan gambaran keseluruhan mengenai gejala kebudayaan (bentuk, nilai dan kreasinya). Tugasnya untuk menyelidiki hakekat kebudayaan, memahaminya berdasarkan sebab-sebab dan kondisi-kondisinya yang esensial. Filsafat ini juga bertugas untuk menjabarkan pada tujuan-tujuannya yang paling mendasar dan karena itu juga menemukan arah dan luas perkembangan budaya.</li><li>Filsafat Kehidupan, yaitu filsafat kehidupan dalam bahasa sehari-hari yang berarti (1) cara tau pandangan hidup. Dan ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis. (2) Etika sebagai ilmu yang berbicara mengenai tujuan dan kaidah-kaidah kehidupan dapat juga disebut sebagai filsafat kehidupan.</li></ol><br /><span style="font-weight: bold;">B. Aliran-aliran dalam Filsafat</span><br /> Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa aliran-aliran dalam filsafat ini terlahir dari cabang-cabang besar atau teori-teori yang menjadi kajian utama bidang filsafat. Dari teori pengetahuan lahir cabang epistemologi. Persoalan pertama dalam epistemologi seperti diterangkan diatas adalah tentang apa pengetahuan itu?. Pengetahuan adalah sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. (Juhaya, 2005: 9).<br /> Selanjutnya persoalan kedua adalah tentang sumber pengetahuan manusia, yang kemudian lahir aliran-aliran dalam filsafat. Menurut Louis Q. Kattsof dalam buku yang sama mengatakan bahwa sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu : (1) Empiris yang kemudian melahirkan aliran empirisme; (2) Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme; (3) Fenomena yang melahirkan aliran fenomenologi; (4) Instuisi yang melahirkan aliran instuisme; dan (5) Metode ilmiah yang merupakan gabungan antara aliran rasialisme dan empirisme. Metode ilmiah inilah yang kemudian mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh universitas di dunia ini.<br /> Mari kita uraikan lagi kelima aliran-aliran tersebut diatas yang sebenarnya merupakan pokok yang menjadi fokus uraian kita pada kesempatan ini. Aliran- aliran itu adalah :<br /><ul><li>Aliran Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan itu adalah pengalaman inderawi. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704), analogi dari aliran ini menyebutkan bahwa es itu membeku dan dingin, karena secara pengalaman inderawi es itu dapat dilihat bentuknya beku dan rasanya dingin. Dari disinilah dapat disimpulkan bahwa menurut aliran empirisme pengetahuan itu didapat dengan perantaraan inderawi atau pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai, tetapi aliran ini mempunyai kelamahan karena sebetulnya inderawi memiliki keterbatasan dan terkadang menipu. Dari kelemahan ini muncul aliran kedua yatiu aliran Rasionalisme.</li><li>Aliran Rasionalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa akal adalah dasar dari kepastian pengetahuan. Tokoh aliran ini adalah Rene Descartes (1596 – 1650). Aliran ini muncul karena koreksi dari aliran Empirisme menurut kacamata aliran ini manusia akan sampai pada kebenaran semata-mata karena akal, inderawi menurut aliran Rasionalisme hanyalah merupakan bahan yang belum jelas, akal-lah yang kemudian mengatur bahan tersebut sehingga membentuk pengetahuan yang benar. Analogi menurut aliran ini adalah kenapa benda yang jauh akan kelihatan kecil ?, karena secara akal bayangan yang jatuh dimata akan kecil atau contoh analogi lain kenapa gula terasa pahit bagi orang yang demam, karena lidah orang yang sakit demam itu tidak normal.</li><li>Aliran Fenomenalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan didasarkan pada sebab akibat yang merupakan hubungan yang bersifat niscaya dan ditampakan oleh sebuah gejala (Pehenomenon). Tokoh aliran ini adalah Imanuel Kant yaitu seorang filosof Jerman ( abad ke-18) analogi dari aliran ini adalah tetang bagaimana memperoleh pengetahuan bahwa kuman itu menyebabkan penyakit tifus, orang yang menderita demam tifus disebabkan oleh kuman yang masuk dalam diri orang tersebut.</li><li>Aliran Instuisme, yatiu aliran yang berpendapat lahirnya pengetahuan yang lengkap dan utuh tidak hanya diperoleh melalui indera dan akal tetapi butuh juga instuisi utuk menangkap keseluruhan objek pengetahuan. Tokoh aliran ini adalah Henri Bergson (1859 – 1941), aliran ini mirip dengan aliran Iluminasionesme atau Teori Kasyf dalam ajaran Islam yaitu pengetahuan langsung dari Tuhan yang hanya bisa diterima apabila hatinya telah bersih. Pengetahuan itu bisa didapat melalui latihan atau “riyadhah”. Contoh dari intuisi atau pengetahuan tingkat tinggi ini yang dimiliki oleh Nabi SAW (atas izin Allah) dapat melihat atau mengetahui hal-hal yang ghaib, dapat mendengar orang yang disiksa di alam kubur, menghitung tiang-tiang mesjid Al Aqsha dan sebagainya.</li></ul>Metode Ilmiah, yaitu sebuah sarana untuk memperoleh pengetahuan. Metode ilmiah ini merupakan suatu metode yang menggabungkan antara pengalaman dan akal sebagai pendekatan bersama dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian-penyelesaian yang disarankan. Metode ilmiah diawali dengan melalui pengamatan-pengamatan yang selanjutnya dilakukan hipotesis. Sifat yang menonjol dari dari metode illmiah ialah digunakannya akal dan pengalaman disertai dengan sebuah unsur baru yaitu hipotesis tadi. Bila suatu hipotesis dikukuhkan kebenarannnya oleh contoh-contoh yang banyak jumlahnya, maka hipotesis tersebut kemudian dapat dipandang sebagai hukum. Metode ilmiah ini pernah di praktekkan oleh seorang ahli Astronomi yang bernama Kepler yang melakukan pengamatan tentang posisi planet Mars.<br />Dalam buku Filsafat Ilmu yang ditulis oleh Tafsir (2002), beliau memasukkkan aliran aliran Positivisme kedalam kelompok pengetahuan dari cabang epistemologi. Menurut beliau aliran Positisme lahir karena merupakan gabungan antara aliran-aliran empirisme dan rasionalisme yang sudah diuraikan diatas juga menyempurnakan kedua aliran tersebut. Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857) yang merupakan penganut aliran empirisme.<br />Aliran inilah melahirkan science knowledge (sains/ilmu pengetahuan). Menurut aliran ini kebenaran dapat diperoleh dengan akal didukung oleh bukti-bukti empiris yang diukur dan diperkuat serta dipertajam oleh eksperimen. Analogi dari aliran ini misalnya tentang panas dapat diukur dengan derajat (termometer), jauh dapat diukur dengan meteran, berat-ringan dapat diukur oleh timbangan.<br />Kajian pokok filsafat yang kedua adalah teori hakikat. Teori hakikat mempunyai cabang-cabang yaitu : Ontologi, Kosmologi, Antropologi, Theodecia, Filsafat Agama, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan dan lain-lain.<br />Selanjutnya dari teori hakikat atau muncul yang disebut dengan ontologi. Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2) aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.<br />Berikutnya kita akan membahas keempat aliran tersebut, yakni :<br /><ol><li>Aliran Materialisme, adalah aliran yang beranggapan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri, hakikat kayu adalah kayu itu sendiri, hakikat air adalah air itu sendiri, begitu pula yang lainnnya. Jadi menurut aliran ini materilah yang hakikat;</li><li>Aliran Idealisme, adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran, atau jiwa. Dunia menurut aliaran ini dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu objek semata-mata. Prinsip pokok dari idealisme adalah kesatuan organik, jadi kesimpulannya menurut aliran ini yang hakikat itu adalah ruh atau ide sedangkan materi bukan hakikat;</li><li>Aliran Dualisme, adalah aliran filsafat yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat.materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.</li><li>Aliran Agnoticisme, adalah alirn yang mengatkan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.</li></ol>Demikian aliran-aliran yang dilahirkan oleh ontologi yang merupakan salah satu cabang besar yang memiliki aliran-aliran berbeda dengan kosmologi dan antropologi yang kedua-duanya tidak memiliki cabang-cabang secara terinci.<br />Kosmologi itu sendiri intinya merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat asal, susunan, dan hakikat perubahan serta tujuan akhir dari jagat raya/alam besar (kosmos). Tentang kosmologi ini ada spekulasi teori kabut, teori pasang, teori ledakan dahsyat tentang susunan kosmos ada teori geosentris dan teori heliosentris.<br />Sedangkan Antropologi membicarakan hakikat manusia dari segi filsafat. Misalnya muncul pertanyaan : Apa manusia itu/, Apa dan dari mana asalnya?, apa akhir dan tujuannya?. Menurut filsafat mengenai asal manusia berdasarkan aliran materialisme adalah materi, sedangkan menurut aliran idealisme hidup manusai berasal dari Yang Hidup.<br />Filsafat yang membicarakan Tuhan adalah Theodicea atau Theologika, yaitu membicarakan Tuhan dari segi pikiran (akal): untuk membedakannya dari pembicaraan Tuhan dari segi wahyu dan iman, yang pertama itu sering disebut teologi naturalis (membicarakan Tuhan dari segi akal).<br />Selanjutnya mengenai fisafat agama, filsafat hukum dan filsafat pendidikan lebih lanjut dijelaskan secara spesifik dalam pembahasan tersendiri yang biasanya sudah menjadi disiplin ilmu yang menjadi kajian utama dalam perkuliahan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Jalinan Ilmu, Filsafat dan Agama</span><br /> Sebelum membahas bagaimana jalinan antara ilmu, filsafat dan agama, alangkah baiknya apabila kita mencoba kembali mengungkap definisi dari ilmu, filsafat dan agama tersebut walaupun sebenarnya sulit sekali mengungkap sebuah definisi karena biasanya dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang orang yang akan membuat definisi tersebut. Demikian yang diungkapkan Juhaya (2005) ketika beliau akan memberikan definisi-definisi tentang ilmu, filsafat dan agama.<br /> Dalam bukunya yang berjudul Aliran-aliran Filsafat dan Etika beliau membuat definisi tentang ilmu, filsafat dan agama. Menurut beliau yang dimaksud dengan ilmu adalah sesuatu yang melekat pada manusia di mana ia dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Jadi secara umum sebenarnya ilmu itu berarti tahu/pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan sebagainya. Pada dasarnya ilmu/pengetahuan mempunyai tiga kriteria, yaitu ; (a) adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran;(b) persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya; dan (c) adanya keyakinan tentang persesuaian itu.<br /> Adapun filsafat mempunyai arti yang diambil dari kata Philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos yang artinya cinta atau suka dan shopia artinya bijaksana. Dengan demikian kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut Philosopher atau Failasuf. Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam diantaranya yang diungkapkan Al-Farabi (wafat 950 M) seorang filsuf Muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya.<br /> Sedangkan agama memiliki arti yang berasal dari bahasa sansakerta yaitu a-gama, a=tidak; gama=kacau; agama berarti tidak kacau. Dalam arti luas agama mempunyai makna bahwa manusia yang beragama atau menjalankan aturan agama maka hidupnya tidak akan kacau balau.<br /> Lalu bagaimana sebetulnya jalinan antara ilmu, filsafat dan agama? Marilah kita kaji dimana titik temu antara ilmu dengan filsafat dan titik temu antara agama dan filsafat. Ada beberapa hal dimana filsafat dan ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.<br /> Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat, ilmu pengetahuan juga melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangakan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sementara filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Sebagai contoh tentang konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembalai pemikiran kita hampir dalam segala bidang.<br /> Kesimpulannya kontribusi yang lebih jauh yang diberikan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik tentang asumsi, postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai. Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan ari-arti dari objeknya masing-masing. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan meraka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu.<br /> Dalam perjalanannya filsafat dengan ilmu juga terkadang memiliki pertentangan pada kecondongan atau titik penekanan, bukan pada penekanan yang mutlak. Penekanan itu dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan berikut ini, yaitu :<br /><ul><li>Ilmu-ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba melayani seluruh manusia dan lebih bersifat inklusif tidak ekslusif;</li><li>Ilmu lebih analitik dan lebih deskriptif, sedangkan filsafat lebih sintetik dan sinoptik;</li><li>Ilmu menganalisis seluruh unsur yang menjadi bagian-bagiannya; sedangkan filsafat berusaha untuk mengembangkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif;</li><li>Jika ilmu berusaha untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi, sedangkan filsafat lebih mementingkan personalitas, nilai-nilai dan juga bidang pengalaman;</li><li>Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif, sedangkan filsafat bersifat radikal dan subjektif;</li></ul>Adapun titik temu antara agama dan filsafat adalah baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi, yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rosul-Nya.<br />Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada hal-hal yang penting, misalnya Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada-atau paling tidak-mungkin ada, karena objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada.<br />Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Tegasnya akan kita lihat perbedaan-perbedaan antara agama dan filsafat sebagai berikut :<br /><ul><li>Filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama berdasarkan wahyu ilahi, oleh karena itu agama sering juga disebut kepercayaan alasannya karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai;</li><li>Dalam filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan bathin, sedangkan dalam agama untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman;</li><li>Agama beralatkan kepercayaan, sedangkan filsafat berdasarkan penelitian.</li></ul>Demikianlah antara ilmu, filsafat dan agama sebenarnya mempunyai jalinan dan saling berhubungan satu sama lain yang memiliki kesamaan yaitu mencari hakikat kebenaran, meski ada beberapa perbedaan terutama yang berkaitan dengan objek forma, sumber, cara pandang, hasil serta alat ukurnya.<br />Titik temu dari ketiga disiplin ilmu itu adalah bahwa ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan Agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.<br />Secara ringkas jalinan ilmu, filsafat dan agama dapat digambarkan sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">KESIMPULAN</span><br /><br /></div> Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah sebuah ilmu yang sebenarnya bisa dipelajari oleh semua orang. Walaupun memang sedikit rumit bagi sebagian anggapan orang tentang filsafat, tetapi apabila kita dapat mempelajarinya secara sistematik, maka akan didapat pemahaman yang komprehensif mengenai filsafat tersebut.<br /> Bidang kajian filsafat secara umum dapat dibagi ke dalam tiga cabang besar yaitu : teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai. Dari ketiga teori tersebut lahirlah cabang-cabang yang kemudian di kembangkan oleh para ahli filsafat menjadi aliran yang bermacam-macam.<br /> Filsafat dalam perkembangannya erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan agama, sehingga terjadinya jalinan yang kuat antara ketiga disiplin ilmu tersebut. ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi kemudian filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenaran dan Agama menentukan arah dalam mendapatkan kebenaran yang hakiki itu berlandaskan pada keyakinan dan keimanan.<br /> Akhirnya sebagai manusia yang dianugerahi potensi berharga yaitu akal, sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT dengan mendaya gunakan segala potensi yang dimiliki oleh akal tersebut melalui belajar filsafat, karena dengan filsafat tersebut kita sebagai manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, dan berefleksi tentang bagaimana kita sebagai seorang manusia memandang dunia dan menata kehidupan.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Al-Qur'an dan Terjemahnya. (1989). Departemen Agama Republik Indonesia<br />Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. Pendidikan Berbahasa Santun. (2006) Bandung : PT Genesindo<br />Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.<br />Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br />S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]<br />Liang Gie, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.<br />Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-67295678531513837412009-06-29T04:36:00.001-07:002009-06-29T05:20:31.839-07:00Makalah Pengantar Filsafat<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB I</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br /><br /></div><span style="font-weight: bold;">A. Latar Belakang Masalah</span><br />Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Baik itu potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa (psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).<br />Dengan potensi akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan yang tidak mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata kehidupannya.<br />Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya. Contohnya para ilmuwan muslim seperti Al-khawarizmi (825M) yang mampu menyusun buku matematika aljabar dan arimetika yang kemudian di Eropa menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang menggantikan cara penulisan dengan angka romawi. Ibnu Sina (980-1037) adalah bapak kedokteran modern, ia menulis buku Al-Qonuun fi Ath-Thib (The Canon of Medicine) dan Kitab Asy-Syifa’ (The Book of Healing) yang telah dijadikan bahan rujukan ahli-ahli kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040) seorang cendikiawan multidisiplin ilmu yang menghasilkan karya besar Al-Manadhir (The Optic). Ibnu Ismail Al-Jaziri (1136-1206), tokoh besar bidang mekanik dan industri ini berhasil mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang dikenal sebagai mesin robot.<br />Di dunia baratpun dikenal tokoh-tokoh ilmuwan yang telah menorehkan sejarah emasnya bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727) yang berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan kalkulus yang disebut diferensial integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang penemu telepon. Wilhelm Konrad Roentgen (1895) yang telah menemukan sinar X. Thomas Alva Edison (1827-1931), penemu lampu pijar dan 3000 penemuan lainnya yang sampai sekarang kegunaannya dapat kita rasakan. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang lainnya.<br />Lantas, bagaimana mereka mampu melakukan hal besar itu semua? Itu semua tentunya mampu mereka capai karena mereka dapat mengoptimalkan potensi akal yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga. Dan salah satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat mengoptimalkan akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Rumusan Masalah</span><br />Sebagai sebuah pengantar filsafat, dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan sebagai berikut:<br />Bagaimana definisi dan rumusan filsafat?<br />Apa yang mendorong timbulnya filsafat?<br />Apa yang menjadi obyek studi filsafat?<br />Bagaimana metode mempelajari filsafat?<br />Apa saja manfaat mempelajari filsafat?<br />Apa saja bidang kajian filsafat?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Tujuan Penulisan</span><br />Secara umum, makalah ini disusun untuk menjelaskan pengantar umum tentang filsafat. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk:<br /><ol><li>Mengetahui definisi dan rumusan filsafat</li><li>Mengetahui hal-hal yang mendorong timbulnya filsafat</li><li>Mengetahui obyek studi filsafat</li><li>Mengetahui metode mempelajari filsafat</li><li>Mengetahui manfaat mempelajari filsafat</li><li>Mengetahui bidang kajian filsafat</li></ol><span style="font-weight: bold;">D. Metode Penulisan</span><br />Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode analisis deskriftif dan kajian pustaka.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">E. Sistematika Uraian</span><br />Dalam bab I dibahas mengenai pendahuluan yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan makalah dan sistematika uraian.<br />Sedangkan dalam bab II dibahas topik inti dari makalah ini, yakni “Sebuah Pengantar Filsafat”. Di dalamnya memuat berbagai pembahasan mengenai definisi dan rumusan filsafat; hal-hal yang mendorong timbulnya filsafat; objek studi filsafat; cara mempelajar filsafat; manfaat mempelajari filsafat; bidang kajian filsafat dan khulasah. Sementara dalam bab III dibahas kesimpulannya.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB II</span><br /><span style="font-weight: bold;">SEBUAH PENGANTAR FILSAFAT<br /><br /></span></div><span style="font-weight: bold;">A. Definisi dan Rumusan Filsafat</span><br />Hatta mengemukakan bahwasanya pengertian filsafat itu sebaiknya tidak dibicarakan lebih dahulu Nanti, bila orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Begitu juga dengan Langeveld ia berpendapat: “setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu; dan semakin dalam ia berfilsafat ia akan semakin mengerti apa filsafat itu” (Tafsir, 2002:9). Meskipun pendapat keduanya adalah benar, akan tetapi dalam makalah ini perlu kiranya dibahas pengertian filsafat secara singkat menurut beberapa tokoh filsafat sebagai berikut:<br /><ol><li>Pythagoras (572-497 SM); Menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, Pyhtagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, kata yang berasal dari bahasa Yunani yang kelak dikenal dengan istilah filsafat. Ia memberikan definisi filsafat sebagai the love of wisdom. Menurut Pythagoras, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya seorang pylosophos (pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.</li><li>Socrates (469-399 SM); Ia adalah seorang filsuf dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada jaman Yunani Kuno. Socrates memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia (principles of the just and happy life).</li><li>Plato (427-347 SM); Seorang sahabat dan murid socrates ini telah mengubah pengertian kearifan (sophia) yang semula bertalian dengan soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi pemahaman intelektual. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencari kebenaran asli. Dalam karya tulisnya Republic Plato ia menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filsuf yang dapat menemukan dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato tersebut kemudian dikenal dengan filsafat spekulatif.</li><li>Aristoteles (384-322 SM); Aristoteles adalah salah seorang murid Plato yang terkemuka. Menurut pendapatnya, sophia (kearifan) merupakan kebajikan intelektual tertinggi, sedangkan philosophia merupakan padanan kata dari episteme dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai sesuatu objek yang sesuai. Menurutnya juga, filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya tergabung metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.</li><li>Aliran Stoicisme; Aliran filsafat ini berkembang setelah lahirnya kerajaan Romawi Kuno. Pada dasarnya filsafat adalah suatu sistem etika untuk mencapai kebahagiaan dalam diri masing-masing orang dengan mengusahakan keselarasan antara manusia dengan alam semesta. Keselarasan itu dapat tercapai dengan hidup sesuai alam dengan mengikuti petunjuk akal sebagai asas tertinggi sifat manusiawi. Bagi para filsuf Stoic, filsafat adalah suatu pencarian terhadap asas-asas rasional yang mempertalikan alam semesta dan kehidupan manusia dalam suatu kebulatan tunggal yang logis.</li><li>Al-Kindi (801-873 M); Ia adalah seorang filosof muslim pertama. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam berprakteknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula.</li><li>Al-Farabi (870-950 M); Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang bagaimana hakikat alam wujud yang sebenarnya.</li><li>Francis Bacon (1561-1626 M); Seorang filsuf Inggris ini mengemukakan metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan percobaan menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (The great mother of the sciences).</li><li>Henry Sidgwick (1839-1900 M); Dalam bukunya Philosophy, Its Scope and Relations: An Introductory Course of Lectures Henry Sidgwick menyebutkan bahwa filsafat sebagai scientia scientarium (ilmu tentang ilmu), karena filsafat memeriksa pengertian-pengertian khusus, asas-asas pokok, metode khas, dan kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu apapun dengan maksud untuk mengkoordinasiakan semuanya dengan ha-hal yang serupa dari ilmu-ilmu lainnya.</li><li>Bertrand Russel (1872-1970 M); Seorang filsuf inggris lainnya yang bernama lengkap Bertrand Arthur William Russel ini menganggap filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketakselarasan yang dapat terkandung dalam asas-asas itu.</li><li>J. A. Leighton; Ia menegaskan bahwa filasafat mencari suatu kebulatan dan keselarasan pemahaman yang beralasan tentang sifat alami dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap meliputi sebuah pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan tentang seluruh alam semesta dan sebuah pandangan hidup atau ajaran tentang berbagai nilai, makna, dan tujuan kehidupan manusia.</li><li>John Dewey (1858-1952) ; Dalam karangannya Role of Philosophy in The History of Civilizations (Proceedings of The Sixht International Congress of Phylosophy) ia menganggap filsafat sebagai suatu sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang lama dengan yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan. Filsafat merupakan suatu pengungkapan dari perjuangan-perjuangan manusia dalam usaha yang terus menerus untuk menyesuaikan kumpulan tradisi yang lama dengan berbagai kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik yang baru.</li><li>Poedjawijatna (1974); Ia menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu selalu berusaha untuk mencapai yang diinginkannya itu. Sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi menurutnya, filsafat bisa diartikan ingin mencapai kepandaian, cinta pada kebijakan. Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.</li><li>A. Sonny Keraf & Mikhael Dua; Mereka mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.</li></ol><br />Seringkali kita mendengar orang yang berkata: “Apa itu filsafat?”. Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab secara singkat, namun menurut Sonny dan Mikhael, dengan mengajukan pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kita sedang berfilsafat. Dengan jawaban sederhana tersebut bisa difahami bahwa filsafat itu adalah sebuah sikap mempertanyakan tentang segala sesuatu. Memang pada akhirnya pertanyaan itu akan menemukan jawabannya, tetapi jawaban ini selalu dipertanyakan lagi. Karena itulah filsafat sering dianggap sebagai sesuatu yang bermula dari sebuah pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan pula. Dengan kata lain, filsafat adalah sebuah sistem pemikiran yang terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan bukan pernyataan.