09.26

Makalah Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah degradasi moral sumber daya manusia Indonesia perlu segera mendapat penanganan khusus. Hal ini berhubungan dengan masalah kesiapan bangsa kita dalam menyongsong era globalisasi. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut adalah melalui pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai, dan pihak pertama yang paling cocok memberikan pendidikan budi pekerti adalah keluarga.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan begitupun sebaliknya. Keluarga memberikan dasar-dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, budi pekerti dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Soenarjo, 1989 : 951)
Berdasarkan ayat tersebut menjadi tanggung jawab para orangtua untuk selalu menjaga dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang patuh dan taat kepada Allah SWT.
Kartini Kartono (1992 : 19) menjelaskan bahwa di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat seorang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan keluarga. Sedangkan perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi yang layak. Oleh karena itu keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan memikul tanggug jawab yang besar terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak sampai ia menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.
Peranan sebagai pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan kehidupan keluarga. Satuan pendidikan ini menurut Djaludin Rachmat (1993 : 23) meliputi pembinaan hubungan dalam keluarga, pemeliharaan dan kesehatan anak, pengelolaan sumber-sumber serta sosialisasi anak.
Menurut Winarno Surakhmad (1986 : 7) interaksi yang terjadi dalam situasi edukatif itu adalah ”interkasi edukatif.” Yakni interkasi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan. Hal inilah yang membedakan dari bentuk interkasi yang lainnya. Sardiman AM. (1992 : 1) menyebutnya dalam arti yang lebih spesifik dalam bidang pengajaran yang dikenal dengan istilah ”interakasi belajar-mengajar”.
Dari rumusan-rumusan tersebut dapat dipahami, bahwa istilah interaksi edukatif yang sebenarnya adalah adanya komunikasi timbal baik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain yang mengandung maksud tertentu, yakni untuk mencapai pengertian bersama yang kemudian untuk mencapai tujuan. Itulah maka interaksi edukatif disebutnya sebagai interaksi yang disengaja, terarah pada tujuan. Dan pada sisi lainnya dapat dipahami pula, bahwa walaupun dalam sehari-harinya manusia tidak melepaskan dari adanya interaksi, akan tetapi terkadang sulit ditentukan sebagai interaksi edukatif. Sehingga dapat dikatakan juga, bahwa apabila yang secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak ke arah kedewasaan. Jadi yang terpenting bukan secara simbol dari interaksinya, akan tetapi adanya maksud atau tujuan yang mengantarkan dalam berlangsungnya interaksi tersbut. Maka kegiatan itu menjadi direncana dan disengaja.
Permasalahannya adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada pendidikan budi pekerti bagi anggota keluarganya. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis tanpa masalah. Oleh sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi riil keluarga di Indonesia. Dimana ada keluarga yang sudah cukup harmonis, ada keluarga bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi pendidikan budi pekerti secara efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk memperhatikan anak-anaknya, keteladanan, dan komunikasi aktif. Sedangkan niali budi pekerti yang dapat diberikan dalam keluarga adalah nilai kerukunan, ketaqwaan dan keimanan, toleransi, dan kepribadian sehat.
Jika seseorang telah memiliki dasar budi pekerti yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari lingkungan sekitar. Dengan demikian peran keluarga dalam pendidikan budi pekerti sangatlah besar.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas Implementasi Pendidikan Budi Pekerti Dalam Keluarga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis mencoba merumuskannya ke dalam beberapa kalimat pertanyaan, sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
2. Bagaimana implementasi Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengungkap implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari:
BAB I. Pendahuluan; terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan masalah.
BAB II. Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga (PNBP); dalam bab ini di ulas pengertian pendidikan nilai budi pekerti, pengertian keluarga, peran dan fungsi keluarga, tujuan PNBP dalam keluarga, dan metode PNBP.
BAB III. Pembahasan; Implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.
BAB IV. Penutup; terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.


BAB II
PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA

Pengertian Pendidikan Nilai Budi Pekerti dalam Keluarga
Sebelum mengemukakan pengertian term di atas, sebaiknya kita pahami dulu pengertiannya masing-masing.
Pengertian Pendidikan
Karena sifatnya yang kompleks, maka tidak ada sebuah definisi yang memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam dan kandungan isinya berbeda-beda sesuai dengan konsep, orientasi atau nilai philosofis yang mendasarinya. Namun demikian, dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa pengertian tentang pendidikan yang berbeda-beda untuk kemudian dibuat kesimpulannya. Berdasarkan fungsinya Tirtaraharja dan La Sulo [2003:33-37], menyatakan:
Pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Dalam hal ini pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.
Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara. Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.
Sedangkan Tilaar dan Nugroho [2008: 27-38] mengemukakan tentang pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan sebagai transmisi kebudayaan. Pendidikan dinilai sebagai proses mentransmisikan nilai-nilai budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya.
2. Pendidikan sebagai pengembangan kepribadian, tujuannya agar manusia mengembangkan kepribadiannya di dalam pengertian etis sehingga dia bukan hanya dapat berkembang tetapi juga dapat menyumbangkan sesuatu yang berharga untuk masyarakatnya.
3. Pendidikan sebagai pengembangan akhlak mulia serta religius, dimana dalam hal ini pendidikan ditujukan untuk mengarahkan manusia/peserta didik mempunyai akhlak yang mulia dan bersikap relegius.
4. Pendidikan sebagai mempersiapkan pekerja-pekerja yang terampil dan produktif.
5. Pendidikan adalah pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya.
6. Pendidikan sebagai proses pembentukan manusia baru.
Sebagai perbandingan perlu juga ditilik pengertian tentang pendidikan berdasarkan 2 [dua] Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional [UUSPN] dimana yang kedua merupakan hasil dari revisi yang pertama; UUSPN No. 2 tahun 1989, Bab I, pasal. 1 ayat [1], menyatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.
Adapun UUSPN No. 20 tahun. 2003 , Bab. I, pasal 1 ayat [1], menyatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”.
Apabila kita cermati, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan berdasarkan UUSPN yang terakhir merupakan reformulasi yang lengkap dari UUSPN sebelumnya dan dari kedua pendapat para pakar pendidikan di atas. Jadi dalam makalah ini, pengertian pendidikan akan mengacu kepada UUSPN yang telah direvisi tersebut.

Pengertian Nilai
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosop dan ahli pendidikan nilai berkaitan dengan pengertian Nilai. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang nilai:
1. A value is an idea –a concept- abaout what some one think is important in life (Fraenkel, 1977:60).
2. Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar dan adil (Djahiri, 1089:36).
3. Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani (Darmodiharjo, 1986:36).
Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama. Jadi, sebenarnya perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dimaksud.
Rumusan definisi Nilai nampaknya dipengaruhi oleh sudut pandang para tokoh, namun yang jelas bahwa Nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap orang baik disadari atau tidak. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih prilaku apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan. Sebagai standar, Nilai membantu seseorang menentukan apakah ia suka terhadap sesuatu atau tidak. Dan ketika suatu objek, dilihat dari sudut pandang Nilai sudah baik, atau diyakini baik, maka musti ada upaya untuk membumikannya melalui pendidikan, yang namanya Pendidikan Nilai.
Pendidikan Nilai telah menjadi bagian integral proses pendidikan, sejak diakuinya proses pendidikan informal menjadi bagian sistem pendidikan kita. Oleh karena itu berbagai usaha telah dilakukan untuk menjelaskan peran yang seharusnya dimainkan “Nilai”tersebut dalam sistem pendidikan masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut baru terlihat secara sungguh-sungguh pada abad ke-20, dimana Pendidikan Nilai telah dipelajari sebagai suatu “disiplin”, tidak lebih dari setengah abad setelah itu muncul berbagai literatur dan penelitian empiris yang mengkaji serius bidang ini.
Dalam berbagai literatur, istilah Pendidikan Nilai dan Pendidikan Moral sering digunakan untuk kepentingan yang sama, hal ini didasari karena eratnya hubungan antara kedua bidang pendidikan tersebut. Karena itu, Pendidikan Nilai dipandang sebagai pendidikan yang mempertimbangkan obyek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, yang meliputi estetika yaitu menilai obyek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi [Hakam, 2008:5].
Pengertian Budi Pekerti
Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti. Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku. Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah, 2007:17). Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris disebtu ethics.
Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian dalam KBBI (1998) di atas, budi pekerti diartikan dengan akhlak. Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut bahasa diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari
Defenisi akhlak secara substansi tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara
Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak adopsi (Peter Murdock, 1949).