<br />Sebenarnya masih banyak definisi, konsepsi, dan interpretasi mengenai filsafat dari berbagai ahli yang merumuskan bahwa filsafat berhubungan dengan bentuk kalimat yang logis dari bahasa keilmuan, dengan penilaian, dengan perbincangan kritis, praanggapan ilmu, atau dengan ukuran baku tindakan. Setiap filsuf dan suatu aliran filsafat membuat perumusannya masing-masing agar cocok dengan kesimpulannya sendiri.<br />Berbagai perumusan itu tidak dapat dikatakan bahwa yang satu salah dan yang lainnya benar. Nampaknya semua perumusan itu sama benarnya karena masing-masing melihat dari salah satu pokok persoalan, permasalahan, titik berat, segi, tujuan atau metode yang dianut oleh seorang filsuf atau suatu aliran filsafat.<br />Oleh karena itu, Abu Bakar Atjeh (Tafsir, 2002: 11) menyatakan bahwa perbedaan definisi dan rumusan tentang filsafat itu disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu sendiri karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B Hal-hal yang Mendorong Timbulnya Filsafat</span><br />Dalam bukunya “Alam Pikiran Yunani” Hatta (Tafsir, 2002: 13) menjelaskan bahwa hal yang mendorong timbulnya filsafat adalah dua hal. Pertama, dongeng dan takhayul yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa. Di antara masyarakat tersebut ada saja orang-orang yang tidak percaya begitu saja. Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran dongeng tersebut lalu dari situ muncullah filsafat. Kedua, keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal tersebut menyebabkan keingin tahuan orang-orang Yunani untuk mengetahui rahasia alam tersebut. Keinginan untuk mengetahui rahasia alam berupa pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga.<br />Sementara itu menurut Beerling (Tafsir, 2002: 13) orang-orang Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban. Ketakjuban mereka dalam menyaksikan keindahan alam ini menyebabkan mereka ingin mengetahui rahasia rahasia alam semesta ini. Plato mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub tersebut melahirkan sikap bertanya, dan pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Bila seorang pemikir menemukan jawaban, jawaban itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya itu.<br />Namun perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sedehana seperti “apa warna bungan mawar?”, tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh mata kita. Begitupun pertanyaan seperti “kapan padi ini akan mulai dipanen?”, pertanyaan tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan melakukan riset saja. Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat adalah pertanyaan yang mendalam, yang bobotnya berat dan tidak terjawab oleh indera kita. Coba saja anda jawab pertanyaan dari Thales, “Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan seperti inilah yang membuat indera kita tidak mampu menjawab bahkan sains pun terdiam. Dan jawaban terhadap pertanyaan Thales inipun memerlukan pemikiran yang mendalam.<br />Sementara itu, pada jaman modern seperti sekarang ini yang menjadi penyebab timbulnya filsafat adalah karena adanya kesangsian. Apa yang dimaksud dengan sangsi? Sangsi itu setingkat di bawah percaya dan setingkat di atas tidak percaya. Apabila manusia menghadapi suatu pernyataan, mungkin ia akan percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua-duanya. Pada sikap percaya dan tidak percaya, pikiran tidak bekerja dan tidak ada problem. Akan tetapi, ketika percaya tidak dan tidak percayapun tidak, maka pikirannya akan bekerja sampai pada percaya atau tidak percaya. Selama ada tanda tanya di dalam pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur. Dalam bahasa Yunani pertanyaan yang membentur-bentur dalam pikiran itu disebut problema yang menunjukkan sesuatu yang ditaruh didepan, merintangi perjalanan kita dan harus disingkirkan agar tidak membentur kaki.<br />Dengan demikian, sangsi menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran bekerja menimbulkan filsafat.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">C. Objek Studi Filsafat</span><br />Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filosof adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut objek materia, yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Tentang objek materia filsafat ini banyak yang sama dengan objek materia sains, namun bedanya adalah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki objek materia yang empiris, sementara filsafat menyelidiki bagian objek yang abstraknya. Kedua, ada objek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materia yang selamanya tidak empiris.<br />Selain objek materia ada juga objek forma, yaitu sifat penelitian. Objek forma filsafat adalah penyelidikan yang mendalam. Kata mendalam berati ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Objek penelitian sains adalah pada batas dapat diriset. Sedangkan objek penelitian filsafat ada pada daerah tidak dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">D. Cara Mempelajari Filsafat</span><br />Ada tiga macam metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat, yaitu; metode sistematis, metode historis dan metode kritis.<br />Dengan menggunakan metode sistematis, para pelajar akan menghadapi karya-karya filsafat. Misalnya, mula-mula pelajar akan mempelajari teori-teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang ilmu lainnya.kemudian ia akan mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Tatkala pelajar membahas setiap cabang atau sub cabang filsafat, maka aliran-aliran filsafat pun akan terbahas. Dengan mempelajari filsafat melalui metode sistematis ini perhatian kita akan terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada periodenya.<br />Adapun metode historis digunakan bila para pelajar mempelajari filsafat dengan mengikuti sejarahnya. Ini dapat dilakukan dengan cara membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misalnya ketika kita mulai membicarakan Thales, berari kita membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat maupun dalam teori nilai. Kemudian dilanjutkan dengan membicarakan Naximandros, lalu Socrates, Rousseau, lantas Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer. Mengenalkan tokoh memang perlu karena ajarannya biasanya berkaitan erat dengan lingkungan, pendidikan dan kepentingannya.<br />Cara lain untuk mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini adalah dengan cara membagi babakan filsafat sejarah. Misalnya mula-mula dipelajari filsafat kuno, kemudian filsafat pertengahan dan selanjutnya adalah filsafat abad modern. Variasi cara mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini cukup banyak. Yang penting, mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis berarti mempelajari filsafat secara kronologis. Dan metode ini sangat cocok bagi pelajar pemula.<br />Adapun metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pelajar haruslah telah memiliki bekal pengetahuan tentang filsafat. Dalam metode ini pengajaran filsafat dapat menggunakan metode sistematis atau historis. Langkah pertama adalah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritiknya. Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang dipelajari. Dalam mengritik mungkin ia menggunakan pendapatnya sendiri atau dengan menggunakan pendapat filosof lainnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">E. Manfaat Mempelajari Filsafat</span><br />Setidaknya ada empat manfaat dalam mempelajari ilmu filsafat, yaitu; agar terlatih berpikir serius, agar mampu mempelajari filsafat, agar mungkin menjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik.<br />Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan berpikir serius diperlukan oleh orang biasa, penting bagi orang-orang yang memegang posisi penting dalam membangun dunia. Kemampuan berpikir serius itu, mendalam adalah satu cirinya, tidak akan dimiliki tanpa melalui latihan. Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan berfikir serius. Kemampuan ini akan memberikan kemampuan memecahkan masalah secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, dan menemukan sebab terakhir suatu penampakan.<br />Setiap orang tidak perlu mengetahui isi filsafat. Akan tetapi, orang-orang yang ingin berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui ajaran-ajaran filsafat. Mengapa? Hal itu dikarenakan dunia dibentuk oleh dua kekuatan; agama dan atau filsafat. Barang siapa yang ingin memahami dunia maka ia harus memahami dunia atau filsafat yang mewarnai dunia tersebut. Dengan memiliki kemampuan berfikir serius, seseorang mungkin saja akan mampu menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia. Mungkin itu berupa kritik, mungkin juga berupa usul. Apabila argumentasinya kuat, maka kritik dan usul tersebut bisa menjadi suatu sistem pemikiran.<br />Orang yang telah mempelajari filsafat, apalagi bila telah mampu berfikir serius, ia akan mudah menjadi warga negara yang baik. Hal ini dikarenakan rahasia negara yang terletak pada filsafat negara itu sendiri. Filsafat negara ditaksonomi ke dalam undang-undang negara, undang-undang negara itulah yang dapat mengatur warga negeranya. Memahami isi filsafat negara dapat dilakukan dengan mudah oleh orang-orang yang telah biasa belajar filsafat.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">F. Bidang Kajian Filsafat</span><br />Secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian filsafat, yaitu:<br />1. Ontologi<br />Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Sementara Langeveld menamai ontologi ini dengan teori tentang keadaan. Hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah. Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa aliran; materialisme, idealisme, dualisme, skeptisime, dan agnostisme.<br />Epistemologi<br />2. Epistemologi membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan digunakan oleh J. F. Ferrier pada tahun 1854 M.<br />Pengetahuan manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Epistemologi ini terbagi atas beberapa aliran; empirisme, rasionalisme, positivisme, dan intuisionisme.<br />3. Aksiologi<br />Nama lain dari teori nilai ini membahas mengenai guna atau manfaat pengetahuan. Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal; pertama filsafat sebagai kumpulan teori, kedua filsafat sebagai pandangan hidup, ketiga filsafat sebagai metode pemecahan masalah.<br />Sebagai kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah fungsi filsafat sebagai metodologi memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian masalah secara mendalam artinya ia memecahkan masalah dengan cara mencari penyebab munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam hubungan yang seluas-luasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak sudut pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu amat luas sekali, di manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana ada gunanya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">G. Ikhtisar</span><br />Pengantar filsafat umum yang amat ringkas pada makalah ini menjelaskan tentang definisi dan rumusan filsafat, hal-hal yang mendorong timbulnya filsafat, objek studi filsafat, metode mempelajari filsafat, manfaat mempelajari filsafat, dan bidang yang menjadi kajian filsafat. Dalam makalah ini belum dibahas mengenai aliran/mazhab dalam filsafat, cabang-cabang filsafat dan jalinan antara Ilmu, filsafat dan agama. Pembahasan mengenai tiga tema tersebut akan dibahas pada makalah selanjutnya.<br />Meskipun adanya perbedaaan konotasi filsafat pada tokoh-tokohnya sendiri yang menyebabkan berbedanya definisi dan rumusan filsafat, secara umum dapat difahami bahwa filsafat adalah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara yang logis, tentang objek abstrak yang logis dan kebenarannya hanya dipertangung jawabkan secara logis pula.<br />Hal yang mendorong timbulnya filsafat adalah karena adanya dongeng atau takhayul, rasa kagum terhadap keindahan alam dan adanya sikap kesangsian. Ketiga hal di atas menimbulkan pertanyaan, pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja dan pikiran yang berkerja akan menimbulkan filsafat. Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filosof adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek filsafat terdiri atas dua; objek materia dan objek forma.<br />Secara teknis, untuk meneliti dan mempelajari filsafat dapat ditempuh dengan tiga cara; historis, sistematis dan kritis. Metode belajar yang tepat bagi pemula adalah metode historis.<br />Ada beberapa manfaat dalam mempelajari ilmu filsafat, yaitu; agar terlatih berpikir serius, agar mampu mempelajari filsafat, agar mungkin menjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik.<br />Filsafat memiliki tiga bidang kajian; Ontologi, bidang kajian filsafat yang membahas hakikat pengetahuan itu sendiri. Epistemologi, membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Aksiologi, mengenai guna atau manfaat pengetahuan.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">KESIMPULAN</span><br /><br /></div>Sebagai manusia sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah membekali kita akal. Karena akal kita mampu bernalar sehingga kita menjadi mahluk berbudaya yang lebih mulia dibandingkan mahluk lainnya. Sekiranya hewan yang diberi akal oleh Allah maka kita harus khawatir, karena yang akan dilestarikan agar tidak punah bukanlah harimau jawa melainkan manusia jawa.<br />Salah satu bentuk syukur kita terhadap anugerah besar tersebut adalah mendaya gunakan segala potensi yang dimiliki oleh akal tersebut. Pendaya gunaan akal dapat dilakukan melalui pembelajaran filsafat. Karena dengan filsafat tersebut kita sebagai manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, dan berefleksi tentang bagaimana kita sebagai seorang manusia memandang dunia dan menata kehidupan.<br />Persoalannya adalah banyak orang yang enggan untuk belajar filsafat. Penyebabnya adalah karena adanya anggapan bahwa filsafat adalah salah satu ilmu yang sulit dipelajari dan difahami. Ahmad Tafsir (2002: 46) mengemukakan permasalahan tersebut muncul dikarenakan adanya kesalahan dalam memulai mempelajari ilmu tersebut. Beliau menyarankan, mulailah terlebih dahulu mempelajari pengantar filsafat, lalu ketahuilah sistematikanya, setelah itu barulah anda membaca buku-buku filsafat. Filsafat tidak sulit karena filsafat adalah pemikiran. Dan setiap orang memiliki alat untuk berfikir. Selamat berfilsafat.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]<br />Liang Gee, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.<br />M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.<br />R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br />S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br />Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.<br />Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br />Tim Dosen PAI UPI. (2006). Islam, Doktrin dan Dinamika Umat. Bandung: Value Press.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-83101353415714169302009-06-28T23:37:00.002-07:002009-06-29T02:12:49.834-07:00Teori-teori Belajar dan Pembelajaran<div style="text-align: justify; font-family: georgia;"><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">LAPORAN RESUME TEORI-TEORI BELAJAR dan PEMBELAJARAN</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br />Berdasarkan telaah penulis terhadap literature yang membahas tentang teori-teori belajar, maka penulis akan mencoba mengungkapkan berbagai teori belajar secara singkat (resume).<br /><span style="font-weight: bold;">A. Teori Belajar Piaget</span><br />Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).<br />Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pra operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.<br /></span><ol><li><span style="font-size:85%;">Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Tahap operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik. Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.</span></li></ol><span style="font-size:85%;">Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).<br /><br />Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.<br /><br />Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.<br /><br />Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).<br /><br />Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.<br /><br />Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).<br />Adapun implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :<br />Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.<br />Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.<br />Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.<br />Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.<br />Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">B. Teori Belajar Menurut Kohlberg</span><br /> Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:<br />1. Orientasi pada hukuman dan ketaatan<br />Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.<br />2. Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)<br /> Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan kewajaran.<br />3. Orientasi anak manis<br /> Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Ketiga tingkat ini dibagi menjadi 6 perkembangan.<br />Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat dan 6 tahap perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens dalam bukunya “Etika”, yang kemudian menjadi sebuah teori moral yang mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat moral atau etika, yakni:<br />1. Tingkat Pra-konvensional<br />a. Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan,<br />Pada tahap ini anak dalam hal melakukan suatu tindakan akan memiliki orientasi atas hukuman yang merupakan konsekuensi atas tindakan itu, serta kepatuhan dari seseorang dalam hal ini orang yang dituakan atau kepatuhan terhadap hukum.<br />b. Tahap orientasi relativis-instrumental.<br />Pada tahap anak tetap menilai sesuatu berdasarkan kemanfaatan, kesenangan, atau sesuatu yang buruk menjadi keburukan, namun disini si anak sudah mampu belajar memperhatikan harapan dan kepentingan orang lain.<br />2. Tingkat Konvensial<br />c. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”.<br />Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearas sosialitas dan moralitas kelompok. Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok.<br />d. Tahap orientasi hukum dan ketertiban.<br />Pada kondisi ini dimana seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas.<br />3. Tingkat Pasca-konvensional<br />e. Orientasi kontrak-sosial legalistik<br />Tahap ini merupakan suatu kondisi dimana penekanan terhadap hak dan kewajiban cukup ditekankan,sehingga proses demokratisasi terjadi.Pada tahap ini juga muncul sebuah sikap cinta tanah air dan pemerintahan yang berdaulat.<br />f. Orientasi prinsip etika universal.<br />Pada situasi ini dimana orang dalam melakukan tindakan mencoba untuk sesuai dengan nurani serta prinsip-prinsip moral universal. Adapaun syarat atas prinsip moral universal menurut Kohlberg, yakni: komprehensif, universal, dan konsisten (tidak ada kontradiksi dalam penerapannya). Sedangkan prinsip universal itu ialah keadilan, prinsip perlakuan timbal balik (reciprositas), kesamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia<br />Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya:<br />• Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua.<br />• Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.<br />• Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.(K.Bertens;2005).<br />Kohlberg menekankan pada pendidikan moral yang menggunakan sistem ‘kurikulum tersamar’, dimana dia menekankan bahwa pengajar atau guru dalam hal ini mampu mewujudkan suatu kondisi pribadi yang mencerminkan moral terhadap peserta didik. Dalam proses penelitiaannya Kohlberg, dkk mengambil sample anak-anak dan remaja. Sebagai sebuah realita, dimana fase tersebut merupakan fase yang tepat dalam mengambil sebuah kesimpulan guna menemukan teori moral yang mendekati teori moral yang ideal.<br />Kohlberg mengantisipasi atas nuansa relativitas moral yang pada saat ini didominasi oleh kaum Durkheimian, dan para psikologi yang beraliran relativisme ekstrem. Makanya, dalam kondisi ini dia lebih mengambil jalan tengah. Masih menurutnya, bahwa dalam proses perkembangan moral disini, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga sebagai sebuah faktor dominan dalam membentuk moralitas si anak. Maka, pendidikan umum moralitas yang ditekankan Kohlberg sangat diutamakan.<br /><span style="font-style: italic;">C. Teori Behaviorisme</span><br />Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.<br />Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, di antaranya:<br />1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.<br />Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, di antaranya:<br /></span><ul><li><span style="font-size:85%;">Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.</span></li></ul><span style="font-size:85%;">2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov<br />Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.<br />Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.<br />3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner<br />Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, di antaranya:<br />Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.<br />Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.<br />Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.<br />4. Social Learning menurut Albert Bandura<br />Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.<br />Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.<br /></span><span style="display: block;" id="formatbar_Buttons"><span class="on" style="display: block;" id="formatbar_Bold" title="Tebal" onmouseover="ButtonHoverOn(this);" onmouseout="ButtonHoverOff(this);" onmouseup="" onmousedown="CheckFormatting(event);FormatbarButton('richeditorframe', this, 3);ButtonMouseDown(this);"><img src="img/blank.gif" alt="Tebal" class="gl_bold" border="0" /></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">D. Teori Belajar Gestalt</span><br />Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.<br />Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :<br /></span><ol><li><span style="font-size:85%;"> Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.</span></li></ol><span style="font-size:85%;">Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:<br />Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.<br />Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).<br />Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.<br />Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.<br />Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :<br /></span><ol><li><span style="font-size:85%;"> Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.</span></li><li><span style="font-size:85%;"> Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.</span></li></ol><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">E. Teori Belajar Gagne</span><br />Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori proses informasi. Cara berpikir seseorang tergantung pada : 1) ketrampilan apa yang telah dipunyainya, 2) ketrampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.<br />Gagne menyebutkan adanya lima macam hasil belajar yaitu :<br /></span><ol><li><span style="font-size:85%;">Ketrampilan intelektual atau pengetahuan prosedural yang diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Strategi kognitif yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah baru dengan jalan mengatur proses internal.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Informasi verbal yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi yang relevan.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Ketrampilan motorik yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.</span></li><li><span style="font-size:85%;">Sikap, yaitu kemampuan intern yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dan didasari oleh emosi kepercayaan serta faktor intelektual.</span></li></ol><span style="font-size:85%;">Menurut Gagne belajar tidak merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi tertentu, yaitu kondisi (1) internal yang antara lain menyangkut kesiapan mahasiswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya, (2) eksternal, yaitu yang merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja diatur oleh dosen dengan tujuan memperlancar proses belajar.<br /><span style="font-weight: bold;">E. Teori Belajar Humanistik</span><br />Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.<br /> Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :<br />Proses pemerolehan informasi baru,<br />Personalia informasi ini pada individu.<br /><br />Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.<br />Arthur Combs (1912-1999)<br />Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.<br />Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.<br />Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.<br />Maslow<br />Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :<br />Pertama, suatu usaha yang positif untuk berkembang<br />Kedua, kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.<br /><br />Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).<br />Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.<br />Carl Rogers<br />Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.<br />Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.<br />Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:<br />Kognitif (kebermaknaan)<br />experiential ( pengalaman atau signifikansi)<br />Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.<br />Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:<br />Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.<br />Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa<br />Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.<br />Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.<br />Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :<br />Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.<br />Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.<br />Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.<br />Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.<br />Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.<br />Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.<br />Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.<br />Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.<br />Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.<br />Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.<br />Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :<br />Merespon perasaan siswa<br />Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang<br />Berdialog dan berdiskusi dengan siswa<br />Menghargai siswa<br />Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan<br />Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)<br />Tersenyum pada siswa<br />Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.<br />Adapun implikasi teori belajar Humanistik sebagai berikut:<br />a. Guru Sebagai Fasilitator<br /> Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):<br />Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas<br />Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.<br />Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.<br />Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.<br />Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.<br />Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok<br />Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.<br />Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa<br />Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar<br />Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.<br />Sedangkan aplikasi teori Humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.<br /> Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.<br /> Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :<br />Merumuskan tujuan belajar yang jelas<br />Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.<br />Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri<br />Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri<br />Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.<br />Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.<br />Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya<br />Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa<br />Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TANGGAPAN TERHADAP TEORI-TEORI BELAJAR<br />A. Teori Belajar<br />Kritik terhadap teori Behaviorisme adalah :<br />3<br />1). Apakah hasil percobaan terhadap binatang juga dapat diterapkan pada manusia?<br />2). Apakah hasil penelitian di Laboratorium akan relevan dengan situasi belajar yang sesungguhnya?<br />3). Apakah faktor sosial juga diperhatikan dalam penelitian di Laboratorium?<br />4). Bagaimana dengan pengalaman yang diperoleh siswa sebelumnya?<br /></span></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-72686510020253760352009-06-28T23:27:00.000-07:002009-06-28T23:35:26.731-07:00Implementasi Model Pembelajaran Pencapaian Konsep<div style="text-align: justify; font-family: webdings;"><div style="text-align: center;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">Pembelajaran Pencapaian Konsep</span></span><br /></div><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;"><br />1. Pengertian Konsep</span><br />Definisi konsep menurut sebagian besar orang adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama (Croser, 1984).<br />Tiap hari pemakaian terminologi konsep digunakan dalam beberapa cara. Kadang-kadang konsep mengacu pada ide yang dimiliki seseorang, seperti ”Konsep ku bagaimana presiden harus bertindak secara langsung.” Di lain waktu, konsep digunakan seperti hipotesis, contoh, ”Konsep ku adalah kita selalu berdebat karena kita sangat banyak menggunakan embel-embel.” Ketika terminologi konsep digunakan dalam hubungan dengan pengajaran dan belajar, konsep lebih sesuai pada arti dan mengacu pada cara pengetahuan dan pengalaman yang dikategorikan.<br />Belajar konsep secara esensial ”meletakkan sesuatu ke dalam kelas” dan kemudian dapat mengenali anggota dari kelasnya (R. M. Gagne, 1985, p. 95). Keperluan ini bahwa individu dapat mengambil bagian dari kasus, pada kasus ini kelas mengistilahkan anjing, yang dibagi dalam atribut tertentu. Proses ini memerlukan pembuatan keputusan mengenai apakah bagian kasus (tertentu) adalah sekejap (instan) pada kelas yang luas.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Dimensi Konsep</span><br />A. Memiliki Definisi atau Label<br />Semua konsep memiliki nama atau label dan banyak atau sedikit sesuai dengan definisi. Sebagai contoh, secara relatif bagian kecil dari daratan yang dikelilingi oleh air pada seluruh sisinya dilabeli dengan pulau. Label dan definisi mengijinkan pemahaman dan komunikasi yang bermutu dengan yang lainnya menggunakan konsep. Semuanya menyaratkan untuk pengajaran dan belajar konsep.<br />B. Memiliki Atribut Kritis dan Non-Kritis<br />Konsep juga memiliki atribut yang mendiskribsikan dan menolong mendefinisikan semuanya. Beberapa atribut ada yang kritis dan digunakan untuk memisahkan satu konsep dari yang lainnya. Sebagai contoh, sebuah segitiga sama sisi adalah segitiga dengan ketiga sisinya sama. Atribut kritisnya bahwa itu harus segitiga dan tiap sisinya harus sama. Segitiga tanpa ketiga sisinya sama bukanlah segitiga sama sisi. Sebagai tambahan, jika konsep adalah subset pada konsep yang luas, kemudian itu juga harus mengandung atribut kritis pada konsep yang luas. Sebuah segitiga sama sisi adalah anggota dari kelas konsep yang disebut segitiga dan harus mengandung semua atribut kritis dari segitiga.<br />Beberapa atribut bisa ditemukan dalam beberapa anggota tetapi tidak dalam semua anggota kelas. Hal ini disebut dengan atribut nonkritis. Sebagai contoh, ukuran adalah atribut nonkritis dan segitiga sama sisi. Semua konsep memiliki keduanya yaitu atribut kritis dan nonkritis dan itu kadang-kadang sulit bagi siswa untuk membedakan di antara keduanya. Sebagai contoh, konsep burung dalam banyak pikiran manusia secara khusus dihubungkan dengan atribut nonkritis, terbang. Robins, kardinals, elang, dan banyak burung lainnya dapat terbang. Terbang, bagaimanapun, bukan atribut kritis dari burung karena ostriches dan penguin tidak dapat terbang. Fokus secara eksklusif dalam atribut kritis dan jenis anggota dari sebuah kelas kadang-kadang dapat menyebabkan kebingungan ketika belajar konsep baru. Meskipun terbang adalah atribut nonkritis dari burung, itu termasuk tipe dari kebanyakan burung dan harus dijelaskan dalam pengajaran mengenai hal itu.<br />C. Dapat Ditempatkan ke dalam Kategori<br />Konsep, seperti kebanyakan objek atau ide lain, dapat dikategorikan dan dilabelkan. Mengetahui perbedaan tipe konsep sangat penting, karena ketika akan diilustrasikan kemudian, perbedaan tipe konsep memerlukan perbedan strategi pengajaran. Salah satu cara pengelompokan konsep menurut struktur aturan yang menggambarkan kegunaan itu.<br />Beberapa konsep memiliki struktur aturan konstan. Konsep tentang pulau, sebagai contoh, selalu mengandung daratan yang dikelilingi air. Segitiga datar, digambarkan dengan tiga sisi dan tiga sudut. Struktur aturan untuk konsep ini konstan. Atribut kritis ini dikombinasikan dalam cara aditif dan selalu sama. Tipe konsep ini diarahkan pada konsep konjungtif.<br />Konsep yang lain secara luas dan lebih fleksibel serta mengijinkan seperangkat alternatif atribut. Struktur aturan ini bukan konstan. Sebagai contoh, konsep strike di baseball berdasarkan pada jumlah kondisi alternatif. Strike mungkin ketika memukul (batter) swings dan luput, ketika wasit menentukan yang melempar dalam zona strike meskipun pukulan tidak mengayun (mengenai) bola, atau ketika pukulannya memukul foul ball. Tipe konsep ini disebut konsep disjungtif, artinya, satu mengandung seperangkat alternatif atribut. Konsep kata benda (noun) adalah contoh lain dari konsep disjungtif. Itu mungkin bisa orang, tempat, atau benda, tetapi itu tidak dapat ketiga-tiganya dalam waktu yang sama.<br />Tipe ketiga dari konsep adalah satu yang struktur aturannya bergantung pada hubungan. Konsep aunt (bibi) menyatakan hubungan tertentu antara saudara kandung (siblings) dan keturunan (offsprings). Konsep waktu (time) dan jarak (distance) juga merupakan konsep relasional. Untuk memahami salah satu dari konsep, satu harus tahu yang lain, ditambah hubungan antara keduanya. Sebagai contoh, minggu (week) didefinisikan sebagai rangkaian hari yang memiliki titik permulaan satu hari (khususnya minggu) dan titik akhir tujuh hari (khususnya Sabtu) dan jangka waktunya tujuh hari.<br />Akhirnya, konsep dapat diklasifikasikan sebagai independen atau koordinat. Beberapa konsep memiliki aturan independen dan dapat diajarkan dengan dirinya sendiri. Contoh sebelumnya, seperti pulau dan segitia sama sisi, termasuk dalam kategori independen. Banyak konsep memiliki aturan dependent (bergantung) dan harus diajarkan secara simultan dengan yang lain dengan hubungan yang sangat erat atau konsep koordinat. Contoh konsep koordinat termasuk bapak, ibu, adik, dan kakak, semuanya harus diajarkan dan dimengerti dalam hubungan satu sama lain. Demokrasi adalah konsep koordinat lain yang harus dihubungkan dengan seluruh perangkat yang kompleks seperti rakyat, kekuatan, dan kebebasan. Contoh yang terakhir dari konsep koordinat adalah musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, yang hanya dapat dimengerti dalam hubungan satu sama lain dan dalam konsep yang lebih besar yaitu musim.<br />Konsep yang memiliki struktur aturan kompleks seperti disjungtif dan konsep relasional secara normal lebih sulit untuk diajarkan dibandingkan dengan yang sederhana, struktur aturan konstan. Dengan cara yang sama, konsep koordinat lebih sulit untuk diajarkan dibandingkan dengan konsep independen. Itu menolong menjelaskan bagaimana beberapa siswa yang menguasai konsep prasyarat sederhana memeliki kesulitan dengan kerja yang lebih tinggi tentang setiap lapangan subjek.<br /><br />D. Konsep Dibelajarkan Melalui Contoh dan Non-contoh<br />Belajar konsep tertentu melibatkan identifikasi keduanya yaitu contoh dan noncontoh. Sebagai contoh, sapi adalah contoh dari hewan tetapi itu noncontoh untuk reptil. Australia adalah contoh dari negara di bumi bagian selatan, tetapi itu noncontoh untuk negara berkembang. Katun dan sutera adalah contoh konsep pabrik, tetapi kulit dan baja noncontoh. Ketika akan didiskribsikan kemudian, cara contoh dan noncontoh sangat penting diidentifikasikan dan digunakan dalam konsep pelajaran.<br />E. Konsep Dipengaruhi Oleh Konteks Sosial<br />Atribut kritis dari konsep konjungtif, seperti segitiga sama sisi, ditentukan tanpa dipengaruhi dengan konteks sosial. Akan tetapi, konsep disjungtif dan relasional seperti kemiskinan atau literacy rate berubah dari satu sosial konteks ke yang lainnya. Konsep dengan perubahan atribut kritis sering ditemukan dalam sains behavioral dan sosial serta membutuhkan definisi operasional yang bergantung pada konteks sosial atau lingkungan budaya di mana itu digunakan. Mempertimbangkan konsep bibi (aunt). Di dalam masyarakat, konsep bibi (aunt) atau auntie mengacu pada beberapa orang dewasa dalam masyarakat yang memiliki tanggung jawab untuk merawat anak tertentu dan tidak ada kaitan dengan hubungan darah. Juga mempertimbangkan konsep geografis utara atau selatan ketika berhubungan dengan iklim. Anak-anak di belahan bumi utara diajarkan bahwa ketika satu pergi ke selatan, iklimnya sedang panas (warmer). Sesungguhnya itu tidak akan benar untuk anak-anak di Australia atau Argentina. Label konsep juga dipengaruhi oleh konteks. Di Inggris kaca depan mobil (car’s windshield) disebut windscreen, dan trunk disebut boot. Konsepnya sama, labelnya berbeda.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Cara Pemerolehan Konsep</span><br />Menurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.<br />Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep</span><br />Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:<br />1). Tingkat konkret<br />Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.<br />2). Tingkat identitas<br />Seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.<br />3). Tingkat klasifikatori<br />Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.<br />4). Tingkat formal<br />Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.<br /><span style="font-weight: bold;">5. Pendekatan Pengajaran Konsep</span><br />Ada banyak pendekatan untuk pengajaran konsep, tetapi tiga basic dasar telah diseleksi untuk bab ini: (1) presentasi langsung (direct presentation), (2) pembentukan konsep (concept formation), dan (3) pencapain konsep (concept attainment).<br />Pertama, Presentasi Langsung<br />Pada pendekatan presentasi langsung, guru secara hati-hati menyediakan urutan presentasi expository (penjelasan) dan/atau interrogatory (pemeriksaan) pada konsep, mengandung banyak contoh ilustratif. Dibangun dari kerja Tennyson dan yang lainnya (1983), model ini mengandung beberapa prinsip yang sama dari desain pembelajaran seperti model presentasi pengajaran didiskusikan dalam bab sebelumnya. Pendekatan presentasi langsung untuk pengajaran konsep membuat perbedaan tentang kebiasaan guru yang sesuai berdasarkan pada hakikat konsep yang diajarkan.<br />Kedua, Pembentukan Konsep<br />Berdasarkan kerja Hilda Taba (1967), pendekatan ini terutama sekali bermanfaat ketika tujuan belajar mengandung penemuan konsep baru dan pengembangan konsep–strategi pembangunan. Pelajaran pembentukan konsep mengandung pertolongan bagi siswa untuk membedakan properti objek atau kejadian, untuk mengelompokkan properti ini berdasarkan pada unsur umum, dan untuk membentuk kategorinya sendiri dan melabeli skema. Tujuan utamanya adalah pengembangan keahlian membedakan dan mengelompokkan.<br />Ketiga, Pencapaian Konsep<br />Dipengaruhi oleh kerja Bruner dan koleganya (1956), pendekatan pencapain konsep digunakan ketika siswa siap dengan beberapa ide mengenai konsep tertentu atau seperangkat konsep. Melalui pertimbangan berbagai contoh dan noncontoh dari konsep tertentu, guru mempromosikan berpikir induktif oleh siswa dan menolong mereka mengawasi proses berpikir mereka.<br />6. Implementasi Pembelajaran Konsep di SD<br />Ada 2 strategi utama yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep, yaitu melalui pendekatan inkuiri dan pendekatan ekspositori. Pada pendekakatan inkuiri, para peserta didik dapat diperlihatkan sekelompok benda yang berbeda yang satu sekelompok benda yang merupakan contoh dari konsep yang ingin disampaikan, dan sekelompok benda yang lain merupakan yang bukan contoh dari konsep yang ingin disampaikan. Cara penyampaiannya dapat bermacam-macam dari pengkelompokkan secara tertulis atau melalui bentuk gambar maupun suara. Selanjutnya, para peserta didik diminta untuk melakukan permainan tebak-tebakan. Mereka diminta melengkapi kelompok benda yang merupakan contoh konsep dan juga yang bukan contoh konsep. Mungkin diantara mereka ada yang berhasil mengkategorikan kelompok benda yang contoh dan bukan contoh konsep tersebut, dan adapula yang tidak berhasil. Pada akhirnya, para peserta didik akan tergiring dan termotivasi untuk berfikir dan menemukan contoh-contoh dari konsep yang dimaksud yang mereka kembangkan sendiri. Pendekatan inkuiri lebih cocok digunakan untuk peserta didik di kelas-kelas awal SD, tentunya dengan bimbingan guru.<br />Strategi kedua untuk mengajarkan konsep adalah dengan pendekatan ekpositori. Berbeda dengan inkuiri, pada pendekatan ekspositori, peserta didik dimotivasi sejak awal untuk menemukan contoh-contoh yang dikembangkannya sendiri untuk mengkategorikan sebuah konsep. Namun demikian, tetap guru harus menjelaskan secara rinci tentang konsep yang dibicarakan. Pendekatan ekspositori lebih sesuai digunakan di kelas-kelas tinggi di SD, karena para siswa di kelas tinggi di SD sudah dapat diajak berpikir detil, dan komprehensif.<br /></span></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-17896492402640655232009-06-28T19:59:00.000-07:002009-06-28T20:07:12.137-07:00Implementasi/Penerapan Teori Gagne dalam Pembelajaran<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Penerapan Teori Gagne dalam Pembelajaran</span><br /><br /></div>Teori belajar Gagne dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di Indonesia. Ada beberapa pendekatan dan langkah-langkah agar bisa menerapkan teori tersebut dalam proses pembelajaran.<br />Berdasarkan konsep Sembilan Kondisi Intruksional Gagne maka kita bisa menyusun rancangan kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:<br /> 1. Memperoleh Perhatian<br /> Kegiatan ini merupakan proses guru dalam memberikan stimulus kepada siswa dengan cara meyakinkan siswa bahwa mempelajari materi tersebut itu penting. Hal ini bisa dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan ringan seputar materi yang akan disajikan.<br />Contoh : Mengenalkan hutan dengan cara mengajak siswa TKA seolah-olah kemping. Dengan mendekorasi ruangan kelas seperti hutan (tanaman dengan pot yang ditutup kain atau kertas, batu batuan, bunga, ranting dll). Hari sebelumnya, Guru meminta siswa membawa peralatan dan perlengkapan berkemah seperti makanan, pakaian, sepatu, tas ransel, senter, dll. Ketika kegiatan ini dilaksanakan biarkan siswa memperlihatkan kemampuan menolong dirinya sendiri serta bersosialisasi dengan temannya. Kenalkan hutan melalui temuan-temuan siswa/yang dilihat siswa di hutan (ruangan yang sudah disiapkan) dan cocokkan dengan buku tentang hutan yang dibawa guru. Ajak siswa mendengarkan bunyi-bunyian yang berkaitan, misalnya rekaman air dan suara binatang. Lampu dapat dimatikan seolah-olah malam hari di hutan. Untuk siswa TKB, dapat diajak langsung melihat hutan (misalnya ke hutan di Cibubur), memasang tenda sungguhan dan berkemah (sekitar 1 jam). Ajak pula siswa menonton film dokumenter tentang hutan.<br /><br />2. Memberikan Informasi Tujuan Pembelajaran<br /> Dalam hal ini guru harus mengupayakan untuk memberitahu siswa akan tujuan pembelajaran. Sehingga siswa mengetahui tujuan dari materi pembelajaran yang dipelajarinya. Ini sangat penting dilakukan agar siswa lebih termotivasi untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran.<br />Contoh: Kegiatan diawali dengan tanya jawab, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa, dilanjutkan menyampaikan tujuan pembelajaran. Sebelum kegiatan berkemah, guru mengadakan tanya jawab dengan siswa. Seperti mengatakan “Siapa yang pernah ke hutan?” “Seperti apa ya hutan itu?” “Apa saja isinya?” “Siapa yang mau ke hutan?” “Nanti teman-teman akan melihat hutan, juga mengetahui isi hutan!”<br /><br /><br />3. Merangsang siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari<br /> Upaya merangsang siswa dalam mengingat materi yang lalu bisa dilakukan dengan cara bertanya tentang materi yang telah diajarkan.<br />Contoh: Di pertemuan berikutnya, untuk mengingat kembali pengetahuan tentang hutan, ajak siswa TKA mengklasifikasikan kepingan gambar yang disediakan. Menklasifikasikan gambar yang berkaitan dengan hutan dengan yang bukan hutan. Untuk siswa TKB kegiatan dapat berupa mengklasifikasikan kepingan gambar misalnya ke dalam kelompok binatang, tanaman, bunga. Atau dapat berupa klasifikasi benda hidup dan benda mati.<br /><br />4. Menyajikan stimulus<br /> Menyajikan stimulus bisa dilakukan dengan cara guru menyajikan materi pembelajaran secara menarik dan menantang. Sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung.<br />Contoh: Guru menyampaikan materi “hutan” dengan bercerita menggunakan wayang hutan (dibuat sendiri, berupa gambar-gambar seperti : pohon, binatang, jamur, batu, matahari, air dll yang diberi tongkat). Guru juga mengajak siswa ikut memainkan wayang yang disediakan.<br /><br /> 5. Memberikan bimbingan kepada siswa<br /> Seyogyanga guru harus membimbing siswa dalam proses belajarnya. Sehingga siswa dapat terarah dalam pembelajarannya.<br />Contoh: Kegiatan berupa membuat peta pikiran di atas sebuah kertas besar atau papan tulis dengan spidol warna warni. Guru menuliskan kata “hutan” di tengah papan. Ajukan pertanyaan misalnya “Kalau mendengar kata hutan, apa yang terlintas di pikiranmu?” Biarkan siswa menjawab dan tuliskan /gambarkan jawaban siswa. Tidak ada jawaban salah. Arahkan siswa ke pada tema kali ini. Misalnya ketika siswa menjawab “Harimau.” Guru dapat balik bertanya “Kenapa harimau?” siswa menjawab “Kan adanya di hutan.” dan seterusnya. Atau siswa lain mengatakan pendapatnya tentang hutan, siswa tersebut mengatakan “Takut” Guru dapat menayakan “Kenapa takut?” Misalnya siswa menjawab “Gelap” Guru dapat menanyakan “Kenapa gelap? Misalnya siswa menjawab “banyak pohon.” dan seterusnya. Dalam kegiatan ini, dapat juga menggunakan potongan-potongan gambar dari koran atau majalah atau clip-art dan lain-lain.<br /><br /> 6. Memancing Kinerja<br />Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.<br />Contoh: Di pertemuan berikutnya, untuk siswa TKA kegiatan berupa membuat gambar hutan, dan guru dapat memancing siswa bercerita tentang hutan melalui gambar yang siswa buat. Untuk siswa TKB kegiatan dapat berupa membuat maket hutan. Siswa TKB dapat membuat “hutan” nya sendiri atau berkelompok dengan bahan-bahan yang disediakan (karton, kertas warna, gunting, lem, dll) dan guru dapat memancing siswa bercerita tentang hutan malalui maket yang siswa buat.<br /><br /> 7. Memberikan balikan<br />Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.<br />Contoh: Berkaitan dengan poin sebelumnya yaitu memperoleh unjuk kerja siswa, guru dapat memberikan balikan atas hasil karya yang siswa buat. Misalnya, ketika siswa menunjukkan maket hutan buatannya, guru dapat mengajukan pujian atau mengajukan beberapa pertanyaan yang memancing siswa menceritakan hasil karyanya. Misalnya ketika siswa membuat gajah berkaki dua guru dapat bertanya “Ini apa?” “Menurutmu kaki gajah ada berapa?” jika siswa mengalami kesulitan, ajak siswa melihat buku, gambar atau foto gajah hingga siswa memahami.<br /><br />8. Menilai hasil belajar<br />Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.<br />Minta siswa memilih sebuah kartu kata atau gambar berkaitan dengan hutan (siapkan kata atau gambar yang berbeda sejumlah siswa). Misalnya gambar pohon, batu, jamur dll. Ajak siswa bercerita di depan kelas sekitar 1-2 menit mengenai kata atau gambar tersebut. Guru dapat merekam cerita siswa tersebut dan memutarnya kembali setelah siswa selesai bercerita. Ajak siswa mendengarkan suaranya sendiri. Kegiatan ini juga mengajak siswa lainnya belajar menghargai temannya yang sedang bercerita.<br /><br />9. Mengusahakan transfer<br />Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain.<br />Contohnya: Ajak siswa membaca/melihat gambar/mendengar guru membacakan koran anak (misalnya dalam lembar anak Koran Kompas edisi Minggu, Desember 2007 tentang pemanasan global). Ajak siswa kembali mengingat tema hutan dengan mengajak siswa menanam biji dari buah yang biasa mereka makan dan jadikan ini proyek berkelanjutan (menanam dan merawat pohon yang nantinya tumbuh).<br /><br /><div style="text-align: center;"> <span style="font-weight: bold;">Tanggapan terhadap Teori Pembelajaran Gagne</span><br /></div> Teori Gagne ini pada prisnsipnya mengacu pada teori behavioristik. Sehingga, konsekuensinya teori behavioristik adalah para guru yang menggunakan paradigma behavioristik akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap shingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian- bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifat mekanistik & hanya berorientasi pada hasil yang dapat diukur & diamati. Penerapan teori yang salah dalam situasi pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung 1 arah, guru melatih & menentukan apa yang harus dipelajari murid. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari para tokoh behavioristik dianggap metode paling efektif untuk menertibkan siswa.<br />Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.<br />Kelebihan Teori Sembilan Intruksional Gagne:<br /><ul><li>Gagne disebut sebagai modern noebehaviouristik mendorong guru untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi.</li><li>Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan kebiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan spontanitas kelenturan reflek, dan daya tahan Contoh : Percakapan bahasa Asing, menari, mengetik, olah raga, dll.</li><li>Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.</li><li>Dapat dikendalikan melalui cara mengganti mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.</li></ul>Kekurangannya:<br /><ul><li>Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), dimana guru bersifat otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.</li><li>Bersifat meanistik</li><li>Hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur</li><li>Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif</li></ul></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-57829921750560973882009-06-28T19:42:00.000-07:002009-06-28T19:59:35.331-07:00Makalah Teori Sembilan Intruksional Gagne<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Teori Pembelajaran Gagne</span><br /><br /></div>Menurut Gagne ada empat komponen penting dalam proses pembelajaran, yaitu 1). Fase-fase pembelajaran, 2).Hirarki hasil belajar, 3). Kondisi atau tipe pembelajaran, 4). Kejadian-kejadian instruksional.<br />1. Fase-fase Pembelajaran<br />Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu: (a) receiving the stimulus situation (apprehending), (b) stage of acquisition, (c) storage, (d) retrieval.<br />Fase Receiving the stimulus situation (apprehending), merupakan fase seseorang memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Misalnya “golden eye” bisa ditafsirkan sebagai jembatan di amerika atau sebuah judul film. Stimulus itu dapat spontan diterima atau seorang Guru dapat memberikan stimulus agar siswa memperhatikan apa yang akan diucapkan.<br />Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya. Atau boleh dikatakan pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.<br />Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.<br />Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.<br />Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu (e) fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, (f) fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. (g) Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar, dan (h) fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).<br /><br /> 2. Hirarki Hasil Belajar<br />Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :<br />Verbal Information (informasi verbal),<br />Invormasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.<br />Iformasi verbal meliputi :<br />Cap Verbal : Kata yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan pada obyek-obyek yang dihadapi, misalnya kata ”kursi” untuk benda tertentu<br />Data/fakta : Kenyataa yang diketahui, misalnya ”Negara Indonesia dilalui khatulistiwa<br />Jadi yang memiliki pengetahuan tertentu, berkemampuan untuk menuangkan pengetahuan itu dalam bentuk bahasa yang memadahi, sehingga dapat dikomunikasikan pula kepada orang lain. Mempunyai informasi verbal memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa sejumlah pengetahuan orang tidak dapat mengatur kehidupannya sehari-hari dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain secara berarti.<br />Misalnya, ibu rumah tangga memiliki seperangkat pengetahuan tentang mengurus kerumahatanggaan, seorang hakim memiliki pengetahuan tentang memimpin sidang. Makin luas pengetahuan seseorang tentang bidang studi yang menjadi spesialisasinya, makin besar kemungkinan dia berkembang menjadi seorang ahli dalam bidang tersebut<br />Intellectual skills (keterampilan intelektual).<br />Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui pengunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya.<br />Keterampilan intelek bisa dijelaskan sebagai sesuatu yang mencakup "struktur pendidikan formal yang bersifat dasar pada waktu yang sama bersifat paling luas jangkauannya.