Pengertian-pengertian lainnya sebagai berikut:
Keluarga (bahasa) berasal dari dua struktur kata, yakni kata kula dan warga. Kula berarti abdi atau hamba. Warga berarti anggota. (Hidayat Y.,2008: 31)
Keluarga adalah sanak saudara yang bertalian darah karena faktor keturunan yang dihasilkan atas dasar perkawinan. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1980: 471)
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu orang tua (keluarga) mempunyai peranan yang dominan dalam pengembangan kesadaran beragama anak. (Yusuf LN, 2008: 41)
Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu, anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)
Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)
Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.
Menurut Amini (107: 2006), keluarga adalah orang-orang yang secara terus menerus atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga, diantara mereka disebabkan mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang menyebabkan si anak terlahir ke dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak. Menjadi ayah dan ibu tidak hanya cukup dengan melahirkan anak, kedua orang tua dikatakan memiliki kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh dalam mendidik anak mereka. Islam menganggap pendidikan sebagai salah satu hak anak, yang jika kedua orang tua melalaikannya berarti mereka telah menzalimi anaknya dan kelak pada hari kiamat mereka dimintai pertanggung jawabannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak. Masing-masing unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga, sehingga bila salah satu unsur tersebut hilang maka keluarga tersebut akan guncang atau kurang seimbang. Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia prasekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya. Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.
Pengertian Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun yang menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Adapun pengertian pendidikan budi pekerti menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001) dapat ditinjau secara konsepsional dan operasional.
Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional
Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.
Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual social).
Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan serta keteladanan.
Pengertian secara Operasional
Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap tuhan dan sesame makhluk.
Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dalam keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga untuk menjadikan angota-anggota keluarga sebagai manusia atau pribadi-pribadi yang memiliki kepribadian yang utuh, bertingkah laku baik dan berakhlak mulia. Sehingga menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik.
B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai Budi Pekerti
Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142).
Dalam ­ GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992).
Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa” (Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga.
Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Kaswanti Purwo, 1990:101-103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen.
Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak (Gordon,1984; 6). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orangtuanya.
Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orangtua dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidakharmonisan hubungan antara orangtua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar (Gordon,1984 : 1-9).
Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orangtua mereka.
Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai budi pekerti, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28). Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi. Pertama, keluarga harmonis, yaitu keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah, yaitu keluarga yang memiliki masalah, baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal, yaitu keluarga yang mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah.
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi”.7 Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto, mempunya 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:
a. Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.
b. Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
c. Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya.s
d. Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat bertahan hingga ke perguruan tinggi.
e. Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.
f. Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
g. Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi. Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain. Menurut Ahmadi (89: 1998), ia menambahkan satu fungsi keluarga selain ketujuh fungsi di atas yaitu fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi adalah keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan manusia yang pokok, diantaranya kebutuhan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk menutup tubuhnya dan kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi penyelenggaraan kebutuhan. pokok ini maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta tempat tinggal. Dari berbagai fungsi keluarga yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Karena sangat berpengaruh sekali kepada anak apabila ia tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, dalam rangka:
Memelihara dan membesarkan anaknya.
Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.
Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.
C. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Secara ekplisit, penulis belum menemukan tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga. Namun berdasarkan pada literatur-literatur yang telah dibaca ada beberapa tujuan yang bisa dikemukakan sebagai berikut:
Membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Dalam literature Islam disebutkan bahwa tujuan pendidikan tersebut dalam keluarga adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, yang anggota keluarganya bahagia dunia dan akhirat serta terhindar dari siksaan api neraka. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”
D. Metode dan Pendekatan
Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa kedua istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia dini.Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan pendekatan.
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya terletak pada cara kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu merupakan suatu rangkaian yang teratur dan telah diperhitungkan serta teruji kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 45)
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa teori dalam penyampaian materi pendidikan budi pekerti:
Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif ini berkaitan erat dengan perkembangan moral seseorang. Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dalam empat tahap, yaitu sensori motor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal.
Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.
Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.
Tahap operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.
Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik.

Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:
Orientasi pada hukuman dan ketaatan
Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.
Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan kewajaran.
Orientasi anak manis
Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Berdasarkan dua teori pakar di atas, maka pendidikan budi pekerti harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan pribadi anak. Dalam hal ini bisa dikategorikan dalam beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:
Masa usia balita (bayi di bawah lima tahun)
Metode yang paling cocok dalam masa ini adalah metode keteladanan dan sedikit penjelasan. Maksudnya kegiatan yang dilakukan oleh orangtua yang dapat dijadikan model bagi anak. Dalam hal ini orangtua berperan langsung sebagai contoh atau teladan bagi anak. Segala sikap dan tingkah laku orangtua, baik di rumah atau di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya cara makan, cara minum, cara berpakaian, bertutur kata dengan baik dan sebagainya.