<br />Akan tetapi, tidak seperti halnya informasi berupa fakta, ketrapilan intelektual tidak dapat dipelajari hanya dengan mendengarkannya atau melihatnya. Beda pokok antara informasi dan ketrampilan intelek ialah beda antara mengetahui bahwa dan mengetahui bagaimana. Siswa belajar bagaimana menjumlahkan bilangan bulat, bagaimana membuat agar kata kerja cocok dengan pokok kalimat dan ketrampilan-ketrampilan lain yang tidak terbilang banyaknya. Kategori kemahiran intelektual terbagi atas empat subkemampuan, yaitu :<br />a. Diskriminasi Jamak<br />Berdasarkan pengamatan yang cermat terhadap berbagai obyek, orang mampu membedakan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Contoh; Menyebutkan merk mobil-mobil yang lewat di jalan.<br />b. Konsep<br />Suatu arti yang mewakili sejumlah obyek yang mempunyai ciri-ciri yang sama.<br />c. Kaidah<br />Bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mempresentasikan suatu keteraturan<br /><br />d. Prinsip<br />Dalam prinsip telah terjadi kombinasi dari berbagai kaidah, sehingga terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks.<br /><br />Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperloleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konkret ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.<br />3. Cognitive strategies (strategi kognitif)<br />Strategi Kognitif merupakan sustu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Kapabilitas ini mempengaruhi siasat si belajar dalam mencari dan menemukan kembali hal-hal yang disimpan dan dalam mengorganisasi respons-responsnya.<br />Tidak seperti halnya informasi verbal dan ketrampilan intelek, yang ada kaitannya langsung dengan isi, obyek siasat kognitif ialah proses berfikir pelajar sendiri.<br />Ciri yang penting yang lain siasat kognitif ialah bahwa tidak seperti halnya ketrampilan intelek, siasat itu tidak terpengaruh secara kritis oleh pelaksanaan pembelajaran, menit demi menit. Kebalikannya, siasat kognitif itu terbentuk dalam jangka waktu yang nisbi lama. Ketrampilan siasat kognitif sampai derajat tertentu dapat di kembangkan menjadi lebih baik dengan pendidikan formal, dan orang menjadi pelajar dengan belajar sendiri dan pemikir yang mandiri.<br />Orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas mentalnya sendiri di bidang kognitif, akan jauh lebih efesien dan efektif dalam mempergunakan semua konsep dan kaidah yang pernah dipelajari, dibandingkan dengan orang yang tidak berkemampuan demikian.<br />Contoh; prakarsa OSIS akan siselelnggarakan malam kesenian. Sekelompok orang diberi tugas mencari dana tambahan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. Panitia pencri dana ini akan mengadakan rapat untuk menentukan bagaimana cara bagaimana dana tambahan itu dapat dicari. Dengan demikian kelompok siswa itu mengatur dan mengarahkan kegiatan kognitifnya sendiri dalam menghadapai problem pencarian dana.<br /> 4. Motor Skills (keterampilan motorik)<br />Ialah kapabilitas yang mendasari pelaksanaan perbuatan jasmaniah secara mulus. Termasuk disini ialah ketrampilan-ketrampilan sederhana yang dipelajari orang pada awal usianya, seperti memakai baju dan mengeluarkan suara tutur yang disampaikan. Ditahun-tahun permulaan sekolah, ketrampilan motor yang paling penting, misalnya menulis huruf-huruf dan mengambar lambang-lambang, bermain lompat tali, mengatur keseimbangan badan ketika bermain jalan di palang. Di kemudian hari ketrampilan gerak meliputi contoh belajar mengusai ketrampilan-ketrampialan yang berpisah-pisah dalam kegiatan seperti bermain tennis, bola basket dan olah raga lainnya.<br />Ciri umum dari semua ketrampilan ini adalah adanya persyaratan untuk mengembangkan kemulusan bertindak, presisi dan pengaturan waktu. Untuk perbuatan orang yang baru bisa dan ahli berbeda dalam hal cirri-ciri itu.<br />Sifat istimewa dari ketrampilan motorik ialah bahwa ketrampilan ini bisa bertambah sempurna melalui praktek atau dilatihkan. Syaratnya ialah pengulangan-pengulangan gerak dasar disertai balikan dari lingkungan. Dengan cara ini si belajar mengenal pengisyarat kinestetik yang memberi tanda-tanda isyarat untuk membedakan performansi yang tidak tepat dari yang tidak mengandung kesalahan.<br />5. Attitude (sikap-sikap)<br /> Ialah kapabilitas yang mempengaruhi pilihan tentang tindakan mana yang diambil, akan tetapi ciri-ciri yang penting adalah bahwa sikap tidak menentukan apa tindakan khusus tertentu yang akan diambil. Alih-alih, sikap hanya menentukan lebih kurang adanya kemungkinan suatu kelas tindakan tertentu akan dilakukan. Misalnya, siswa mengembangkan sikap baca buku atau pembuatan benda-benda seni. Belajar memperoleh sikap didasarkan atas informasi tentang tindakan-tindakan apa yang mungkin dilakukan dan apa akibatanya.<br />Orang yang bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolah suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu, berguna/berharga baginya atau tidak. Bila obyek dinilai ”baik untuk saya” di mempunyai sikap positif, bila obyek dinilai ”jelek untuk saya” dia mempunyai sikap negatif. Misalnya, siswa yang memandang belajar dsi sekolah sebagai sesuatu yang bermanfaat baginya, memiliki sikap yang posifif terhadap belajar di sekolah, dan sebaliknya kalau siswa memandang belajar di sekolah sebagai sesuatu yang tidak berguna. <br />3. Kondisi atau Tipe Pembelajaran<br /> Ada delapan kondisi atau tipe pembelajaran:<br />1. Signal learning (belajar isyarat)<br /> Belajar isyarat merupakan proses belajar melalui pengalaman-pengalaman menerima suatu isyarat tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Misalnya ada “Aba-aba siap” merupakan isyarat untuk mengambil sikap tertentu, tersenyum merupakan isyarat perasaan senang.<br />2. Stimulus-response learning (belajar melalui stimulus-respon)<br /> Belajar stimulus-respon (S-R), merupakan belajar atau respon tertentu yang diakibatkan oleh suatu stimulus tertentu. Melalui pengalaman yang berulang-ulang dengan stimulus tertentu sesorang akan memberikan respon yang cepat sebagai akibat stimulus tersebut.<br />3. Chaining (rantai atau rangkaian)<br /> Chaining atau rangkaian, terbentuk dari hubungan beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Misalnya : Pulang kantor, ganti baju, makan, istirahat.<br />4. Verbal association (asosiasi verbal)<br /> Mengenal suatu bentuk-bentuk tertentu dan menghubungkan bentuk-bentuk rangkaian verbal tertentu. Misalnya : seseorang mengenal bentuk geometris, bujur sangkar, jajaran genjang, bola dlsbnya. Lalu merangkai itu menajdi suatu pengetahuan geometris, sehingga seseorang dapat mengenal bola yang bulat, kotak yang bujur sangkar.<br />5. Discrimination learning (belajar diskriminasi)<br /> Belajar diskriminasi adalah dapat membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, dapat membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya walaupun bentuk manusia hampir sama, dapat membedakan merk sepeda motor satu dengan yang lainnya walaupun bentuknya sama. Kemampuan diskriminasi ini tidak terlepas dari jaringan, kadang-kadang jika jaringan yang terlalu besar dapat mengakibatkan interferensi atau tidak mampu membedakan.<br />6. Concept learning (belajar konsep)<br /> Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang bisa melakukan tetapi sangat terbatas, manusia dapat melakukan tanpa terbatas berkat bahasa dan kemampuan mengabstraksi. Dengan menguasai konsep ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu misalnya : warna, bentuk, jumlah dllnya<br />7. Rule learning (belajar aturan)<br /> Belajar model ini banyak diterapkan di sekolah, banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang telah mengenyam pendidikan. Misalnya : angin berembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, 1 + 1 = 2 dan lainnya. Suatu aturan dapat diberikan contoh-contoh yang konkrit.<br />8. Problem solving (memecahkan masalah)<br /> Memecahkan masalah merupakan suatu pekerjaan yang biasa yang dilakukan manusia. Setiap hari dia melakukan problem solving bayak sekali. Untuk memecahkan masalah dia harus memiliki aturan-aturan atau pengetahuan dan pengalaman, melalui pengetahuan aturan-aturan inilah dia dapat melakukan keputusan untuk memecahkan suatu persoalan. Seseorang harus memiliki konsep-konsep, aturan-aturan dan memiliki “sets” untuk memecahkannya dan suatu strategi untuk memberikan arah kepada pemikirannya agar ia produktif.<br />4. Peristiwa-peristiwa Pembelajaran<br />Apakah yang terjadi dalam mengajar? Mengajar dapat kita pandang sebagai usaha mengontrol kondisi ekstern. Kondisi ekstern merupakan satu bagian dari proses belajar, namun termasuk tugas guru yang utama dalam mengajar.<br />Mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang menurut Gagne terkenal dengan “Nine instructional events” atau Sembilan kondisi intruksional yang dapat diuraikan sebagai berikut :<br />1. Gain attention (memelihara perhatian)<br /> Dengan stimulus ekster kita berusaha membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk belajar.<br />2. Inform learners of objectives (penjelasan tujuan pembelajaran)<br /> Menjelaskan kepada murid tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.<br />3. Stimulate recall of prior learning (merangsang murid)<br />Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.<br />4. Present the content (menyajikan stimulus)<br />Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga murid menjadi lebih siap menerima pelajaran.<br />5. Provide "learning guidance" (memberikan bimbingan)<br />Memberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar<br />6. Elicit performance /practice (pemantapan apa yang dipelajari)<br />Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu.<br />7. Provide feedback (memberikan feedback)<br />Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah hasil belajarnya benar atau tidak.<br />8. Assess performance (menilai hasil belajar)<br />Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memberikan beberapa soal.<br />9. Enhance retention and transfer to the job (mengusahakan transfer)<br />Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi lain<br />Dalam mengajar hal di atas dapat terjadi sebagian atau semuanya, Proses belajar sendiri terjadi antara peristiwa nomor 5 dan 6. Peristiwa-peristiwa itu digerakkan dan diatur dengan perantaraan komunikasi verbal yakni guru mengatakan kepada murid apa yang harus dilakukannya<br /><br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-53617525926427475252009-06-28T10:10:00.000-07:002009-06-28T10:41:50.403-07:00Konsep Dasar dan Filosofi Pendidikan Nilai<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB I</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDAHULUAN</span><br /><br /></div><div style="text-align: justify;">A. Latar Belakang Masalah<br /> Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Namun, sekarang ini tampak ada gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua yang menunjukkan bahwa mereka mengabaikan nilai dan moral dalam tata krama pergaulan yang sangat diperlukan dalam suatu masyarakat yang beradab (civil society). Dalam era reformasi sekarang ini seolah-olah orang bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, perkelahian massal, penjarahan, pemerkosaan, pembajakan kendaraan umum, penghujatan, perusakan tempat ibadah, lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintahan dan sebagainya, yang menimbulkan korban jiwa dan korban kemanusiaan.<br /> Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan nilai yang seharusnya dimiliki serta dihayati dan dijunjung tinggi. Nilai-nilai itu kini bergeser dari kedudukan dan fungsinya serta digantikan oleh keserakahan, ketamakan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Dengan pergeseran fungsi dan kedudukan nilai itu, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dirasakan semakin hambar dan keras, rawan terhadap kekerasan, kecemasan, bentrok fisik (kerusuhan) dan merasa tidak aman. Dekadensi moral juga tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat yang tidak dapat menghargai orang lain, hidup dan perikehidupan bangsa dengan manusia sebagai indikator harkat dan martabatnya. Nilai-nilai moral menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai ukuran pencegahan pelanggaran-pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, perkelahian, penculikan, pembakaran, perusakan dan lain-lain.<br /> Dengan demikian, salah satu problematika kehidupan bangsa yang terpenting di abad ke-21 adalah nilai moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara keseluruhan. Efektivitas paradigma pendidikan nilai yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih sering diperdebatkan.<br /> Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka kami menyusun sebuah makalah sederhana yang berjudul “Makna dan Filosofi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum” sebagai sebuah atensi dalam membumikan Pendidikan Nilai di Indonesia pada umumnya dan khususnya di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.<br /><br />B. Rumusan Masalah<br /> Pembahasan makalah ini dibatasi oleh beberapa rumusan masalah sebagai berikut:<br />1. Apakah yang dimaksud dengan nilai?<br />2. Bagaimana klasifikasi nilai?<br />3. Bagaimana hierarki nilai?<br />4. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Nilai?<br />5. Apa Tujuan Pendidikan Nilai?<br />6. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Umum?<br />7. Bagaimana filosofi Pendidikan Nilai?<br /><br />C. Tujuan Penulisan<br /> Secara umum, penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan makna Pendidikan Nilai dan filosofinya. Sedangkan tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk:<br />1. Mengetahui definisi nilai<br />2. Mengetahui klasifikasi dan hierarki nilai<br />3. Mengetahui definisi Pendidikan Nilai<br />4. Mengetahui tujuan Pendidikan Nilai<br />5. Mengetahui definisi Pendidikan Umum<br />6. Mengetahui filosofi Pendidikan Nilai<br /><br />D. Metode Penulisan<br /> Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode analisis deskriftif dan kajian pustaka.<br /><br />E. Sistematika Uraian<br /> Dalam bab I dijelaskan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika uraian. Sementara dalam bab II dibahas mengenai definisi nilai, klasifikasi nilai, hierarki nilai, definisi Pendidikan Nilai, tujuan Pendidikan Nilai, definisi Pendidikan Umum, dan filosofi Pendidikan Nilai. Sedangkan dalam bab III berisi kesimpulan.<br /><br /><br /><div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB II<br />MAKNA DAN FILOSOFI PENDIDIKAN NILAI<br />DALAM PENDIDIKAN UMUM<br /></div>A. Definisi Nilai<br /> Menurut Baier (Mulyana, 2004: 8) nilai sering kali dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh sudut pandangnya yang berbeda-beda pula. Contohnya seorang sosiolog mendefinisikan nilai sebagai suatu keinginan, kebutuhan, dan kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog akan menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada tahap wujud tingkah lakunya yang unik. Sementara itu, seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga “ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Perbedaan pandangan mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.<br /> Allport (Mulyana, 2004: 9) mendefinisikan nilai sebagai sebuah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Sebagai seorang ahli psikologi kepribadian, Allport menyatakan bahwa nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Keyakinan merupakan wilayah psikologis tertinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Oleh karenanya, keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari sebuah rentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.<br /> Kupperman (Mulyana, 2004: 9) menafsirkan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif. Ia memberi penekanan pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Sebagai seorang sosiolog, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari kehidupan sosial. Oleh karena itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.<br /> Sedangkan Kluckhohn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan sikap.<br /> Sementara itu, Mulyana (2004: 11) menyederhanakan definisi nilai sebagai suatu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Menurutnya, definisi ini dapat mewakili definisi-definisi yang dipaparkan di atas, walaupun ciri-ciri spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat dan ciri-ciri nilai tidak diungkapkan secara eksplisit. <br /><br />B. Klasifikasi Nilai<br /> Dalam teori nilai yang digagasnya, Spranger (Mulyana, 2004: 32) menjelaskan ada enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Ke-enam nilai tersebut adalah sebagai berikut:<br /><ol><li>Nilai teoretik: Nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal. Oleh karena itu nilai erat dengan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah dan pembuktian ilmiah. Komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah para filosof dan ilmuwan.</li><li>Nilai ekonomis: Nilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah “harga” dari suatu barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Oleh karena pertimbangan nilai ini relatif pragmatis, Spranger melihat bahwa dalam kehidupan manusia seringkali terjadi konflik antara kebutuhan nilai ekonomis ini dengan nilai lainnya. Kelompok manusia yang tertarik nilai ini adalah para pengusaha dan ekonom.</li><li>Nilai estetik: Nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai estetik berbeda dengan nilai teoretik. Nilai estetik lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif, sedangkan nilai teroretik lebih melibatkan penilaian obyektif yang diambil dari kesimpulan atas sejumlah fakta kehidupan. Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model.</li><li>Nilai sosial: Nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang individualistik dengan yang altruistik. Sikap yang tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, serta perasaan simpati dan empati merupakan kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Nilai sosial ini banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia.</li><li>Nilai politik: Nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh pada diri seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang kurang tertarik pada nilai ini. Dilihat dari kadar kepemilikannya nilai politik memang menjadi tujuan utama orang-orang tertentu seperti para politisi dan penguasa.</li><li>Nilai agama: Secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan, antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan, antara ucapan dengan tindakan, antara i’tikad dengan perbuatan. Spranger melihat bahwa pada sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam, atau orang-orang sholeh.</li></ol><br /><br />C. Hirarki Nilai<br />Menurut Scheler (Mulyana, 2004: 38), nilai dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada juga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, nilai menurut Scheler memiliki hierarki yang dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu:<br /><ol><li>Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederet nilai yang menyenangkan atau sebaliknya yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita.</li><li>Nilai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan lain-lain.</li><li>Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak bergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.</li><li>Nilai Kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci maupun tidak suci. Nilai-nilai ini terutama lahir dari ketuhanan sebagai nilai tertinggi.</li></ol>Hierarki nilai tersebut ditetapkan Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu: semakin lama semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya.<br /><br />D. Definisi Pendidikan Nilai<br /> Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control).<br /> Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi.<br /> Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama.<br />Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik.<br /> Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral.<br /> Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat.<br /><br />E. Tujuan Pendidikan Nilai<br /> Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah:<br />“<span style="font-style: italic;">to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them</span>”.<br /><br />Lorraine (1996: 9) pun berpendapat:<br />“<span style="font-style: italic;">in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society</span>”.<br /><br /> Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.<br />Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.<br /> Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).<br /><br />F. Definisi Pendidikan Umum<br /> Menurut Cohen & Arthur (1998) yang dimaksud dengan Pendidikan Umum adalah the process of developing a framework on which to place knowledge stemming from various souerce. Pendidikan Umum adalah proses pembangunan suatu kerangka kerja yang tekanannya pada pengetahuan dari bermacam-macam sumber.<br /> R. O. Hand & P. B. Bibna (1990: 76) menjelaskan bahwa:<br />“<span style="font-style: italic;">General Education is the making of: 1) complete man, 2) mental physical heart, 3) social adjustment, understanding of other people, responsivenes to other need with is counterpart of good manners, 4) personal adjustment, the individual understanding of himselves, his poises and adequence in copying with real situation</span>.”<br /><br /> Wolf & Klafki (1985: 321) mengatakan: “<span style="font-style: italic;">General Education is the development of human power , the comprehensive education of man, the education of head, heart and hand, general education for all</span>.”<br /> P. H. Phenix (1964: 7) pun memiliki definisi sendiri. Menurutnya Pendidikan Nilai adalah: “<span style="font-style: italic;">General Education should develope in everyone, general education is the process of engineering essential meaning, to lead to fulfillment of human live the entargement and deeping of meaning</span>.”<br />Sementara itu Draper, E. (1980: 25) menyebutkan: ”<span style="font-style: italic;">General Education is that every one must have for satisfactory and efficient living, regardless of what one plans to make his life work</span>”.<br /> Dalam Ventura College (2004: 1) Pendidikan Umum diartikan sebagai berikut:<br />“<span style="font-style: italic;">General Education: A program of courses in the arts and sciences that provides students with a broad educational experience. Courses typically are introductory in nature and provide students with fundamental skills and knowledge in mathematics, English, arts, humanities, and physical, biological, and social sciences. Transfer students often take these classes while attending a community college. Completion of a general education program is required for a baccalaureate degree</span>.”<br /> Dalam SK Mendiknas No.008-E/U/1975 disebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik.<br /> Mulyana (1999: 121) mengatakan bahwa Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang harmonis yang mengembangkan aspek kogitif, afektif, dan psikomotorik. Namun penekannya lebih besar pada aspek afektif (nilai, moral, sikap, dsb).<br /> Faridah (1992: 55) menyatakan bahwa Pendidikan Umum adalah program pendidikan yang membina kepribadian warga negara peserta didik menjadi manusia seutuhnya melalui pembinaan nilai-nilai untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Pendidikan Umum, yaitu membina manusia indonesia seutuhnya.<br /> Sumaatmadja (2002: 93-94) mengungkapkan bahwa tujuan Pendidikan Umum di Indonesia dalam ketetapan MPR II/MPR/1988 sangat rinci, yakni; aspek kognitif (kecerdasan, inovatif, dan kreatif), aspek afektif (beriman, bertaqwa, berbudi pekerti, berkepribadian, disiplin, tangguh, tanggung jawab, kesetiakawanan sosial dan percaya diri), dan aspek psikomotornya (bekerja keras, tangguh, terampil, sehat jasmani dan rohani). Bila dikaitkan dengan bobot nalarnya dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah nalar intelektual, emosional, sosial dan spiritual.<br /> Djahiri (2004: 1) mengatakan tujuan Pendidikan Umum sebagai pembelajaran adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, baik secara kodrati Ilahiyyah maupun sebagai insan sosial-politik-ekonomi. Sebagai insan kodrati, Allah melengkapi potensi ragawi dan panca indera manusia dengan akal pikiran dan hati nurani (al-Qalb) berikut fungsi dan perannya.<br />Sikun Pribadi (1981: 11) Pendidikan Umum itu mempunyai tujuan; (a) membiasakan siswa berpikir obyektif, kritis, dan terbuka, (b) memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan; (c) menjadi manusia yang sadar akan dirinya, sebagai makhluk, sebagai manusia, dan sebagai pria dan wanita, dan sebagai warga negara; (d) mampu menghadapi tugasnya, bukan saja karena menguasai bidang profesinya, tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.<br />Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa makna pendidikan nilai dalam Pendidikan Umum adalah suatu sistem pendidikan yang membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai kognitif dan afektif agar ia mampu menjadi manusia seutuhnya, manusia yang tidak hanya cerdas akalnya, namun juga lembut hatinya dan terampil tangannya.<br /><br />G. Filosofi Pendidikan Nilai<br /> Secara filosofis, pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Pendidikan itu me-manusia-kan manusia (Driyarkara, 1991). Pendidikan adalah untuk kehidupan, bukan untuk memenuhi ambisi-ambisi yang bersifat pragmatis. Pendidikan bukan non vitae sed scholae discimus (belajar bukan untuk kehidupan melainkan untuk sekolah). Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan.<br /> Dalam pendidikan untuk kehidupan, hal utama yang dilakukan adalah menenamkan nilai-nilai. Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena ciri kehidupan yang baik terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai: nilai kebersamaan, kejujuran, kesetiakawanan, kesopanan, kesusilaan, dan lain-lain.<br /> Menurut Piet G.O, nilai adalah sifat yang berharga dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Selaras dengan pemikiran-ini, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai adalah the addresse of a yes, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui (Adimassana, 2001). Jadi, pendidikan nilai adalah manifestasi dari non scholae sed vitae discimus.<br /> Nilai merupakan kebenaran atau realitas sejati yang akan terus dicari oleh setiap individu. Sejak manusia lahir ia mulai melakukan pencarian. Ia ingin berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia sentuh benda-benda, memasukan benda ke dalam mulut, melemparkan dan mengamati hasilnya. Ketika ia mulai dapat berbicara, banyak hal yang ia tanyakan: apa ini? Apa itu? Ia terus berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9 & Kneller, 19971: 2).<br /> Apa sesungguhnya yang disebut dengan kebenaran sejati itu? Kebenaran sejati adalah sesuatu yang tak berubah dan tidak tergantung pada ruang dan waktu serta bersifat universal. Jika sesuatu benar di sini maka iapun harus benar di mana saja. Jika sesuatu benar hari ini maka ia juga harus benar besok. Jika ia benar besok maka iapun harus benar lusa. Jika ia benar 100 tahun yang lalu maka iapun harus benar 1000 tahun kemudian dan seterusnya (Na-Ayudhya, 2008: 8-9).<br /> Lalu, dimana sesungguhnya kebenaran sejati itu dapat ditemukan? Kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dengan memulai melakukan pencarian di dalam diri. Pencarian sesuatu dalam diri merupakan awal dari pencarian kebenaran sejati. Inilah yang disebut dengan pencarian pengetahuan diri sejati, self-knowledge, atau pengetahuan tentang diri atau kesadaran jati diri, self-realization (Na-Ayudhya, 2008: 8-9). <span style="font-style: italic;">Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu</span>, siapa yang mengerti dirinya ia akan menemukan Tuhannya. Tuhan adalah sumber dan sekaligus kebenaran sejati. Pencarian pengetahuan diri sejati atau pengembangan kesadaran jati diri merupakan topik utama dalam wacana kajian filsafat pendidikan nilai.<br /> Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai.<br /><br />1. Dasar Ontologis Pendidikan Nilai<br /> Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.<br /> Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.<br />2. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai<br /> Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.<br /> Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)<br />3. Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai<br /> Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">KESIMPULAN</span><br /><br /></div> Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi melainkan juga oleh krisis nilai dan akhlak. Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa merajalela. Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan, perkosaan, minum minuman keras, dan bahkan pembunuhan. Keadaan seperti itu, terutama krisis nilai dan akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsanya.<br /> Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. <br /> Di sisi lain, tidak dimungkiri bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor. Di samping itu, penilaian dalam mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa. <br /> Memperhatikan hal-hal tersebut, terjadi gugatan dan hujatan terhadap dunia pendidikan, kepada guru, dan terhadap proses pembelajaran. Di samping itu, terjadi pembicaraan dan diskusi tentang perlunya pemberian pelajaran nilai budi pekerti secara terpisah dari mata-mata pelajaran yang sudah ada atau secara terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran yang sudah ada (PPKN, Pendidikan Agama, dan sejenisnya) kepada para siswa sekolah dasar pada khususnya.<br /> Oleh karena itu, reposisi, re-evaluasi dan redefinisi terhadap "rumpun" Pendidikan Nilai khususnya, dipandang perlu agar tujuan kurikuler dan tujuan nasional pendidikan yang bermaksud menyiapkan generasi bangsa yang berwatak luhur dapat tercapai.<br /><br />Penyusun:<br />Firman Robiansyah, Teni Maryatin dan Ahmad Sarbini (Mahasiswa S2 dan S3 PU UPI)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">DAFTAR PUSTAKA</span><br />Anonimous. 2008. Dari Non Vitae sed Scholae Discimus Menuju Non Scholae sed Vitae Discimu. http://krisnaster.blogspot.com, 10 Oktober 2008.<br />Elmubarok, Z. (2008). <span style="font-style: italic;">Membumikan Pendidikan Nilai</span>. Bandung: Alfabeta.<br />George F. Keneller. tt. <span style="font-style: italic;">Introduction to The Philosophy of Education</span>. John Wiley & Sons, Inc. New York.<br />Na-Ayudhya, Art-Ong Jumsai. 2008. <span style="font-style: italic;">Model Pembelajaran Nilai Kemanusian Terpadu (Human Values Integrated Intructional Model</span>). Yayasan Pendidikan Sathya Sai Indonesia. Jakarta.<br />Kurniawan, K. 2008. Paradigma Baru Pendidikan Moral. http://groups.google.co.id, 27 Agustus 2008.<br />Mulyana, R. 2004. <span style="font-style: italic;">Mengartikulasikan Pendidikan Nilai</span>. Bandung: Alfabeta.<br />Somad, M.A. (2007). <span style="font-style: italic;">Pengembangan Model Pembinaan Nilai-nilai Keimanan dan Keberagamaan Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung).</span> Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan.<br />Sudrajat, A. (2008) <span style="font-style: italic;">Konsep, Ruang Lingkup dan Sasaran Pendidikan Umum.</span> [Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/ konsep-ruang-lingkup-dan-sasaran-pendidikan-umum. [11 Nov 2008]<br />Tiweng, T. (2008). <span style="font-style: italic;">Penanaman Pendidikan Nilai</span>. [Online]. Tersedia: http://www. freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00225.html. [11 November 2008]<br /><br />Trimo. (2007). <span style="font-style: italic;">Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan.</span> [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0807trimo.html. [16 Sept 2008]<br /><br />Zakaria, T.R. (2008) <span style="font-style: italic;">Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti</span>. [Online]. Tersedia: http://groups.yahoo. com /group/pakguruonline/message/131. [11 November 2008)</div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-57255431042794327082009-06-28T09:42:00.001-07:002009-06-28T10:53:15.393-07:00Proposal Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga serta Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak<div style="text-align: justify; font-family: lucida grande;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA<br />DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENANAMAN NILAI BUDI PEKERTI ANAK<br />DI RW 01 DESA RANCAHILIR PAMANUKAN SUBANG<br />Oleh Munasir, S.Pd.<br /></div><br />A. LATAR BELAKANG MASALAH<br />Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan telebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Keluargalah yang akan memberikan warna kehidupan seorang anak, baik perilaku, budi pekerti maupun adat kebiasaan sehari-hari. Keluarga jualah tempat dimana seorang anak mendapat tempaan pertama kali yang kemudian menentukan baik buruk kehidupan setelahnya di masyarakat. Sehingga tidak salah lagi kalau keluarga adalah elemen penting dalam menentukan baik-buruknya masyarakat (Athiyah, 1993: 133).<br />Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting, terutama ibu. Dialah yang mengatur, membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya (Daradjat, 1995: 47). Dalam hal ini peranan seorang ibu sangat besar dalam menentukan keberhasilan karier anaknya sebagai anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mulai menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Dalam hal ini faktor penting yang memegang peranan dalam menentukan kehidupan anak adalah pendidikan orang tua. yang selanjutnya digabungkan menjadi pendidikan agama.<br />Pada setiap anak terdapat suatu dorongan dan suatu daya untuk meniru. Dengan dorongan ini anak dapat mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Apa saja yang didengarnya dan dilihat selalu ditirunya tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya. Dalam hal ini sangat diharapkan kewaspadaan serta perhatian yang besar dari orang tua. Karena masa meniru ini secara tidak langsung turut membentuk watak dan karakter anak di kemudian hari. Sebagaimana Rasulullah SAW.,bersabda: Artinya: Dari Abu Hurairah, r.a., berkata: Bersabda Rasulullah SAW.: “Tidaklah seseorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasronikannya atau memajusikannya” (HR. Bukhari).<br />Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada orang tuanya, karena itu orang tua harus menjaga dan memelihara serta menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerima. Karena manusia adalah milik Allah SWT, mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada Allah SWT. Mengingat strategisnya jalur pendidikan keluarga, dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN, ps. 10. 5) juga disebutkan arah yang seharusnya ditempuh yakni: pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Thoha, 1996: 103).<br />Pendidikan keluarga diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadi manusia yang utuh, yaitu manusia yang berbudi luhur, cerdas, dan terampil. Sehingga, di masa mendatang anak tersebut menjadi manusia yang baik, anggota masyarakat dan warga Negara yang baik. Pendidikan agama (khususnya agama Islam) merupakan pendidikan yang sangat sesuai untuk diterapkan dalam rangka pembentukan karakter (akhlak) anak. Karena di dalam pendidikan agama Islam mencakup pendidikan nilai budi pekerti, nilai keyakinan (aqidah), dan nilai pengabdian (ibadah). <br />Pendidikan agama yang diberikan sejak dini menuntut peran serta keluarga, karena telah diketahui sebelumnya bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama dan utama yang dapat memberikan pengaruh kepada anak. Pelaksanaan pendidikan agama pada anak dalam keluarga di pengaruhi oleh adanya dorongan dari anak itu sendiri dan juga adanya dorongan keluarga. Setiap orang mengharapkan rumah tangga yang aman, tentram dan sejahtera. Dalam kehidupan keluarga, setiap keluarga mendambakan anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Anak merupakan amanat Allah SWT kepada orang tuanya untuk diasuh, dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian orang tua dalam pandangan agama Islam mempunyai peran serta tugas utama dan pertama dalam kelangsungan pendidikan anak-anaknya, baik itu sebagai guru, pedagang, atau dia seorang petani.<br />Tugas orang tua untuk mendidik keluarga khusus anak-anaknya, secara umum Allah SWT tegaskan dalam al-Qur’an surat At Tahrim (66) ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman periharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.<br />Dengan demikian pendidikan dalam lingkungan keluarga sangat memberikan pengaruh dalam pembentukan keagamaan, watak serta kepribadiaan anak.<br />Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul “Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga dan Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak di RW 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang”<br />B. RUMUSAN MASALAH<br />Untuk mempermudah dan menghindari salah pengertian serta mempertegas ruang lingkup pembahasan, maka penulis memandang perlu menyampaikan batasan-batasan terhadap beberapa istilah yang terdapat dalam judul di atas. Adapun istilah-istilah yang perlu dijelaskan antara lain :<br /><ul><li>Pendidikan agama Islam yang dimaksud di sini adalah pendidikan aqidah, ibadah, dan pendidikan akhlak.</li><li>Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008).</li><li>Anak yang dimaksud di sini adalah anak yang masih usia sekolah.</li><li>Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).</li><li>Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat (draft kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001).</li></ul>Berdasarkan pada masalah tersebut, maka penulis membatasi hanya pada wilayah Rw. 01 desa Rancahilir Pamanukan Subang, dengan rumusan masalah sebagai berikut :<br /><ol><li>Bagaimanakah pendidikan agama Islam pada anak dalam keluarga?</li><li>Usaha-usaha apa sajakah yang telah dilakukan keluarga terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak?</li><li>Bagaimanakah implikasi pendidikan agama Islam terhadap penanaman nilai budi pekerti pada anak?</li><li>Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam?</li></ol>C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN<br />Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :<br /><ol><li>Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan agama Islam di wilayah Rw. 01 Desa Ranacahilir Pamanukan Subang.</li><li>Untuk mengetahui seberapa besar peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di wilayah Rw. 01 Desa Ranacahilir Pamanukan Subang.</li><li>Untuk mengetahui usaha-usaha apa yang dilakukan oleh keluarga terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam pada anak.</li><li>Untuk mengetahui apakah pendidikan agama Islam itu sangat penting dalam keluarga.</li></ol>Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:<br /><ul><li>Secara teoritis; dapat menambah hazanah keilmuan khususnya dalam rangka pelaksanaan pendidikan agama Islam di keluarga.</li><li>Secara praktis; dapat dijadikan referensi para orang tua dan pendidik dalam mendidik anak-anaknya.</li><li>Secara umum; memberikan gambaran fenomena pendidikan agama Islam yang dilaksanakan oleh keluarga terhadap anak-anaknya.</li></ul>D. DEFINISI OPERASIONAL<br />Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:<br /><ul><li>Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman (Ramayulis, 2005: 21).</li><li>Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008).</li><li>Anak yang dimaksud di sini adalah anak yang masih usia sekolah.</li><li>Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).</li><li>Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat (draft kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001).</li></ul><br />E. KERANGKA TEORITIS<br />A. Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga<br />1. Pengertian Pendidikan Agama Islam<br />Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.<br />Menurut Zakiyah Darajat Pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Sedangkan menurut A. Tafsir pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Majid dan Andayani, 2004: 130).<br />Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Muhaimin, 2004: 78)<br />Dari beberapa pengertian pendidikan agama Islam di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk menyiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. dan berakhlak mulia dalam kehidupannya.<br /><br />2. Kedudukan Pendidikan Agama Islam<br />Bila seseorang percaya bahwa agama itu adalah sesuatu yang benar, maka timbullah perasaan suka terhadap agama. Perasaan seperti ini merupakan komponen afektif dari sikap kegamaan. Selanjutnya dari adanya kepercayaan dan perasaan senang seseorang itu akan mendorong untuk berperilaku keagamaan atau yang dikenal dengan pengamalan ajaran agama. Dengan demikian konsisten antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif, dan perasaan terhadap agama sebagai komponen afektif dengan perilaku terhadap agama sebagai komponen kognitif menjadi landasan pembentukan sikap keagamaan. Baik buruknya keagamaan seseorang tergantung kepada tingkat kepercayaan terhadap agama. Sikap keagamaan mencakup semua aspek yang berhubungan dengan keagamaan sepanjang yang bisa dirasakan dan dijangkau oleh anak di lingkungan keluarga dan sekolah, seperti sikap yang berhubungan dengan aspek keimanan, ibadah, akhlak, dan muamalah.<br />Sikap keagamaan adalah suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.<br />Ada tiga komponen sikap keagamaan:<br /><ul><li>Komponen Kognisi, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala fikiran seperti ide, kepercayaan dan konsep.</li><li>Komponen Afeksi, adalah segala hal yang berhubungan dengan gejala perasaan (emosional: seperti senang, tidak senang, setuju)</li><li>Komponen Konasi, adalah merupakan kecenderungan untuk berbuat, seperti memberi pertolongan, menjauhkan diri, mengabdi dan sebagainya (Jalaludin, 1996: 212).</li></ul>Pendidikan agama mempunyai kedudukan yang tinggi dan paling utama, karena pendidikan agama menjamin untuk memperbaiki akhlak anak-anak didik dan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi, serta berbahagia dalam hidup dan kehidupannya. Pendidikan agama membersihkan hati dan mensucikan jiwa, serta mendidik hati nurani dan mencetak mereka agar berkelakuan yang baik dan mendorong mereka untuk memperbuat pekerjaan yang mulia. Pendidikan agama memelihara anak-anak, supaya mereka tidak menuruti nafsu yang murka, dan menjaga mereka supaya jangan jatuh ke lembah kehinaan dan kesesatan. Pendidikan agama menerangi anak-anak supaya melalui jalan yang lurus, jalan kebaikan, jalan kesurga. Sebab itu mereka patuh mengikuti perintah Allah, serta berhubungan baik dengan teman sejawatnya dan bangsanya, berdasarkan cinta-mencintai, tolong-menolong dan nasehat-menasehati (Yunus, 1993: 7-8).<br /> Oleh sebab itu pendidikan agama harus diberikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai keperguruan tinggi. Dengan demikian pendidikan agama sangat berperan dalam memperbaiki akhlak anak-anak untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka, agar mereka berkepribadian baik dalam kehidupannya. Dengan pendidikan agama, maka anak-anak menjadi tahu dan mengerti akan kewajibannya sebagai umat beragama, sehingga ia mengikuti aturan yang telah ditetapkan dan menjauhi larangan agama.<br /><br />3. Tujuan Pendidikan Agama Islam<br />Secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam yaitu: (1) dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam; (2) dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam; (3) dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama Islam; dan (4) dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Muhaimin, 2005: 78)<br />Tujuan Pendidikan agama dalam segala tingkat pengajaran umum adalah sbb:<br /><ul><li>Menanamkan perasaan cinta dan taat kepada Allah dalam hati kanak-kanak yaitu dengan mengingatkan nikmat Allah yang tidak terhitung banyaknya.</li><li>Menanamkan itikad yang benar dan kepercayaan yang betul dalam dada kanak-kanak.</li><li>Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya mengikut suruhan Allah dan meninggalkan segala laranganNya, baik terhadap Allah ataupun terhadap masyarakat, yaitu dengan mengisi hati mereka, supaya takut kepada Allah dan ingin akan pahalanya.</li><li>Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya membiasakan akhlak yang mulia</li><li>dan adat kebiasaan yang baik.</li><li>Mengajar pelajaran-pelajaran, supaya mengetahui macam-macam ibadat yang wajib dikerjakan dan cara melakukannya, serta mengetahui hikmah-hikmah dan faedah-faedahnya dan pengaruhnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Begitu juga mengajarkan hukum-hukum agama yang perlu diketahui oleh tiap-tiap orang Islam, serta taat mengikutnya.</li><li>Memberi petunjuk mereka untuk hidup di dunia dan menuju akhirat.</li><li>Memberikan contoh dan tiru teladan yang baik, serta pengajaran dan nasehatnasehat.</li><li>Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik yang berbudi luhur dan berakhlak mulia, serta berpegang teguh dengan ajaran agama (Yunus, 1983) </li></ul>Dari berbagai penelitian tentang tujuan pendidikan agama di atas, bahwa pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan. Karena itu terdapat beberapa konsep dari tujuan pendidikan agama Islam itu sendiri, di antaranya bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membina serta memelihara Islam sesuai dengan syari’ah serta memanfaatkannya sesuai dengan Aqidah dan akhlak Islami. Sebagaimana dalam fiman Allah Swt dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S ADz Dzariyaat: 51:56 ).<br />Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah, menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya, memelihara, memperbaiki dan meningkatkan hubungan antar manusia dan lingkungan.<br /><br />4. Pentingnya Pendidikan Agama dalam Keluarga<br />Setiap orang tua tentu mendambakan anaknya menjadi anak yang saleh, yang memberi kesenangan dan kebanggaan kepada mereka. Kehidupan seorang anak tak lepas dari keluarga (orang tua), karena sebagian besar waktu anak terletak dalam keluarga. Peran orang tua yang paling mendasar didalam mendidik agama kepada anak-anak mereka adalah sebagai pendidik yang pertama dan utama, karena dari orang tualah anak pertama kali menerima pendidikan,baik itu pendidikan umum maupun agama.<br />Adapun peranan orang tua dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:<br />1) orang tua berfungsi sebagai pendidik keluarga, 2) orang tua berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung keluarga (Arifin, 1978: 80).<br />1. Orang tua sebagai pendidik keluarga<br />Dari orang tualah anak-anak menerima pendidikan, dan bentuk pertama dari pendidikan itu terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu orang tua memegang peranan penting dan sangat berpengaruh atas pendidikan anak. Agar pendidikan anak dapat berhasil dengan baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendidik antara lain:<br />a. Mendidik dengan ketauladanan (contoh)<br />Ketauladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang paling efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya. Apabila kita perhatikan cara Luqman mendidik anaknya yang terdapat dalam surat Luqman ayat 15 bahwa nilai-nilai agama mulai dari penampilan pribadi luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah Swt dan bijaksana dalam segala hal, kemudian yang di didik dan di nasehatkan kepada anaknya adalah kebulatan iman kepada Allah Swt semata, akhlak dan sopan santun terhadap kedua orang tua, kepada manusia dan taat beribadah.<br />Sehubungan dengan hal tersebut, hendaklah orang tua selaku memberikan contoh yang ideal kepada anak-anaknya, sering terlihat oleh anak melaksanakan sholat, bergaul dengan sopan santun. Berbicara dengan lemah lembut dan lainlainnya. Dan semua itu akan ditiru dan dijadikan contoh oleh anak.<br />b. Mendidik dengan adab pembiasaan dan latihan.<br />Setiap anak dalam keadaan suci, artinya ia dilahirkan di atas fitrah (kesucian) bertauhid dan beriman kepada Allah Swt. Oleh karena itu menjadi kewajiban orang tua untuk memulai dan menerapkan kebiasaan, pengajaran dan pendidikan serta menumbuhkan dan mengajak anak kedalam tauhid murni dan akhlak mulia. Hendaknya setiap orang tua menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan itu akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan terlihat jelas dan kuat, sehingga telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.<br />Ulwan (1992: 65) mengemukakan bahwa, “Pendidikan dengan pembiasaan dan latihan merupakan salah satu penunjang pokok pendidikan dan merupakan salah satu sarana dalam upaya menumbuhkan keimanan anak dan meluruskan moralnya”.<br />Di sinilah bahwa pembiasaan dan latihan sebagai suatu cara atau metode mempunyai peranan yang sangat besar sekali dalam menanamkan pendidikan pada anak sebagai upaya membina akhlaknya. Peranan pembiasaan dan latihan ini bertujuan agar ketika anak tumbuh besar dan dewasa, ia akan terbiasa melaksanakan ajaran-ajaran agama dan tidak merasa berat melakukannya. Pembiasaan dan latihan jika dilakukan berulang-ulang maka akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang nantinya membuat anak cenderung melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk dengan mudah.<br />c. Mendidik dengan nasehat<br />Di antara mendidik yang efektif di dalam usaha membentuk keimanan anak, mempersiapkan moral, psikis dan sosial adalah mendidik dengan nasehat. Sebab nasehat ini dapat membukakan mata anak-anak tentang hakikat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur, menghiasinya dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam (Ulwan, 1997: 66). Nasehat yang tulus berbekas dan berpengaruh jika memasuki jiwa yang bening, hati terbuka, akal yang bijak dan berpikir. Nasehat tersebut akan mendapat tanggapan secepatnya dan meniggalkan bekas yang dalam. Al Qur’an telah menegaskan pengetian ini dalam banyak ayatnya, dan berulang kali menyebutkan manfaat dari peringatan dengan kata-kata yang mengandung petunjuk dan nasehat yang tulus, di antaranya:<br />“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Q.S Qaaf: 50:37)<br />“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa'at bagi orang-orang yang beriman”.(Q.S Dzariyat: 51:55)<br />Nasehat sangat berperan dalam menjelaskan kepada anak tentang segala hakekat serta menghiasinya dengan akhlak mulia. Nasehat orang tua jauh lebih baik dari pada orang lain, karena orang tualah yang selalu memberikan kasih sayang serta contoh perilaku yang baik kepada anaknya. Disamping memberikan bimbingan serta dukungan ketika anak mendapat kesulitan atau masalah, begitupun sebaliknya ketika anak mendapatkan prestasi.<br /><br />d. Mendidik dengan pengawasan<br />Pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam upaya membentuk akidah dan moral, mengasihinya dan mempersiapkan secara psikis dan sosial, memantau secara terus menerus tentang keadaannya baik dalam pendidikan jasmani maupun dalam hal belajarnya. Mendidik yang disertai pengawasan bertujuan untuk melihat langsung tentang bagaimana keadaan tingkah laku anak sehari-harinya baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Di lingkungan keluarga hendaknya anak tidak selalu dimarahi apabila ia berbuat salah, tetapi ditegur dan dinasehati dengan baik. Sedangkan di lingkungan sekolah, pertama-tama anak hendaknya diantar apabila ia ingin pergi ke sekolah. Supaya ia nanti terbiasa berangkat kesekolah dengan sendiri. Begitu pula setelah anak tiba di rumah ketika pulang dari sekolah hendaknya ditanyakan kembali pelajaran yang ia dapat dari gurunya.<br />2. Orang tua sebagai pemelihara dan pelindung keluarga<br />Selain mendidik, orang tua juga berperan dan bertugas melindungi keluarga dan memelihara keselamatan keluarga, baik dari segi moril maupun materil, dalam hal moril antara lain orang tua berkewajiban memerintahkan anak anaknya untuk taat kepada segala perintah Allah Swt., seperti sholat, puasa dan lain-lainnya. Sedangkan dalam hal materil bertujuan untuk kelangsungan kehidupan, antara lain berupa mencari nafkah (Rahmat, 1994: 20)<br />Menurut Naufal (1994: 160), agar berhasil dalam mendidik anak, maka orang tua harus lebih dahulu memelihara diri dari hal-hal yang tidak pantas, serta melaksanakan perintah agama dengan baik. Sebab anak lebih cenderung meniru dan mengikuti kebiasaan yang ada dalam lingkungannya. Walhasil mendidik anak dengan contoh perilaku itu lebih baik dari pada dengan nasehat-nasehat lisan. Untuk itulah perlu kiranya diciptakan lingkungan keluarga yang islami. Misalnya, di dalam rumah ada tulisan-tulisan al-qur’an dan hadist (sebagai hiasan dinding), sering diputar kaset bacaan al-Qur’an, atau anak diajak langsung ke tempat peribadatan (masjid dan majlis taklim) atau bahkan diajak shalat bersama kedua orang tuanya.<br />Sedangkan menurut Shaleh (2000: 96), ada tiga macam lingkungan keagamaan dalam kehidupan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan dan proses belajar pendidikan agama di sekolah yaitu:<br />Pertama, keluarga yang sadar akan pentingnya pendidikan agama bagi perkembangan anak. Orang tua dari lingkungan keluarga yang demikian akan selalu medorong untuk kemajuan pendidikan agama serta kebersamaan mengajak anak untuk menjalankan agamanya. Orang tua mendatangkan guru ngaji atau privat agama di rumah serta menyuruh anaknya untuk belajar di madrasah diniyah dan mengikuti kursus agama.<br />Kedua, keluarga yang acuh tak acuh terhadap pendidikan keagamaan anak-anaknya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini tidak mengambil peranan untuk mendorong atau melarang terhadap kegiatan atau sikap keagamaan yang dijalani anak-anaknya.<br />Ketiga, keluarga yang antipati terhadap dampak dari keberadaan pendidikan agama di sekolah atau dari masyarakat sekitarnya. Orang tua dari keluarga yang semacam ini akan menghalangi dan mensikapi dengan kebencian terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anaknya dan keluarga lainnya.