Usia 5-7 tahun (usia anak TK)
Adapun metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia ini sangatlah bervariasi, di antaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.
Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Hidayat, 2005:12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita orangtua harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, di antaranya: a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelas, b. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anak, c. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28). Dalam bercerita orangtua juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu orangtua juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian anak. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya : a. membaca langsung dari buku cerita atau dongeng, b. Menggunakan ilustrasi dari buku, c. Menggunakan papan flannel, d. Menggunakan media boneka, e. Menggunakan media audio visual, f. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005: 87).
Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini. Bernyanyi jika digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang, b. Mudah dihafal oleh anak, c. Ada misi pendidikan, d. Sesuai dengan karakter dan dunia anak, e. Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 28).
Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak pada usia ini sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya. Melalui metode sajak orangtua bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Di samping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran. Kedua, karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang. Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan kelompok. Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan.

BAB III
PEMBAHASAN
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA

A. Implementasi Pendidikan Anak Dalam Keluarga
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan nilai budi pekerti secara esensial sama dengan pendidikan akhlak. Untuk itu, dalam bab ini penulis ingin mengemukakan pendidikan anak dalam keluarga menurut pendekatan agama, khususnya agama Islam. Pendidikan nilai budi pekerti/akhlak dalam keluarga terjadi pada masa pemilihan pasangan hidup, pembinaan keluarga, pada masa kehamilan, pada masa kelahiran, pada masa anak-anak, dan pada masa remaja. Berikut penjelasannya:
1. Pemilihan Pasangan Hidup (Suami/Istri)
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalehah Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda: "Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar"
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?

a. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya : “Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda: Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Penyayang berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang yang banyak anak adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
b. Kriteria Memilih Calon Suami
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221).
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki : “Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
2. Memperhatikan Anak Ketika Sebelum Kelahiran dan Ketika Mengandung
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil" (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: "Isnad hadits inijayyid' )
Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.
3. Memperhatikan Anak Setelah Melahirkan
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:
1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah 'Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam bersama malaikat: "Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya 'qub. " (Surah Hud : 71).
Adapun tahni'ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu 'Anha: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo'akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu)" (Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu menuturkan: "Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah" (Hadits riwayat Abu Dawud dan AtTirmidzi).
Hikmahnya, Wallahu A'lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pemyataan hadits: "Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan" (Ibid)
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis(seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan: "Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo'akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku". Tahnik mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: "Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu'jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:
a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika terkena udara dingin di sekelilingnya."'
4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats'ami bahwa Rasulullah bersabda: "Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta'ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah" (HR.Abu Daud An Nasa'i) Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek, nenek,atau selain mereka.
Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: "Semoga mudah urusanmu" Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41).

5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha,bahwaRasulullah bersabda: "Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing" (HR. Ahmad dan Turmudzi). Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja, Wallahu A'lam.
Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun mempunyai faedah yang jelas. Diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya: "Fatimah Radhiyalllahu 'anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa')
7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah bersabda: "Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak" (HR. Al-bukhari, Muslim)
Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA'lam. Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.
4. Pendidikan Anak Usia Enam Tahun
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.) Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini. Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. "Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak." (Muhammad Quthub, Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.). Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.
2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
Penulis kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini. Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.
3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. "Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak. Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya." (Ibid.)
4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.
Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Izuddin Al Bayanuni, MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)·
Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.
Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.
Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan tidur dengan miring ke kanan.
Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.
Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.
Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.
Dilarang bermain dengan hidungnya.
Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.
Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.
Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.
Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.
Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.
Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.
Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.
Dibiasakan membaca "Alhamdulillah" jika bersin, dan mengatakan "Yarhamukallah" kepada orang yang
bersin jika membaca "Alhamdulillah".
Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.
Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.
Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).
Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.
Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan "Assalamu'Alaikum" serta membalas salam orang yang mengucapkannya.
Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.
Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.
Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.
Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.
Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lainlainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.
Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.
5. Pendidikan Anak Setelah Usia Enam Tahun Pertama
Pada periode ini anak menjadi lebih siap untuk belajar secara teratur. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung. Oleh sebab itu, masa ini termasuk masa yang paling penting dalam pendidikan dan pengarahan anak. Kita, Insya Allah, akan membicarakan tentang aspek-aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh para pendidik pada periode ini. Yaitu:
1. Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana.