<br />Banyak alasan mengapa pendidikan agama di rumah tangga sangat penting. Alasan pertama, pendidikan di masyarakat, rumah ibadah, sekolah frekuensinya rendah. Pendidikan agama di masyarakat hanya berlangsung beberapa jam saja setiap minggu, di rumah ibadah seperti masjid, juga sebentar, di sekolah hanya dua jam pelajaran setiap minggu. Alasan kedua, dan ini paling penting, inti pendidikan agama Islam ialah penanaman iman. Penanaman iman itu hanya mungkin dilaksanakan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari dan itu hanya mungkin dilakukan di rumah. Pendidikan agama itu intinya ialah pendidikan keberimanan, yaitu usaha-usaha menanamkan keimanan di hati anak-anak kita (Tafsir, 1999: 134)<br />Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik, khususnya di dalam melindungi keluarga dan memelihara keselamatan keluarga. Melindungi keluarga bukan hanya memberikan tempat tinggal saja, tetapi memberikan perlindungan supaya keluarga kita terhindar dari mala petaka baik didunia maupun di akherat nanti yaitu dengan cara mengajak keluarga kita kepada perbuatan-perbuatan yang perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi segala larangan-larangannya. Memelihara keselamatan keluarga yaitu mengajarkan keluarga kita supaya taat kepada Allah SWT, agar keluarga kita diberikan keselamatan oleh Allah SWT baik di dunia dan akherat.<br />Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga harus benar-benar dilaksanakan. Dan sebagai orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anknya, karena anak itu sifatnya menerima semua yang dilkukan, yang dilukiskan dan condong kepada semua yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu akan hidup bahagia di dunia dan di akherat. Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja, maka anak itu akan celaka dan binasa. Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya.<br /><br />B. Peranan Keluarga dalam Pendidikan Agama Islam<br />1. Pengertian Keluarga<br />Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Peter Murdock, 1949).<br />Pengertian-pengertian lainnya sebagai berikut:<br /><ul><li>Keluarga (bahasa) berasal dari dua struktur kata, yakni kata kula dan warga. Kula berarti abdi atau hamba. Warga berarti anggota. (Hidayat Y.,2008: 31)</li><li>Keluarga adalah sanak saudara yang bertalian darah karena faktor keturunan yang dihasilkan atas dasar perkawinan. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1980: 471)</li><li>Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu orang tua (keluarga) mempunyai peranan yang dominan dalam pengembangan kesadaran beragama anak. (Yusuf LN, 2008: 41)</li><li>Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)</li><li>Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)</li><li>Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.</li></ul>Menurut Amini (107: 2006), keluarga adalah orang-orang yang secara terus menerus atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga, diantara mereka disebabkan mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang menyebabkan si anak terlahir ke dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak. Menjadi ayah dan ibu tidak hanya cukup dengan melahirkan anak, kedua orang tua dikatakan memiliki kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh dalam mendidik anak mereka. Islam menganggap pendidikan sebagai salah satu hak anak, yang jika kedua orang tua melalaikannya berarti mereka telah menzalimi anaknya dan kelak pada hari kiamat mereka dimintai pertanggung jawabannya.<br />Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak. Masing-masing unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga, sehingga bila salah satu unsur tersebut hilang maka keluarga tersebut akan guncang atau kurang seimbang. Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia prasekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya. Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.<br /><br />2. Fungsi Keluarga<br />Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142).<br />Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992).<br />Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa” (Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga.<br />Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Purwo, 1990:101-103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.<br />Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak (Gordon,1984; 6). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orang tuanya.<br />Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orang tua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidakharmonisan hubungan antara orang tua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orang tua berperan sangat besar (Gordon,1984 : 1-9).<br />Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orang tua mereka.<br />Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai budi pekerti, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28). Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.<br />Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi. Pertama, keluarga harmonis, yaitu keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah, yaitu keluarga yang memiliki masalah, baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal, yaitu keluarga yang mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah.<br />Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi” (Rahmat, 1994: 20-21)<br />Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto yang dikutip Sabri (2005:23-24) bahwa keluarga mempunya 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:<br />Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.<br /><ul><li>Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).</li><li>Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.</li><li>Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan hingga ke perguruan tinggi.</li><li>Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.</li><li>Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.</li><li>Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi. Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain.</li><li>Menurut Ahmadi (89: 1998), ia menambahkan satu fungsi keluarga selain ketujuh fungsi di atas yaitu fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi adalah keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan manusia yang pokok, diantaranya kebutuhan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya dan kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan pokok ini maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal. </li></ul>Dari berbagai fungsi keluarga yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Karena sangat berpengaruh sekali kepada anak apabila ia tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, dalam rangka:<br />Memelihara dan membesarkan anaknya.<br />Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.<br />Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.<br />Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.<br /><br />C. Pengertian Nilai Budi Pekerti<br />1. Pengertian Nilai<br />Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosop dan ahli pendidikan nilai berkaitan dengan pengertian Nilai. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang nilai:<br />A value is an idea –a concept- abaout what some one think is important in life (Fraenkel, 1977:60).<br />Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar dan adil (Djahiri, 1089:36).<br />Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).<br />Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama. Jadi, sebenarnya perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dimaksud.<br />Rumusan definisi Nilai nampaknya dipengaruhi oleh sudut pandang para tokoh, namun yang jelas bahwa Nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap orang baik disadari atau tidak. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih prilaku apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Sebagai standar, Nilai membantu seseorang menentukan apakah ia suka terhadap sesuatu atau tidak.<br />2. Pengertian Budi Pekerti<br />Pengertian Budi Pekerti secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah, 2007:17). Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat.<br />Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.<br />Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.<br />Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.<br />Berdasarkan pengertian dalam KBBI (1998) di atas, budi pekerti diartikan dengan akhlak. Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut bahasa diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.<br />Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari<br />Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :<br />Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.<br />Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.<br />Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.<br />Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara<br />Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.<br /><br />F. METODOLOGI PENELITIAN<br />1. Lokasi dan Waktu Penelitian<br />Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat, khususnya keluarga yang berada di wilayah Rw. 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang, mereka yang mempunyai anak yang masih sekolah.<br />Adapun waktu penelitiannya selama enam bulan setelah disyahkannya proposal ini.<br />2. Metode Penelitian<br />Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang berusaha untuk meyajikan data dan fakta-fakta yang sesungguhnya tentang peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam dengan menyebarkan angket (kuesioner) kepada responden di tempat diadakan penelitian.<br />Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang didasarkan pada data atau informasi yang diperoleh melalui penelitian sebagai berikut:<br />Field Research yaitu mengumpulkan data-data dengan jalan meneliti langsung ke objek yang bersangkutan (turun ke lapangan)<br />Library Research yaitu mengumpulkan data-data dan fakta-fakta dengan meneliti dari beberapa buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.<br />3. Populasi dan Sampel Penelitian<br />Menurut Margono (2003: 1998) populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Sedangkan sampel adalah sebagian kecil atau wakil dari populasi yang diteliti, atau sampel adalah bagian dari populasi.<br />Dalam penelitian ini penulis nanti akan membatasi populasinya hanya pada kepala keluarga Rt. 03, 04, 06 dan 08 yang memiliki anak yang masih bersekolah. Jumlah kepala keluarga Rt. 03, 04, 06 dan 08 berjumlah 250 kepala keluarga, dengan rincian kepala keluarga Rt. 03 berjumlah 56 KK, Rt. 04 berjumlah 100 KK, Rt. 06 berjumlah 54 KK dan Rt. 08 berjumlah 54 KK. Jadi populasi penelitian yaitu sebanyak 250 Kepala keluarga.<br />Adapun yang menjadi sampel pada penelitian ini, penulis mengambil sampel sebanyak 20% dari 250 Kepala keluarga. Jadi sampel yang diambil sebanyak 50 kepala keluarga.<br />4. Tehnik Pengumpulan Data<br />Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan berbagai macam metode dan teknik pengumpulan data yang tepat. Tujuannya agar diperoleh data yang obyektif. Adapun teknik pengumpulan data tersebut antara lain:<br />A. Penelitian Kepustakaan (Library Research)<br />Setiap penelitian ilmiah akan banyak bersandarkan dan ketergantungan kepada kepustakaan. Dan seperti yang dimaklumi bahwa hasil penelitian yang sudah ada belumlah bersifat final, artinya masih terbuka kesempatan bagi orang lain untuk mengoreksi dan bila perlu menguji kembali hasilnya agar ada kesempurnaan. Untuk dapat mempersoalkannya harus betul-betul mendalami mengenai tulisan-tulisan dari kepustakaan.<br />B. Penelitian Lapangan<br />Untuk memperoleh data yang obyektif berdasarkan kebenaran yang terjadi di lapangan, penulis nanti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya:<br />a. Observasi<br />Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sebagai alat pengumpulan data dapat dilakukan secara spontan dapat pula dengan daftar isian yang telah disiapkan sebelumnya (Subagyo, 2004: 63)<br />Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut. Bagi pelaksana atau petugas atau disebut sebagai observer bertugas melihat obyek dan kepekaan mengungkap serta membaca permasalahan dalam momen-moment tertentu dengan dapat memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan.<br />Dengan observasi kita ingin mengetahui kebenaran pandangan teoritis tentang masalah yang kita selidiki dalam hubungannya dengan dunia kenyataan.<br />b. Wawancara<br />Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Tujuan wawancara ialah untuk mengumpulkan informasi dan bukannya untuk merubah ataupun mempengaruhi pendapat responden (Achmadi, 2004:83)<br />Sejalan dengan pentingnya wawancara di dalam melakukan survai, peranan pewawancara sangatlah penting. Meskipun daftar pertanyaan telah lanjut dibuat dengan sempurna oleh para peneliti, namun tetap kuncinya terletak pada pewawancara. Penulis akan melakukan wawancara langsung kepada ketua wilayah Rw. 01.<br /><br /><br />c. Angket<br />Angket adalah suatu daftar yang bersisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti. Untuk memperoleh data, angket disebarkan kepada responden, terutama pada penelitian survai. Angket bertujuan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi mengenai suatu masalah secara serentak (Achmadi, 2004:96)<br />Angket dapat disebarluaskan sesuai keperluan pada setiap responden dalam waktu relatif singkat dengan mengerahkan seluruh jajaran peneliti untuk membagikannya secara langsung. Angket yang nantinya diisi oleh para orang tua yang mempunyai anak yang masih sekolah.<br />5. Tehnik Analisa Data<br />Agar data yang terkumpul dapat terbaca dan penelitian ini dapat dipercaya, maka data tersebut harus dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan. Adapun teknik analisa data yang digunakan adalah deskriptif analisis karena data yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak bersifat kualitatif maka dengan sendirinya dalam penganalisaan data-data penulis lebih banyak menganalisa.<br />Metode analisa data yang digunakan adalah:<br />1. Analisa Kualitatif<br />Analisa kualitatif dilakukan terhadap data baik berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kualitatif dikemukakan dalam bentuk kalimat sehingga nantinya dapat diambil kesimpulan. Yang dianalisa adalah data tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga yang bersumber dari observasi, wawancara, dan angket.<br />2. Analisa Kuantitatif<br />Penelitian kuantitatif selalu berbicara variabel. Variabel adalah perubahan-perubahan perilaku yang dapat diukur. Kuantitatif adalah data tentang fenomena yang hanya bisa dijelaskan dan ditransformasikan ke angka. Analisa kuantitatif yaitu analisa yang dilakukan terhadap data yang berwujud angka dengan mengklasifikasikan, mentabulasikan dan dilakukan perhitungan dengan menggunakan statistik sederhana untuk memperoleh hasil penelitian. Untuk data kuantitatif penulis menggunakan perhitungan prosentase dari hasil angket. Hasil penelitian disajikan dengan menggunakan frekuensi distribusi dan prosentase dengan rumus perhitungannya:<br />Keterangan:<br />P = F X 100 %<br /> N<br />Keterangan:<br />P = Angka persentasi<br />F = Frekuensi jawaban responden<br />N = Jumlah frekuensi<br />Untuk mengukur tinggi rendahnya peranan keluarga dalam pelaksanaan pendidikan agama di Rw. 01 Desa Rancahilir Pamanukan Subang, maka<br />penulis memilih ketentuan dengan kriteria sebagai berikut:<br />Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 90%-100%, ini berarti baik sekali.<br />Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 70%-80%, ini berarti baik.<br />Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B mencapai 50%-60%, ini berarti sedang atau cukup.<br />Apabila jawaban orang tua yang memilih jawaban A dan B kurang dari 50%, ini berarti kurang.<br />6. Validasi dan Reliabilitas<br />Agar nilai kebenaran secara ilmiahnya dapat teruji serta memiliki nilai keajegan, maka dalam penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas atas data yang ditemukan di lapangan. Adapun teknik yang digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini adalah triangulasi dan member check.<br />Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara dan membandingkan informasi yang diperoleh dengan hasil wawancara dan membandingkan informasi yang diperoleh dari pihak sekolah dengan pihak keluarga.<br />Sementara yang dimaksud member check dalam penelitian ini dalah suatu tahap uji kritis terhadap data sementara yang diperoleh dari subjek penelitian sesuai dengan data yang ditampilkan subjek. Member check dilakukan dengan cara mengoreksi, merubah dan memperluas data tersebut sehingga menampilkan kasus terpercaya.<br />G. Sistematika Laporan Penelitian<br />Penelitian ini dilaporkan dengan sistematika penulisan di bawah ini:<br />BAB I, Pendahuluan. Terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan laporan.<br />BAB II, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga serta Implikasinya Terhadap Penanaman Nilai Budi Pekerti Anak. Di dalamnya terdapat: Pengertian keluarga, fungsi keluarga dan lingkungan keluarga, pengertian pendidikan agama Islam, tujuan pendidikan agama Islam, kedudukan pendidikan agama Islam, tujuan pendidikan agama Islam, pentingnya pendidikan agama dalam keluarga, pengertian nilai, pengertian budi pekerti, dan implementasi pendidikan agama Islam dalam keluarga.<br />BAB III, Metode Penelitian. Meliputi: waktu dan lokasi penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta validasi dan reliabilitas.<br />BAB IV, Pengolahan Data dan Pembahasan Hasil Penelitian. Meliputi: proses pengolahan data, analisis data, rangkuman hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.<br />BAB V, Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi.<br /><br />H. DAFTAR PUSTAKA<br />Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan sekolah dan keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1978<br />Amini, Ibrahim, Agar tidak Salah Mendidik Anak, Jakarta: Al Huda, 2006<br />Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bima Aksara1998<br />Al-Abrasy, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993<br />Al Hasan, Yusuf Muhammad, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Darul Haq, 1998<br />Alwasilah, A. C., Pokoknya Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya, 2008<br />Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002<br />Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: CV Ruhama, 1995<br />_______________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991<br />Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1989<br />Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1996<br />Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003<br />Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Yogyakarta: Al Husna Press, 1994<br />Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004<br />Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995<br />______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992<br />Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2004<br />Nasution, S. Metode Research (Penelitian ilmiah), Jakarta: Bumi Aksara, 2003<br />Rakhmat, Jalaluddin, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994<br />________, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005<br />Shaleh, Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000<br />Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka cipta: 2004<br />Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999<br /><br /><br />PEDOMAN ANGKET<br /><br />1. Sejak kapan Anda memperhatikan pendidikan agama Islam untuk anak Anda?<br />a. Sejak Lahir<br />b. Ketika SD<br />c. Ketika SMP<br />d. Ketika SMA<br />2. Apakah Anda mengajarkan pendidikan agama Islam kepada anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />3. Apakah Anda selalu memberikan contoh teladan yang baik pada anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />4. Apakah Anda selalu mencerminkan sikap yang baik kepada anak ketika di rumah dan di luar rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />5. Apakah Anda selalu menegur dan menasehati anak ketika melakukan hal yang buruk baik di rumah maupun di luar rumah?<br />a. Selalu menegur<br />b. Sering menegur<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />6. Apakah Anda selalu mengarahkan anak untuk bersikap baik ketika di rumah atau di luar rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />7. Apakah Anda menyiapkan fasilitas pendidikan yang memadai kepada anak?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />8. Apakah Anda memberikan motivasi dan semangat belajar anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />9. Apakah Anda mengadakan diskusi keagamaan bersama anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />10. Apakah anak Anda mengikuti kursus tambahan baik di rumah/di sekolah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />11. Apakah Anda mengontrol kegiatan ibadah anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />12. Apakah Anda menegur anak apabila tidak shalat?<br />a. Selalu menegur<br />b. Sering menegur<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah menegur<br />13. Bagaimana Anda Mendidik ibadah shalat dan puasa?<br />a. Melalui contoh teladan<br />b. Melalui pembiasaan<br />c. Melalui buku bacaan<br />d. Melalui guru agama<br />14. Apakah Anda melakukan pembiasaan melakukan shalat berjamaah dengan anak-anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />15. Apakah Anda selalu menanamkan sikap disiplin kepada anak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br /><br />16. Apakah Anda memberikan pengawasan terhadap kegiatan kegiatan belajar anak di rumah maupun di luar rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />17. Apakah Anda selalu menanamkan pendidikan akhlak di rumah?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />18. Bagaimana minat anak terhadap pendidikan agama Islam?<br />a. Sangat berminat<br />b. Berminat<br />c. Kurang berminat<br />d. Tidak berminat<br />19. Bagaimana pendapat Anda (anak) tentang pendidikan agama Islam?<br />a. Sangat penting<br />b. Penting<br />c. Kurang penting<br />d. Tidak penting<br />20. Bagaimana sikap anak ketika di rumah dan di luar rumah?<br />a. Sangat baik<br />b. Baik<br />c. Kurang baik<br />d. Tidak baik<br /><br />21. Apakah setelah memperoleh pendidikan agama Islam anak akan bersikap baik dan patuh pada Anda?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />22. Apakah setelah setelah memperoleh pendidikan agama islam anak akan bersikap baik, hormat, tidak bertengkar dan saling menghargai sesama kerabat?<br />a. Selalu<br />b. Sering<br />c. Kadang-kadang<br />d. Tidak pernah<br />23. Apakah anak rajin melaksanakan ajaran agama seperti shalat, puasa, dan mengaji?<br />a. Sangat rajin<br />b. Rajin<br />c. Kurang rajin<br />d. Tidak rajin<br />24. Apakah anak rajin belajar dan mengerjakan tugasnya sendiri?<br />a. Sangat rajin<br />b. Rajin<br />c. Kurang rajin<br />d. Tidak rajin<br />25. Bagaimana kemampuan anak membaca al-Qur’an?<br />a. Sangat baik<br />b. Baik<br />c. Kurang baik<br />d. Tidak baik<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-57140195765441612082009-06-28T09:26:00.000-07:002009-06-28T09:38:55.847-07:00Makalah Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga<div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center; font-weight: bold;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /></div>A. Latar Belakang Masalah<br />Masalah degradasi moral sumber daya manusia Indonesia perlu segera mendapat penanganan khusus. Hal ini berhubungan dengan masalah kesiapan bangsa kita dalam menyongsong era globalisasi. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut adalah melalui pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai, dan pihak pertama yang paling cocok memberikan pendidikan budi pekerti adalah keluarga.<br />Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan begitupun sebaliknya. Keluarga memberikan dasar-dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, budi pekerti dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Soenarjo, 1989 : 951)<br /> Berdasarkan ayat tersebut menjadi tanggung jawab para orangtua untuk selalu menjaga dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang patuh dan taat kepada Allah SWT.<br />Kartini Kartono (1992 : 19) menjelaskan bahwa di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat seorang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan keluarga. Sedangkan perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Oleh karena itu keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan memikul tanggug jawab yang besar terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak sampai ia menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.<br />Peranan sebagai pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan kehidupan keluarga. Satuan pendidikan ini menurut Djaludin Rachmat (1993 : 23) meliputi pembinaan hubungan dalam keluarga, pemeliharaan dan kesehatan anak, pengelolaan sumber-sumber serta sosialisasi anak.<br />Menurut Winarno Surakhmad (1986 : 7) interaksi yang terjadi dalam situasi edukatif itu adalah ”interkasi edukatif.” Yakni interkasi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. Hal inilah yang membedakan dari bentuk interkasi yang lainnya. Sardiman AM. (1992 : 1) menyebutnya dalam arti yang lebih spesifik dalam bidang pengajaran yang dikenal dengan istilah ”interakasi belajar-mengajar”.<br />Dari rumusan-rumusan tersebut dapat dipahami, bahwa istilah interaksi edukatif yang sebenarnya adalah adanya komunikasi timbal baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain yang mengandung maksud tertentu, yakni untuk mencapai pengertian bersama yang kemudian untuk mencapai tujuan. Itulah maka interaksi edukatif disebutnya sebagai interaksi yang disengaja, terarah pada tujuan. Dan pada sisi lainnya dapat dipahami pula, bahwa walaupun dalam sehari-harinya manusia tidak melepaskan dari adanya interaksi, akan tetapi terkadang sulit ditentukan sebagai interaksi edukatif. Sehingga dapat dikatakan juga, bahwa apabila yang secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak ke arah kedewasaan. Jadi yang terpenting bukan secara simbol dari interaksinya, akan tetapi adanya maksud atau tujuan yang mengantarkan dalam berlangsungnya interaksi tersbut. Maka kegiatan itu menjadi direncana dan disengaja.<br /> Permasalahannya adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi pekerti bagi anggota keluarganya. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis tanpa masalah. Oleh sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi riil keluarga di Indonesia. Dimana ada keluarga yang sudah cukup harmonis, ada keluarga bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi pendidikan budi pekerti secara efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk memperhatikan anak-anaknya, keteladanan, dan komunikasi aktif. Sedangkan niali budi pekerti yang dapat diberikan dalam keluarga adalah nilai kerukunan, ketaqwaan dan keimanan, toleransi, dan kepribadian sehat.<br /> Jika seseorang telah memiliki dasar budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungan sekitar. Dengan demikian peran keluarga dalam pendidikan budi pekerti sangatlah besar.<br /> Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas Implementasi Pendidikan Budi Pekerti Dalam Keluarga.<br />B. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis mencoba merumuskannya ke dalam beberapa kalimat pertanyaan, sebagai berikut:<br />1. Bagaimana Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?<br />2. Bagaimana implementasi Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?<br />C. Tujuan Penulisan<br /> Makalah ini bertujuan untuk mengungkap implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.<br />D. Sistematika Penulisan<br />Penulisan makalah ini terdiri dari:<br />BAB I. Pendahuluan; terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan masalah.<br />BAB II. Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga (PNBP); dalam bab ini di ulas pengertian pendidikan nilai budi pekerti, pengertian keluarga, peran dan fungsi keluarga, tujuan PNBP dalam keluarga, dan metode PNBP.<br />BAB III. Pembahasan; Implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.<br />BAB IV. Penutup; terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.<br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB II</span><br /><span style="font-weight: bold;">PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA</span><br /></div><br />Pengertian Pendidikan Nilai Budi Pekerti dalam Keluarga<br />Sebelum mengemukakan pengertian term di atas, sebaiknya kita pahami dulu pengertiannya masing-masing.<br />Pengertian Pendidikan<br />Karena sifatnya yang kompleks, maka tidak ada sebuah definisi yang memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungan isinya berbeda-beda sesuai dengan konsep, orientasi atau nilai philosofis yang mendasarinya. Namun demikian, dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa pengertian tentang pendidikan yang berbeda-beda untuk kemudian dibuat kesimpulannya. Berdasarkan fungsinya Tirtaraharja dan La Sulo [2003:33-37], menyatakan:<br />Pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Dalam hal ini pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.<br />Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.<br />Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara. Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.<br />Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.<br /> Sedangkan Tilaar dan Nugroho [2008: 27-38] mengemukakan tentang pendidikan adalah sebagai berikut:<br />1. Pendidikan sebagai transmisi kebudayaan. Pendidikan dinilai sebagai proses mentransmisikan nilai-nilai budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya.<br />2. Pendidikan sebagai pengembangan kepribadian, tujuannya agar manusia mengembangkan kepribadiannya di dalam pengertian etis sehingga dia bukan hanya dapat berkembang tetapi juga dapat menyumbangkan sesuatu yang berharga untuk masyarakatnya.<br />3. Pendidikan sebagai pengembangan akhlak mulia serta religius, dimana dalam hal ini pendidikan ditujukan untuk mengarahkan manusia/peserta didik mempunyai akhlak yang mulia dan bersikap relegius.<br />4. Pendidikan sebagai mempersiapkan pekerja-pekerja yang terampil dan produktif.<br />5. Pendidikan adalah pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya.<br />6. Pendidikan sebagai proses pembentukan manusia baru.<br />Sebagai perbandingan perlu juga ditilik pengertian tentang pendidikan berdasarkan 2 [dua] Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional [UUSPN] dimana yang kedua merupakan hasil dari revisi yang pertama; UUSPN No. 2 tahun 1989, Bab I, pasal. 1 ayat [1], menyatakan:<br />“Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.<br />Adapun UUSPN No. 20 tahun. 2003 , Bab. I, pasal 1 ayat [1], menyatakan:<br />“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”.<br />Apabila kita cermati, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan berdasarkan UUSPN yang terakhir merupakan reformulasi yang lengkap dari UUSPN sebelumnya dan dari kedua pendapat para pakar pendidikan di atas. Jadi dalam makalah ini, pengertian pendidikan akan mengacu kepada UUSPN yang telah direvisi tersebut.<br /><br />Pengertian Nilai<br />Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosop dan ahli pendidikan nilai berkaitan dengan pengertian Nilai. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang nilai:<br />1. A value is an idea –a concept- abaout what some one think is important in life (Fraenkel, 1977:60).<br />2. Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar dan adil (Djahiri, 1089:36).<br />3. Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).<br />Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama. Jadi, sebenarnya perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dimaksud.<br />Rumusan definisi Nilai nampaknya dipengaruhi oleh sudut pandang para tokoh, namun yang jelas bahwa Nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap orang baik disadari atau tidak. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih prilaku apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Sebagai standar, Nilai membantu seseorang menentukan apakah ia suka terhadap sesuatu atau tidak. Dan ketika suatu objek, dilihat dari sudut pandang Nilai sudah baik, atau diyakini baik, maka musti ada upaya untuk membumikannya melalui pendidikan, yang namanya Pendidikan Nilai.<br />Pendidikan Nilai telah menjadi bagian integral proses pendidikan, sejak diakuinya proses pendidikan informal menjadi bagian sistem pendidikan kita. Oleh karena itu berbagai usaha telah dilakukan untuk menjelaskan peran yang seharusnya dimainkan “Nilai”tersebut dalam sistem pendidikan masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut baru terlihat secara sungguh-sungguh pada abad ke-20, dimana Pendidikan Nilai telah dipelajari sebagai suatu “disiplin”, tidak lebih dari setengah abad setelah itu muncul berbagai literatur dan penelitian empiris yang mengkaji serius bidang ini.<br />Dalam berbagai literatur, istilah Pendidikan Nilai dan Pendidikan Moral sering digunakan untuk kepentingan yang sama, hal ini didasari karena eratnya hubungan antara kedua bidang pendidikan tersebut. Karena itu, Pendidikan Nilai dipandang sebagai pendidikan yang mempertimbangkan obyek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, yang meliputi estetika yaitu menilai obyek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi [Hakam, 2008:5].<br />Pengertian Budi Pekerti<br />Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah, 2007:17). Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat.<br />Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.<br />Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.<br />Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.<br />Berdasarkan pengertian dalam KBBI (1998) di atas, budi pekerti diartikan dengan akhlak. Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut bahasa diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.<br />Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari<br />Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :<br />Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.<br />Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.<br />Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.<br />Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara<br />Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.<br />Pengertian Keluarga<br />Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Peter Murdock, 1949).<br />Pengertian-pengertian lainnya sebagai berikut:<br />Keluarga (bahasa) berasal dari dua struktur kata, yakni kata kula dan warga. Kula berarti abdi atau hamba. Warga berarti anggota. (Hidayat Y.,2008: 31)<br />Keluarga adalah sanak saudara yang bertalian darah karena faktor keturunan yang dihasilkan atas dasar perkawinan. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1980: 471)<br />Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu orang tua (keluarga) mempunyai peranan yang dominan dalam pengembangan kesadaran beragama anak. (Yusuf LN, 2008: 41)<br />Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)<br />Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)<br />Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.<br />Menurut Amini (107: 2006), keluarga adalah orang-orang yang secara terus menerus atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga, diantara mereka disebabkan mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang menyebabkan si anak terlahir ke dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak. Menjadi ayah dan ibu tidak hanya cukup dengan melahirkan anak, kedua orang tua dikatakan memiliki kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh dalam mendidik anak mereka. Islam menganggap pendidikan sebagai salah satu hak anak, yang jika kedua orang tua melalaikannya berarti mereka telah menzalimi anaknya dan kelak pada hari kiamat mereka dimintai pertanggung jawabannya.<br />Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak. Masing-masing unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga, sehingga bila salah satu unsur tersebut hilang maka keluarga tersebut akan guncang atau kurang seimbang. Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia prasekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya. Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.<br />Pengertian Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga<br />Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.<br />Adapun pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.<br />Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional<br />Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.<br />Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual social).<br />Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan serta keteladanan.<br />Pengertian secara Operasional<br />Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap tuhan dan sesame makhluk.<br /> Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.<br />Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dalam keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga untuk menjadikan angota-anggota keluarga sebagai manusia atau pribadi-pribadi yang memiliki kepribadian yang utuh, bertingkah laku baik dan berakhlak mulia. Sehingga menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik.<br />B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai Budi Pekerti<br />Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142).<br />Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992).<br />Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa” (Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga.<br />Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Kaswanti Purwo, 1990:101-103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.<br />Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak (Gordon,1984; 6). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orangtuanya.<br />Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orangtua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidakharmonisan hubungan antara orangtua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar (Gordon,1984 : 1-9).<br />Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orangtua mereka.<br />Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai budi pekerti, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28). Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.<br />Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi. Pertama, keluarga harmonis, yaitu keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah, yaitu keluarga yang memiliki masalah, baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal, yaitu keluarga yang mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah.<br />Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi”.7 Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto, mempunya 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:<br />a. Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.<br />b. Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).<br />c. Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.s<br />d. Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan hingga ke perguruan tinggi.<br />e. Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.<br />f. Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.<br />g. Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi. Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain. Menurut Ahmadi (89: 1998), ia menambahkan satu fungsi keluarga selain ketujuh fungsi di atas yaitu fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi adalah keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan manusia yang pokok, diantaranya kebutuhan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya dan kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan. pokok ini maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal. Dari berbagai fungsi keluarga yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Karena sangat berpengaruh sekali kepada anak apabila ia tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, dalam rangka:<br />Memelihara dan membesarkan anaknya.<br />Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.<br />Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.<br />Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.<br />C. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga<br />Secara ekplisit, penulis belum menemukan tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga. Namun berdasarkan pada literatur-literatur yang telah dibaca ada beberapa tujuan yang bisa dikemukakan sebagai berikut:<br />Membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.<br />Dalam literature Islam disebutkan bahwa tujuan pendidikan tersebut dalam keluarga adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, yang anggota keluarganya bahagia dunia dan akhirat serta terhindar dari siksaan api neraka. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”<br />D. Metode dan Pendekatan<br />Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia dini.Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan pendekatan.<br />Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya terletak pada cara kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu merupakan suatu rangkaian yang teratur dan telah diperhitungkan serta teruji kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 45)<br />Di bawah ini akan dikemukakan beberapa teori dalam penyampaian materi pendidikan budi pekerti:<br />Teori Perkembangan Kognitif Piaget<br />Perkembangan kognitif ini berkaitan erat dengan perkembangan moral seseorang. Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap, yaitu sensori motor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.<br />Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.<br />Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.<br />Tahap operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.<br />Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik.<br /><br />Tahap Perkembangan Moral Kohlberg<br /> Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:<br />Orientasi pada hukuman dan ketaatan<br />Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.<br />Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)<br /> Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan kewajaran.<br />Orientasi anak manis<br /> Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.<br />Berdasarkan dua teori pakar di atas, maka pendidikan budi pekerti harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan pribadi anak. Dalam hal ini bisa dikategorikan dalam beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:<br />Masa usia balita (bayi di bawah lima tahun)<br />Metode yang paling cocok dalam masa ini adalah metode keteladanan dan sedikit penjelasan. Maksudnya kegiatan yang dilakukan oleh orangtua yang dapat dijadikan model bagi anak. Dalam hal ini orangtua berperan langsung sebagai contoh atau teladan bagi anak. Segala sikap dan tingkah laku orangtua, baik di rumah atau di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya cara makan, cara minum, cara berpakaian, bertutur kata dengan baik dan sebagainya.<br />Usia 5-7 tahun (usia anak TK)<br />Adapun metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia ini sangatlah bervariasi, di antaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.<br />Bercerita<br />Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Hidayat, 2005:12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita orangtua harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, di antaranya: a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelas, b. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anak, c. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28). Dalam bercerita orangtua juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu orangtua juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian anak. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya : a. membaca langsung dari buku cerita atau dongeng, b. Menggunakan ilustrasi dari buku, c. Menggunakan papan flannel, d. Menggunakan media boneka, e. Menggunakan media audio visual, f. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005: 87).<br />Bernyanyi<br />Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini. Bernyanyi jika digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang, b. Mudah dihafal oleh anak, c. Ada misi pendidikan, d. Sesuai dengan karakter dan dunia anak, e. Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 28).<br />Bersajak<br />Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak pada usia ini sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya. Melalui metode sajak orangtua bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Di samping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)<br />Karya wisata<br />Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran. Kedua, karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang. Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan kelompok. Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB III</span><br /><span style="font-weight: bold;">PEMBAHASAN</span><br /><span style="font-weight: bold;">IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA</span><br /></div><br />A. Implementasi Pendidikan Anak Dalam Keluarga<br />Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan nilai budi pekerti secara esensial sama dengan pendidikan akhlak. Untuk itu, dalam bab ini penulis ingin mengemukakan pendidikan anak dalam keluarga menurut pendekatan agama, khususnya agama Islam. Pendidikan nilai budi pekerti/akhlak dalam keluarga terjadi pada masa pemilihan pasangan hidup, pembinaan keluarga, pada masa kehamilan, pada masa kelahiran, pada masa anak-anak, dan pada masa remaja. Berikut penjelasannya:<br /> 1. Pemilihan Pasangan Hidup (Suami/Istri)<br /> Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalehah Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda: "Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim)<br />Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar"<br />Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.<br />Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?<br /><br />a. Kriteria Memilih Calon Istri<br />Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :<br />1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.<br />Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi).<br />Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)<br />Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)<br />Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya : “Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)<br />Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)<br />2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.<br />Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda: Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)<br />Penyayang berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang yang banyak anak adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :<br />a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.<br />b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.<br />3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.<br />Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”<br />4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.<br />Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.<br />b. Kriteria Memilih Calon Suami<br />1. Islam.<br />Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221).<br />2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.<br />Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).<br />Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)<br />Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.<br />Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)<br />Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki : “Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”<br />Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.<br />2. Memperhatikan Anak Ketika Sebelum Kelahiran dan Ketika Mengandung<br />Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".<br />Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil" (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: "Isnad hadits inijayyid' )<br />Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.<br /> 3. Memperhatikan Anak Setelah Melahirkan<br /> Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:<br />1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.<br />Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah 'Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam bersama malaikat: "Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya 'qub. " (Surah Hud : 71).<br />Adapun tahni'ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu 'Anha: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo'akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu)" (Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).<br />2. Menyerukan adzan di telinga bayi.<br />Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu menuturkan: "Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah" (Hadits riwayat Abu Dawud dan AtTirmidzi).<br />Hikmahnya, Wallahu A'lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pemyataan hadits: "Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan" (Ibid)<br />3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).<br />Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis(seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan: "Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo'akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku". Tahnik mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: "Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu'jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:<br />a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).<br />b. Jika suhu badannya menurun ketika terkena udara dingin di sekelilingnya."'<br />4. Memberi nama.<br />Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats'ami bahwa Rasulullah bersabda: "Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta'ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah" (HR.Abu Daud An Nasa'i) Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek, nenek,atau selain mereka.<br />Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: "Semoga mudah urusanmu" Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41).<br /><br />5. Aqiqah.<br />Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)<br />Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha,bahwaRasulullah bersabda: "Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing" (HR. Ahmad dan Turmudzi). Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja, Wallahu A'lam.<br />Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.<br />6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.<br />Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)<br />Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun mempunyai faedah yang jelas. Diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya: "Fatimah Radhiyalllahu 'anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa')<br />7. Khitan.<br />Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah bersabda: "Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak" (HR. Al-bukhari, Muslim)<br />Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA'lam. Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.<br />4. Pendidikan Anak Usia Enam Tahun<br /> Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.) Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini. Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:<br />1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.<br />Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. "Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak." (Muhammad Quthub, Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.). Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.<br />2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.<br />Penulis kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini. Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.<br />3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.<br />Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. "Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak. Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya." (Ibid.)<br />4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.<br />Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Izuddin Al Bayanuni, MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)·<br />Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.<br />Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.<br />Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan tidur dengan miring ke kanan.<br />Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.<br />Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.<br />Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.<br />Dilarang bermain dengan hidungnya.<br />Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.<br />Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.<br />Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.<br />Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.<br />Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.<br />Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.<br />Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.<br />Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.<br />Dibiasakan membaca "Alhamdulillah" jika bersin, dan mengatakan "Yarhamukallah" kepada orang yang<br />bersin jika membaca "Alhamdulillah".<br />Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.<br />Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.<br />Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).<br />Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.<br />Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.<br />Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.<br />Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan "Assalamu'Alaikum" serta membalas salam orang yang mengucapkannya.<br />Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.<br />Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.<br />Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.<br />Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.<br />Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.<br />Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lainlainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.<br />Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.<br />5. Pendidikan Anak Setelah Usia Enam Tahun Pertama<br />Pada periode ini anak menjadi lebih siap untuk belajar secara teratur. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung. Oleh sebab itu, masa ini termasuk masa yang paling penting dalam pendidikan dan pengarahan anak. Kita, Insya Allah, akan membicarakan tentang aspek-aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh para pendidik pada periode ini. Yaitu:<br />1. Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana.<br />Pada periode ini dikenalkan kepada anak tentang Allah 'Azza Wajalla dengan cara yang sesuai dengan pengertian dan tingkat pemikirannya. Diajarkan kepadanya:<br />Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya.<br />Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi, manusia, hewan, pohon-pohonan, sungai dan lain-lainnya. Pendidik dapat memanfaatkan situasi tertentu untuk bertanya kepada anak, misalnya ketika bejalan-jalan di taman atau padang, tentang siapakah Pencipta air, sungai,bumi,pepohonan dan lain-lainnya, untuk menggugah perhatiannya kepada keagungan Allah.<br />Cinta kepada Allah, dengan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah untuknya dan untuk keluarganya. Misalnya, anak ditanya: Siapakah yang memberimu pendengaran, penglihatan dan akal? Siapakah yang memberimu kekuatan dan kemampuan untuk bergerak? Siapakah yang memberi rizki dan makanan untukmu dan keluargamu? Demikianlah, ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dan dianjurkan agar cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini. Metode ini disebutkan dalam Al Qur'an, dalam banyak ayat Allah menggugah minat para hamba-Nya agar memperhatikan segala nikmat yang dikaruniakan-Nya, seperti firman-Nya: "Tidakkah kamu perhatian sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempumakan untukmu nikmatnya lahir dan batin..."(Surah Luqman : 20).<br />2. Pengajaran sebagian hukum yang jelas dan tentang halal-haram.<br />Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hokum-hukum, thaharah (bersuci) dan pelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal yang haram, dusta, adu domba, mencuri dan melihat kepada yang diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah sebagaimana orang dewasa dan dicegah dari apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa, sehingga anak akan tumbuh demikian dan menjadi terbiasa. Karena bila semenjak kecil anak dibiasakan dengan sesuatu, maka kalau sudah dewasa akan menjadi kebiasaannya. Agar diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak, sebagaimana kata Sufyan Al Tsauri: "Seorang bapak harus menanamkan ilmu pada anaknya, karena dia penanggung jawabnya." (Muhammad Hasan Musa, Nuzharul Fudhala' Tahdzib Siar A'lamin Nubala :Juz 1.)<br />3. Pengajaran baca Al Qur'an.<br />Al Qur'an adalah jalan lurus yang tak mengandung suatu kebatilan apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al Qu~an dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya agar mengbafal Al Qur'an atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan melalui berbagaicara. Karena itu, kedua orangtua bendaklah berusaha agar putera puterinya masuk pada salah satu sekoiah tahfizh Al Qur'an; kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satu halaqah tahfizh. Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Barang siapa membaca Al-Quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari kiamat mengenakan kepada keda orang tuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini". Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh Al Qur'an bagi anak-anak mereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyi menceritakan kepada kita tentang imam AnNawawi, Rahimahullah, katanya: "Aku melihat beliau ketika masih berumur 10 tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan iapun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al Qur'an. Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau bejualan dan menyibukkan diri dengan AlQur'an. Maka aku datangi gurunya dan berpesan kepadanya bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat bagi umat manusia. Ia pun berkata kepadaku: Tukang ramalkah Anda? Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya, sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai dapat khatam Al Qur'an ketika menginjak dewasa."<br />4. Pengajaran hak-hak kedua orangtua,<br />Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat baik kepada kedua orangtua, sehingga terdidik dan terbiasa demikian. Anak sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hak orangtua disebabkan karena kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik anak dan tidak membiasakannya berbuat kebaikan sejak usia dini. Firman Allah Ta'ala : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesanyangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Surah Al-Isra': 23-24).<br />Diriwayatkan dari Abu HurairahRadhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi bersabda: "Terhinalah, terhinalah, dan terhinalah seseorang yang mendapatkan salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya berusia lanjut, tetapi tidak dapat masuk surga".<br />5. Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.<br />Tokoh teladan kita yang utama yaitu Rasulullah Shallallahualaihi wasalam, kemudian para sahabat yang mulia Radhiallahu 'Anhum dan pengikut mereka dengan baik yang menjadi contoh terindah dalam segala aspek kehidupan. Maka dikenalkan kepada anak tentang mereka, diajarkan sejarah dan kisah mereka supaya meneladani perbuatan agung mereka dan mencontoh sifat baik mereka seperti keberanian, keprajuritan, kejujuran, kesabaran, kemuliaan, keteguhan pada kebenaran dan sifat-sifat lainnya. Kisah atau kejadian yang diceritakan kepada anak hendaklah sesuai dengan tingkat pengertiannya, tidak membosankan, dan difokuskan pada penampilan serta penjelasan aspek-aspek yang baik saja sehingga mudah diterima oleh anak.<br />6. Pengajaran etiket umum.<br />Seperti etiket mengucapkan salam dan meminta izin, etiket berpakaian, makan dan nninum,etiket berbicara dan bergaul dengan orang lain. Juga diajarkan bagaimana bergaul dengan kedua orangtua, sanak famili yang tua, kolega orangtua, guru-gurunya, kawan-kawannya dan teman sepermainannya. Diajarkan pula mengatur kamamya sendiri, menjaga kebersihan rumah, menyusun alat bermain, bagaimana bermain tanpa mengganggu orang lain dan bagaimana bertingkah laku di masjid dan disekolahan. Pegajaran berbagai hal di atas dan juga lainnya pertamatama harus bersumber kepada Sunnah Rasulullah , lalu peri kehidupan para salaf yang shaleh, kemudian karya tulis para pakar dalam bidang pendidikan dan tata pergaulan.<br />7. Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak.<br />Anak-anak sekarang ini adalah pemimpin hari esok. Karena itu, harus dipersiapkan dan dilatih mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang nantinya akan mereka lakukan. Hal itu bisa direalisasikan dalam diri anak melalui pembinaan rasa percaya diri, penghargaan jati dirinya, dan diberikan kepada anak kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dan apa yang terbetik dalam pikirannya, serta diberikan kepadanya dorongan agar mengerjakan urusannya sendiri, bahkan ditugasi dengan pekejaan rumah tangga yang sesuai untuknya. Misalnya, disuruh untuk membeli beberapa keperluan rumah dari warung terdekat; anak perempuan diberi tugas mencuci piring dan gelas atau mengasuh adik. Pemberian tugas kepada anak ini bertahap sedikit demi sedikit sehingga mereka terbiasa mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang sesuai bagi mereka. Termasuk pemberian tanggung jawab kepada anak, ia harus menanggung resiko perbuatan yang dilakukannya. Maka diajarkan kepada anak bahwa ia bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya serta dituntut untuk Anak dalam Islam untuk memperbaiki apa yang telah dirusaknya dan meminta maaf atas kesalahannya. Seorang anak jika terdidik untuk percaya diri akan mampu mengemban tanggung jawab yang besar.<br />6. Pendidikan Anak Pada Masa Remaja<br />Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa baligh.Karena itu, para pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah-masalah berikut dalam menghadapi remaja:<br />1. Hendaknya anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah dewasa karena ia sendiri menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi.<br />2. Diajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram.<br />3. Diberikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar.<br />4. Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.<br />B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak<br />Berikut ini sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para pendidik. Semoga Allah memberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan menunjukkan kita kepada kebenaran.<br />1. Ucapan pendidik tidak sesuai dengan perbuatan.<br />Ini merupakan kesalahan terpenting karena anak belajar dari orangtua beberapa hal. tetapi ternyata bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah Azza Wa Jalla mencela perbuatan ini dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (SurahAshShaff:2-3). Bagaimana anak akan belajar kejujuran kalau ia mengetahui orang tuanya berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah sementara ia melihat bapaknya menipu ? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila orang sekitamya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?<br />2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.<br />Kadangkala seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orangtua. Tetapi akibatnya sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan dan mengancam. Anak akhimya menjadi bingung mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya. Dengan pengertiannya yang masih terbatas, ia belum mampu membedakan mana yang benar dan yang salah sehingga hal itu akan mengakibatkan anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya. Sementara, kalau kedua orangtua mempunyai cara yang sama dan tidak memujukkan perbedaan ini, niscaya tidak terjadi kerancuan tersebut.<br />3. Membiarkan anak jadi korban televisi.<br />Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak dan media paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang dawasa, terhadap orang-orang berpengetahuan maupun yang terbatas pengetahuannya Plomery, seorang peneliti mengatakan: "Anak pada umumnya, dan kebanyakan orang dewasa, cenderung menerima tanpa mempertanyakan segala informasi yang tampil di film-film dan kelihatan realistis. Mereka dapat mengingat materinya dengan cara yang lebih baik ... maka akal pikiran mereka menelan begitu saja nilai-nilai yang rendah itu. Banyak pendidik yang tidak menaruh perhatian bahwa anak mereka kecanduan menonton televisi. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap akhlak dan fithrah mereka, sampai apa yang dinamakan dengan acara anak-anak pun penuh dengan pemikiran-pemikiran keji yang diperoleh anak melalui acara yang ditayangkan. Banyak film kartun yang berisi kisah cinta dan roman ... sampai diantara anjing atau binatang lainnya. Penampilan perang tanding untuk wanita, juga mabuk-mabukan merokok, mencuri, melakukan tipu muslihat, berdusta dan sifat-sifat lainnya yang tidak sopan... Tayangan ini semua menyerbu dunia anak dan menodai fithrah yang suci dengan dalih acara anak-anak". Oleh karena itu anak-anak kita harus dilindungi dari perangkat yang merusak ini. Hal ini, tak diragukan lagi, bukan sesuatu yang mudah tetapi juga tidak mustahil, jika kita ingin menjaga akhlak putera-puteri kita dan mempersiapkan mereka untuk mengemban misi agama dan umat. Semoga Allah melimpahkan ma'unah-Nya kepada kita.<br />4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh.<br />Kesalahan yang amat serius dan banyak tejadi di masyarakat kita adalah fenomena kesibukan ibu dari peran utamanya merawat rumah dan anakanak dengan hal-hal yang tentunya tak kalah penting dari pendidikan anak. Misalnya, sibuk dengan karir di luar rumah, atau sering mengadakan kunjungan, menghadiri pertemuan, atau hanya karena malas-malasan dan tidak mau menangani langsung urusan anak. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap kejiwaan anak dan nilai-nilai yang diserapnya Sebab, "Anak kecil adalah orang pertama yang dirugikan dengan keluamya ibu dari rumah untuk berkarir. Ia akan kehiLangan kasih sayang, sebab sang ibu membiarkannya dalam perawatan wanita lain seperti pembantu, atau membawanya ke tempat pengasuhan. Dan bagaimanapun, anak akan kehilangan kasih sayang ibu. Ini berbahaya sekali terhadap kejiwaan anak dan masa depannya, karena anak berkembang tanpa kasih sayang. jika anak miskin kasih sayang, ia pun akan bertindak keras terhadap para anggota masyarakatnya, akibatnya masyarakat hidup dalam kehancuran, keretakan dan kekerasan. Teryata, orang lain tidak menaruh perhatian untuk membina anak dan mendidiknya berakhlak mulia sebagaimana yang dilakukan keluarganya. Hal ini mendatangkan mala petaka bagi anak dan masyarakat." Terkadang pembantunya adalah orang kafir, akibatnya si anak pun terpengaruh dengan akidah yang menyimpang atau akhlak yang rusak yang didapatkan darinya. Maka, jika kita terpaksa mengambil pembantu, usahakanlah mendapat pembantu muslimah yang baik dan usahakan tidak bersama anak kecuali sebentar saja dalam keadaan terpaksa.<br />5. Pendidik menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak.<br />Ini banyak tejadi pada ibu-ibu dan kadangkala terjadi pada bapak-bapak. Kita dapatkan, misalnya, seorang ibu berkata: “Anak ini mengesalkan. Aku tidak sanggup. Tidak tahu, apa yang kuperbuat dengannya”. Padahal anak mendengarkan ucapan ini maka ia pun merasa bangga dapat mengganggu ibunya dan membandel karena dapat menunjukkan keberadaannya dengan cara itu.<br />6. Berlebihan dalam memberi hukuman dan balasan.<br />a. Hukuman:<br />Hukuman adalah sesuatu yang disyariatkan dan termasuk salah satu sarana pendidikan yang berhasil yang sesekali mungkin diperlukan pendidik. Namun ada yang sangat berlebihan dalam menggunakan sarana ini, sehingga membuat sarana itu berbahaya dan berakibat yang sebaliknya. Seperti kita mendengar ada orangtua yang menahan anaknya beberapa jam dikamar yang gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang mengikat anaknya jika berbuat sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan yang mempunyai arti hingga hukuman berupa pukulan. Pendidik mungkin perlu menggunakan hukuman yang lebih dari pada sekedar pandangan yang memojokkan atau kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa menggunakan hukuman berupa pukulan; namun ini merupakan penyelesaian akhir, tidak diperlukan kecuali jika tidak ada cara lain. Ada beberapa kaidah dalam penggunaan hukuman berupa pukulan antara lain: Tidak dipergunakan hukuman ini kecuali jika tidak ada cara lain lagi, antara lain: <br />Pendidik tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak. <br />Tidak memukul pada bagian-bagian yang menyakitkan, seperti: wajah, kepala dan dada. Pukulan pada tahap-tahap pertama hukuman tidak keras dan tidak menyakitkan serta tidak boleh lebih dari tiga kali pukulan, kecuali bila terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan. <br />Tidak boleh dipukul anak yang berumur di bawah sepuluh tahun. Jika kesalahan anak baru pertama kali ia diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya. Juga dibuat supaya ada penengah yang kelihatannya mengusahakan pemaafan baginya setelah berjanji tidak mengulangi. <br />Hendaklah pendidik sendiri yang memukul anak, tidak menyerahkannya kepada salah satu saudara atau temannya karena ini dapat menimbulkan kebarian dan kedengkiannya terhadap anak lain yang ikut menghukumnya. <br />Jika anak menginjak usia dewasa dan pendidik berpendapat bahwa sepuluh kali pukulan tidak cukupmembuat jera anak, maka pendidik boleh menambahnya.<br />7. Berusaha mengekang anak secara berlebihan.<br />Yaitu tidak diberi kesempatan bermain bercanda dan bergerak ini bertentangan dengan tabiat anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi pertumbuhan anak dengan baik. "Permainan di tempat yang bebas dan luas termasuk faktor terpenting yang membantu pertumbuhan jasmani anak dan menjaga kesehatannya—". Maka orangtua seyogianya tidak mencegah anak-anak yang sedang asyik bermain pasir ketika wisata ke tepi pantai atau di tengah padang pasir. Karena itu, merupakan waktu bersenang-senang dan bermain, bukan waktu berdisiplin. Tidak ada waktu kebebasan bergerak bagi anak-anak kecuali dalam kesempatan wisata yang bebas seperti ini. Maka sekali-kali mereka harus dibiarkan.<br />8. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya.<br />Sayang ini banyak tejadi di kalangan bapak-bapak; padahal ini berpengaruh jelek terhadap masa depan anak dan pandangannya pada kehidupan. Karena anak yang terdidik rendah pribadi dan tidak percaya diri akan tumbuh menjadi penakut lemah dan tidak mampu menghadapi beban dan tantangan hidup, bahkan setelah dawasa. Karena itu, seyogianya kita mempersiapkan anakanak kita untuk dapat mekksanakan tugas-tugas dien dan dunia. Dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan mendidik mereka memiliki rasa percaya dan harga diri namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa mengupayakan agar anak dikenalkan kepada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari hal-hal yang bernilai rendah.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">BAB IV</span><br /><span style="font-weight: bold;">KESIMPULAN DAN REKOMENDASI</span><br /></div><br />A. Kesimpulan<br /> Keluarga adalah pilar utama pendidikan bagi anak, karena keluarga merupakan tempat pendidikan dan sosialisasi pertama bagi anak. Pendidikan nilai budi pekerti sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga. Dimulai dari pemilihan pasangan hidup, memperhatikan sebelum kelahiran anak dan ketika mengandung, memperhatikan ketika anak dilahirkan, mendidik ketika anak berusia enam tahun pertama, mendidik saat remaja dan membimbing saat dewasa. Semua ini seyogyanya bisa diterapkan oleh setiap keluarga Indonesia khususnya, sehingga generasi bangsa menjadi generasi yang kuat, sehat, cerdas, dan sholeh.<br />Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi pendidikan tersebut dalam keluarga. Seperti kurangnya pengetahuan orang tua tentang etika dan akhlak yang mulia, cara-cara mendidik anak, dan membina rumah tangga. Sehingga, fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak tidak oftimal. Walhasil, anak pun tidak memiliki budi pekerti yang luhur.<br />B. Saran<br /> Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin berbagi pikiran dengan pembaca khususnya yang sudah berumah tangga, untuk memperhatikan hal berikut:<br />Mendidik anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga para orang tua diharapkan mempelajari ilmu-ilmu tentang cara-cara mendidik anak, kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.<br />Orang tua merupakan teladan bagi anak, untuk itu berikanlah contoh tauladan yang baik agar anak bisa melihat dan meniru perbuatan baik tersebut<br />Untuk pemerintah, hendaknya memperhatikan kesejahteraan setiap keluarga warga negaranya dengan cara memberi penyuluhan, penyediaan fasilitas pendidikan, dan peluang kerja yang mudah.<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Darmodiharjo, Darmo (1986) Nilai, Norma dan Moral dalam Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Aries Lima, Jakarta.<br />Djahiri Kosasih (1989), Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila untuk Peningkatan proses dan hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FPIPS IKIP Bandung.<br />Hakam, Kama Abdul (2008), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press.<br />Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.<br />Linda, N.Eyre, Richard. 1995. Teaching Your Children Values. New York: Simon sand Chuster.<br />Mulyana, Deddy. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.<br />Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Yogyakarta: Al Husna Press, 1994<br />Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995<br />______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992<br />Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta<br /><br /></div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3599534363409661416.post-34951167162363503712009-06-28T09:22:00.000-07:002009-06-28T19:41:07.497-07:00Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama<div style="font-weight: bold; text-align: center;">Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama<br />Oleh Munasir, S.Pd.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br />Prolog: penulisan artikel ini tidak menggunakan daftar referensi karena artikel ini dibuat sesuai perintah dosen yang menghendaki kata-kata sendiri (dari penulis). Mudah-mudahan bermanfaat.<br />Dalam kehidupan manusia ada tiga pendekatan untuk menghampiri dan menemukan kebenaran. Ketiga pendekatan itu adalah filsafat, ilmu, dan agama. Terdapat hubungan yang erat antara ketiga sumber kebenaran ini, walaupun masing-masing berbeda dalam metodologinya (nilai epistemology), hakikatnya (nilai ontology) dan manfaat serta kegunaannya (nilai aksiologi).<br />Filsafat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang radikal, tajam, dan menukik terhadap setiap persoalan. Dalam mencari kebenaran pun hanya menggunakan akal semata, sehingga kebenarannya merupakan kebenaran rasionalitas yang tentunya bersifat relatif atau nisbi. Ilmu merupakan hasil dari penelitian yang dibuktikan dengan kegiatan ilmiah melalui tahap pengujian, pembuktian, dan penyesuaian degan fakta yang terjadi. Kebenarannya diperoleh melalui pandangan manusia terhadap realita, sehingga kebenarannta bersifat empiris dan masih relative atau nisbi. Sedangkan agama merupakan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu (agama samawi) yang bersifat intuisi serta rohani. Kebenarannya pun bersifat mutlak atau hakiki.<br />Permasalahan akan muncul jika antara perkembangan filsafat, ilmu, dan agama terdapat kesenjangan dan ketimpangan dalam praktek kehidupan manusia. Di bawah ini penulis akan mencoba mengurai akibat yang akan terjadi bila antara filsafat, ilmu, dan agama tidak berjalan seirama dan seimbang:<br />1.<span style="font-weight: bold;"> Bila Filsafat maju (kuat), sedangkan Ilmu dan agama mundur (lemah)</span><br />Sebagaimana kita ketahui bahwa filsafat merupakan produk dari proses pemikiran mendalam akal manusia yang tak mengenal batas. Dengan akal, manusia bisa memikirkan apapun yang terjadi, baik keadaan dirinya atau di luar dirinya. Namun, bagaimanapun juga akal harus mengakui kelemahannya, karena ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijangkaunya. Seperti halnya akal tidak bisa memikirkan cara berterima kasih terhadap Tuhan.<br />Jika manusia hanya mengandalkan akal dalam mencari kebenaran dan menjawab semua persoalan dirinya, maka manusia tersebut akan menjadi orang-orang yang mendewakan akal. Kaum ini dikenal dengan kaum idealis. Yaitu kaum yang meyakini bahwa kebenaran hanya datang dari penerimaan akal (logis) dan menolak yang tidak sesuai dengan akal (tidak logis). Kemudian akibat lainnya, manusia tidak akan pernah maju dalam aspek sains terlebih teknologi. Sehingga, yang ada hanyalah manusia-manusia yang gemar berpikir tanpa mau membuktikan hasil pemikirannya ‘benar atau salah’. Lebih jauh lagi jika ini terjadi pada suatu bangsa, maka dapat dipastikan bahwa bangsa ini akan mengalami penjajahan teknologi oleh pihak yang berkepentingan serta menjadi bangsa yang tidak mengenal baik Rabb-nya.<br />2. <span style="font-weight: bold;">Bila Ilmu maju (kuat) sedangkan filsafat dan agama lemah</span>.<br />Sekarang bagaimana kalau di dalam suatu bangsa, manusianya sangat gemar terhadap ilmu, sementara filsafat dan agama tidak diperhatikan bahkan diacuhkan. Ilmu merupakan hasil dari pengkajian dan pembuktian terhadap peomena-penomena yang ada. Jika manusia sangat mengutamakan ilmu dan mengesampingkan filsafat serta agama, maka bangsa itu cepat atau lambat akan hancur. Kenapa demikian? Jawabnya sederhana, karena ilmu itu netral, tergantung yang mengendalikannya. Tentunya pemegang penuh ilmu pengetahuan adalah manusia itu sendiri. Jika manusia yang mengendalikan ilmu itu tidak bermoral, maka tidak diragukan lagi ilmu pun akan digunakan untuk kejahatan dan untuk memenuhi segala keinginannya. Sementara itu yang mengatur hidup manusia dalam bermoral adalah filsafat (etika) dan agama.<br />Kemudian akibat dari lemahnya filsafat akan menyebabkan tidak adanya inovasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dapat kita pahami, ilmu sebenarnya berawal dari proses filsafat. Sehingga filsafat dikenal dengan the mather of science (ibu segala ilmu). Begitu juga dengan sifat ilmu yang kebenarannya bersifat relatif dengan menggunakan penelitian dan alat penelitian yang masih memiliki kelemahan. Beberapa alat pengamat itu adalah mata salah satunya, dan mata dapat tertipu, seperti pada kasus tombak saat dimasukkan ke air. Tongkat terlihat seakan bengkok, padahal itu hanya proses bias saja.<br />3. <span style="font-weight: bold;">Agama kuat, sedangkan Filsafat dan Ilmu lemah</span><br />Agama merupakan petunjuk dari Tuhan bagi kehidupan manusia. Dengan agama manusia tidak akan tersesat dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang benar-benar menjalankan agama akan menjadi orang yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia. Dia akan mampu berakhlak baik terhadap Tuhan, sesama manusia, binatang, dan lingkungan sekitar. Bangsa yang memiliki keagamaan yang kuat akan menjadi bangsa yang damai. Namun, jika hanya agama yang diperdalam sementara filsafat dan ilmu diacuhkan, hal ini akan mengakibatkan adanya ketertinggalan bahkan mungkin keterasingan dari pergaulan dunia. Bahkan tidak akan mampu menyelesaikan berbagai perkara atau persoalan masa kini yang tidak disebutkan dalam kitab petunjuk agama. Sehingga kemungkinan besar akan banyak masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan.<br />4. <span style="font-weight: bold;">Filsafat, Ilmu, dan Agama Lemah</span><br />Inilah kondisi terburuk suatu bangsa dimana filsafat, ilmu, dan agama tidak menjadi pegangan utama manusia sebagai pembimbing dan pencari kebenaran. Manusia yang lemah dalam hal filsafat, ilmu, dan agama akan mudah dibohongi oleh orang lain. Dalam cakupan bangsa tentunya akan menjadi sasaran empuk para penjajah. Dengan kata lain secara perlahan akan menemui kehancuran disebabkan kebodohan mereka, keburukan perangai, dan ketumpuan pikiran<br />5. <span style="font-weight: bold;">Filsafat, Ilmu, dan Agama Kuat</span><br />Kontradiksi dengan sebelumnya dan ini merupakan nilai ideal yang harus dimiliki oleh manusia. Jika ketiganya kuat, maka kondisi suatu bangsa akan mencapai puncak kesejahteraan. Bangsa yang berbudi luhur, taat beragama, maju ipteknya, dan benar cara berpikirnya akan membuat bangsa-bangsa lain mengacungkan jempol. Dengan agama manusia bisa menjadi muttaqin dan berbudi pekerti luhur, dengan filsafat manusia akan selalu mencari pemecahan masalah-masalah dan menyediakan inovasi-inovasi, sedangkan dengan ilmu manusia jadi semakin mudah dalam menghadapi perkembangan zaman ini.</div>Pendidikan adalah hidupkuhttp://www.blogger.com/profile/05806245830204137716noreply@blogger.com0