Pada periode ini dikenalkan kepada anak tentang Allah 'Azza Wajalla dengan cara yang sesuai dengan pengertian dan tingkat pemikirannya. Diajarkan kepadanya:
Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi, manusia, hewan, pohon-pohonan, sungai dan lain-lainnya. Pendidik dapat memanfaatkan situasi tertentu untuk bertanya kepada anak, misalnya ketika bejalan-jalan di taman atau padang, tentang siapakah Pencipta air, sungai,bumi,pepohonan dan lain-lainnya, untuk menggugah perhatiannya kepada keagungan Allah.
Cinta kepada Allah, dengan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah untuknya dan untuk keluarganya. Misalnya, anak ditanya: Siapakah yang memberimu pendengaran, penglihatan dan akal? Siapakah yang memberimu kekuatan dan kemampuan untuk bergerak? Siapakah yang memberi rizki dan makanan untukmu dan keluargamu? Demikianlah, ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dan dianjurkan agar cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini. Metode ini disebutkan dalam Al Qur'an, dalam banyak ayat Allah menggugah minat para hamba-Nya agar memperhatikan segala nikmat yang dikaruniakan-Nya, seperti firman-Nya: "Tidakkah kamu perhatian sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempumakan untukmu nikmatnya lahir dan batin..."(Surah Luqman : 20).
2. Pengajaran sebagian hukum yang jelas dan tentang halal-haram.
Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hokum-hukum, thaharah (bersuci) dan pelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal yang haram, dusta, adu domba, mencuri dan melihat kepada yang diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah sebagaimana orang dewasa dan dicegah dari apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa, sehingga anak akan tumbuh demikian dan menjadi terbiasa. Karena bila semenjak kecil anak dibiasakan dengan sesuatu, maka kalau sudah dewasa akan menjadi kebiasaannya. Agar diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak, sebagaimana kata Sufyan Al Tsauri: "Seorang bapak harus menanamkan ilmu pada anaknya, karena dia penanggung jawabnya." (Muhammad Hasan Musa, Nuzharul Fudhala' Tahdzib Siar A'lamin Nubala :Juz 1.)
3. Pengajaran baca Al Qur'an.
Al Qur'an adalah jalan lurus yang tak mengandung suatu kebatilan apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al Qu~an dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya agar mengbafal Al Qur'an atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan melalui berbagaicara. Karena itu, kedua orangtua bendaklah berusaha agar putera puterinya masuk pada salah satu sekoiah tahfizh Al Qur'an; kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satu halaqah tahfizh. Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Barang siapa membaca Al-Quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari kiamat mengenakan kepada keda orang tuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini". Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh Al Qur'an bagi anak-anak mereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyi menceritakan kepada kita tentang imam AnNawawi, Rahimahullah, katanya: "Aku melihat beliau ketika masih berumur 10 tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan iapun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al Qur'an. Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau bejualan dan menyibukkan diri dengan AlQur'an. Maka aku datangi gurunya dan berpesan kepadanya bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat bagi umat manusia. Ia pun berkata kepadaku: Tukang ramalkah Anda? Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya, sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai dapat khatam Al Qur'an ketika menginjak dewasa."
4. Pengajaran hak-hak kedua orangtua,
Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat baik kepada kedua orangtua, sehingga terdidik dan terbiasa demikian. Anak sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hak orangtua disebabkan karena kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik anak dan tidak membiasakannya berbuat kebaikan sejak usia dini. Firman Allah Ta'ala : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesanyangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Surah Al-Isra': 23-24).
Diriwayatkan dari Abu HurairahRadhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi bersabda: "Terhinalah, terhinalah, dan terhinalah seseorang yang mendapatkan salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya berusia lanjut, tetapi tidak dapat masuk surga".
5. Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.
Tokoh teladan kita yang utama yaitu Rasulullah Shallallahualaihi wasalam, kemudian para sahabat yang mulia Radhiallahu 'Anhum dan pengikut mereka dengan baik yang menjadi contoh terindah dalam segala aspek kehidupan. Maka dikenalkan kepada anak tentang mereka, diajarkan sejarah dan kisah mereka supaya meneladani perbuatan agung mereka dan mencontoh sifat baik mereka seperti keberanian, keprajuritan, kejujuran, kesabaran, kemuliaan, keteguhan pada kebenaran dan sifat-sifat lainnya. Kisah atau kejadian yang diceritakan kepada anak hendaklah sesuai dengan tingkat pengertiannya, tidak membosankan, dan difokuskan pada penampilan serta penjelasan aspek-aspek yang baik saja sehingga mudah diterima oleh anak.
6. Pengajaran etiket umum.
Seperti etiket mengucapkan salam dan meminta izin, etiket berpakaian, makan dan nninum,etiket berbicara dan bergaul dengan orang lain. Juga diajarkan bagaimana bergaul dengan kedua orangtua, sanak famili yang tua, kolega orangtua, guru-gurunya, kawan-kawannya dan teman sepermainannya. Diajarkan pula mengatur kamamya sendiri, menjaga kebersihan rumah, menyusun alat bermain, bagaimana bermain tanpa mengganggu orang lain dan bagaimana bertingkah laku di masjid dan disekolahan. Pegajaran berbagai hal di atas dan juga lainnya pertamatama harus bersumber kepada Sunnah Rasulullah , lalu peri kehidupan para salaf yang shaleh, kemudian karya tulis para pakar dalam bidang pendidikan dan tata pergaulan.
7. Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak.
Anak-anak sekarang ini adalah pemimpin hari esok. Karena itu, harus dipersiapkan dan dilatih mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang nantinya akan mereka lakukan. Hal itu bisa direalisasikan dalam diri anak melalui pembinaan rasa percaya diri, penghargaan jati dirinya, dan diberikan kepada anak kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dan apa yang terbetik dalam pikirannya, serta diberikan kepadanya dorongan agar mengerjakan urusannya sendiri, bahkan ditugasi dengan pekejaan rumah tangga yang sesuai untuknya. Misalnya, disuruh untuk membeli beberapa keperluan rumah dari warung terdekat; anak perempuan diberi tugas mencuci piring dan gelas atau mengasuh adik. Pemberian tugas kepada anak ini bertahap sedikit demi sedikit sehingga mereka terbiasa mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang sesuai bagi mereka. Termasuk pemberian tanggung jawab kepada anak, ia harus menanggung resiko perbuatan yang dilakukannya. Maka diajarkan kepada anak bahwa ia bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya serta dituntut untuk Anak dalam Islam untuk memperbaiki apa yang telah dirusaknya dan meminta maaf atas kesalahannya. Seorang anak jika terdidik untuk percaya diri akan mampu mengemban tanggung jawab yang besar.
6. Pendidikan Anak Pada Masa Remaja
Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa baligh.Karena itu, para pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah-masalah berikut dalam menghadapi remaja:
1. Hendaknya anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah dewasa karena ia sendiri menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi.
2. Diajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram.
3. Diberikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar.
4. Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.
B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak
Berikut ini sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para pendidik. Semoga Allah memberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan menunjukkan kita kepada kebenaran.
1. Ucapan pendidik tidak sesuai dengan perbuatan.
Ini merupakan kesalahan terpenting karena anak belajar dari orangtua beberapa hal. tetapi ternyata bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah Azza Wa Jalla mencela perbuatan ini dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (SurahAshShaff:2-3). Bagaimana anak akan belajar kejujuran kalau ia mengetahui orang tuanya berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah sementara ia melihat bapaknya menipu ? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila orang sekitamya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?
2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.
Kadangkala seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orangtua. Tetapi akibatnya sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan dan mengancam. Anak akhimya menjadi bingung mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya. Dengan pengertiannya yang masih terbatas, ia belum mampu membedakan mana yang benar dan yang salah sehingga hal itu akan mengakibatkan anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya. Sementara, kalau kedua orangtua mempunyai cara yang sama dan tidak memujukkan perbedaan ini, niscaya tidak terjadi kerancuan tersebut.
3. Membiarkan anak jadi korban televisi.
Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak dan media paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang dawasa, terhadap orang-orang berpengetahuan maupun yang terbatas pengetahuannya Plomery, seorang peneliti mengatakan: "Anak pada umumnya, dan kebanyakan orang dewasa, cenderung menerima tanpa mempertanyakan segala informasi yang tampil di film-film dan kelihatan realistis. Mereka dapat mengingat materinya dengan cara yang lebih baik ... maka akal pikiran mereka menelan begitu saja nilai-nilai yang rendah itu. Banyak pendidik yang tidak menaruh perhatian bahwa anak mereka kecanduan menonton televisi. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap akhlak dan fithrah mereka, sampai apa yang dinamakan dengan acara anak-anak pun penuh dengan pemikiran-pemikiran keji yang diperoleh anak melalui acara yang ditayangkan. Banyak film kartun yang berisi kisah cinta dan roman ... sampai diantara anjing atau binatang lainnya. Penampilan perang tanding untuk wanita, juga mabuk-mabukan merokok, mencuri, melakukan tipu muslihat, berdusta dan sifat-sifat lainnya yang tidak sopan... Tayangan ini semua menyerbu dunia anak dan menodai fithrah yang suci dengan dalih acara anak-anak". Oleh karena itu anak-anak kita harus dilindungi dari perangkat yang merusak ini. Hal ini, tak diragukan lagi, bukan sesuatu yang mudah tetapi juga tidak mustahil, jika kita ingin menjaga akhlak putera-puteri kita dan mempersiapkan mereka untuk mengemban misi agama dan umat. Semoga Allah melimpahkan ma'unah-Nya kepada kita.
4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh.
Kesalahan yang amat serius dan banyak tejadi di masyarakat kita adalah fenomena kesibukan ibu dari peran utamanya merawat rumah dan anakanak dengan hal-hal yang tentunya tak kalah penting dari pendidikan anak. Misalnya, sibuk dengan karir di luar rumah, atau sering mengadakan kunjungan, menghadiri pertemuan, atau hanya karena malas-malasan dan tidak mau menangani langsung urusan anak. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap kejiwaan anak dan nilai-nilai yang diserapnya Sebab, "Anak kecil adalah orang pertama yang dirugikan dengan keluamya ibu dari rumah untuk berkarir. Ia akan kehiLangan kasih sayang, sebab sang ibu membiarkannya dalam perawatan wanita lain seperti pembantu, atau membawanya ke tempat pengasuhan. Dan bagaimanapun, anak akan kehilangan kasih sayang ibu. Ini berbahaya sekali terhadap kejiwaan anak dan masa depannya, karena anak berkembang tanpa kasih sayang. jika anak miskin kasih sayang, ia pun akan bertindak keras terhadap para anggota masyarakatnya, akibatnya masyarakat hidup dalam kehancuran, keretakan dan kekerasan. Teryata, orang lain tidak menaruh perhatian untuk membina anak dan mendidiknya berakhlak mulia sebagaimana yang dilakukan keluarganya. Hal ini mendatangkan mala petaka bagi anak dan masyarakat." Terkadang pembantunya adalah orang kafir, akibatnya si anak pun terpengaruh dengan akidah yang menyimpang atau akhlak yang rusak yang didapatkan darinya. Maka, jika kita terpaksa mengambil pembantu, usahakanlah mendapat pembantu muslimah yang baik dan usahakan tidak bersama anak kecuali sebentar saja dalam keadaan terpaksa.
5. Pendidik menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak.
Ini banyak tejadi pada ibu-ibu dan kadangkala terjadi pada bapak-bapak. Kita dapatkan, misalnya, seorang ibu berkata: “Anak ini mengesalkan. Aku tidak sanggup. Tidak tahu, apa yang kuperbuat dengannya”. Padahal anak mendengarkan ucapan ini maka ia pun merasa bangga dapat mengganggu ibunya dan membandel karena dapat menunjukkan keberadaannya dengan cara itu.
6. Berlebihan dalam memberi hukuman dan balasan.
a. Hukuman:
Hukuman adalah sesuatu yang disyariatkan dan termasuk salah satu sarana pendidikan yang berhasil yang sesekali mungkin diperlukan pendidik. Namun ada yang sangat berlebihan dalam menggunakan sarana ini, sehingga membuat sarana itu berbahaya dan berakibat yang sebaliknya. Seperti kita mendengar ada orangtua yang menahan anaknya beberapa jam dikamar yang gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang mengikat anaknya jika berbuat sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan yang mempunyai arti hingga hukuman berupa pukulan. Pendidik mungkin perlu menggunakan hukuman yang lebih dari pada sekedar pandangan yang memojokkan atau kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa menggunakan hukuman berupa pukulan; namun ini merupakan penyelesaian akhir, tidak diperlukan kecuali jika tidak ada cara lain. Ada beberapa kaidah dalam penggunaan hukuman berupa pukulan antara lain: Tidak dipergunakan hukuman ini kecuali jika tidak ada cara lain lagi, antara lain:
Pendidik tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak.
Tidak memukul pada bagian-bagian yang menyakitkan, seperti: wajah, kepala dan dada. Pukulan pada tahap-tahap pertama hukuman tidak keras dan tidak menyakitkan serta tidak boleh lebih dari tiga kali pukulan, kecuali bila terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan.
Tidak boleh dipukul anak yang berumur di bawah sepuluh tahun. Jika kesalahan anak baru pertama kali ia diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya. Juga dibuat supaya ada penengah yang kelihatannya mengusahakan pemaafan baginya setelah berjanji tidak mengulangi.
Hendaklah pendidik sendiri yang memukul anak, tidak menyerahkannya kepada salah satu saudara atau temannya karena ini dapat menimbulkan kebarian dan kedengkiannya terhadap anak lain yang ikut menghukumnya.
Jika anak menginjak usia dewasa dan pendidik berpendapat bahwa sepuluh kali pukulan tidak cukupmembuat jera anak, maka pendidik boleh menambahnya.
7. Berusaha mengekang anak secara berlebihan.
Yaitu tidak diberi kesempatan bermain bercanda dan bergerak ini bertentangan dengan tabiat anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi pertumbuhan anak dengan baik. "Permainan di tempat yang bebas dan luas termasuk faktor terpenting yang membantu pertumbuhan jasmani anak dan menjaga kesehatannya—". Maka orangtua seyogianya tidak mencegah anak-anak yang sedang asyik bermain pasir ketika wisata ke tepi pantai atau di tengah padang pasir. Karena itu, merupakan waktu bersenang-senang dan bermain, bukan waktu berdisiplin. Tidak ada waktu kebebasan bergerak bagi anak-anak kecuali dalam kesempatan wisata yang bebas seperti ini. Maka sekali-kali mereka harus dibiarkan.
8. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya.
Sayang ini banyak tejadi di kalangan bapak-bapak; padahal ini berpengaruh jelek terhadap masa depan anak dan pandangannya pada kehidupan. Karena anak yang terdidik rendah pribadi dan tidak percaya diri akan tumbuh menjadi penakut lemah dan tidak mampu menghadapi beban dan tantangan hidup, bahkan setelah dawasa. Karena itu, seyogianya kita mempersiapkan anakanak kita untuk dapat mekksanakan tugas-tugas dien dan dunia. Dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan mendidik mereka memiliki rasa percaya dan harga diri namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa mengupayakan agar anak dikenalkan kepada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari hal-hal yang bernilai rendah.























BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Keluarga adalah pilar utama pendidikan bagi anak, karena keluarga merupakan tempat pendidikan dan sosialisasi pertama bagi anak. Pendidikan nilai budi pekerti sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga. Dimulai dari pemilihan pasangan hidup, memperhatikan sebelum kelahiran anak dan ketika mengandung, memperhatikan ketika anak dilahirkan, mendidik ketika anak berusia enam tahun pertama, mendidik saat remaja dan membimbing saat dewasa. Semua ini seyogyanya bisa diterapkan oleh setiap keluarga Indonesia khususnya, sehingga generasi bangsa menjadi generasi yang kuat, sehat, cerdas, dan sholeh.
Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi pendidikan tersebut dalam keluarga. Seperti kurangnya pengetahuan orang tua tentang etika dan akhlak yang mulia, cara-cara mendidik anak, dan membina rumah tangga. Sehingga, fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak tidak oftimal. Walhasil, anak pun tidak memiliki budi pekerti yang luhur.
B. Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin berbagi pikiran dengan pembaca khususnya yang sudah berumah tangga, untuk memperhatikan hal berikut:
Mendidik anak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga para orang tua diharapkan mempelajari ilmu-ilmu tentang cara-cara mendidik anak, kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua merupakan teladan bagi anak, untuk itu berikanlah contoh tauladan yang baik agar anak bisa melihat dan meniru perbuatan baik tersebut
Untuk pemerintah, hendaknya memperhatikan kesejahteraan setiap keluarga warga negaranya dengan cara memberi penyuluhan, penyediaan fasilitas pendidikan, dan peluang kerja yang mudah.

Daftar Pustaka

Darmodiharjo, Darmo (1986) Nilai, Norma dan Moral dalam Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Aries Lima, Jakarta.
Djahiri Kosasih (1989), Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila untuk Peningkatan proses dan hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FPIPS IKIP Bandung.
Hakam, Kama Abdul (2008), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press.
Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.
Linda, N.Eyre, Richard. 1995. Teaching Your Children Values. New York: Simon sand Chuster.
Mulyana, Deddy. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga, Yogyakarta: Al Husna Press, 1994
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995
______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992
Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

0 komentar: