23.37

Teori-teori Belajar dan Pembelajaran

LAPORAN RESUME TEORI-TEORI BELAJAR dan PEMBELAJARAN

Berdasarkan telaah penulis terhadap literature yang membahas tentang teori-teori belajar, maka penulis akan mencoba mengungkapkan berbagai teori belajar secara singkat (resume).
A. Teori Belajar Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pra operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
  1. Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2 tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.
  2. Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan.
  3. Tahap operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.
  4. Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang baik dan tidak baik. Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Adapun implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

B. Teori Belajar Menurut Kohlberg
Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut:
1. Orientasi pada hukuman dan ketaatan
Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan karena rasa hormat.
2. Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu)
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan kewajaran.
3. Orientasi anak manis
Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas. Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Ketiga tingkat ini dibagi menjadi 6 perkembangan.
Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat dan 6 tahap perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens dalam bukunya “Etika”, yang kemudian menjadi sebuah teori moral yang mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat moral atau etika, yakni:
1. Tingkat Pra-konvensional
a. Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan,
Pada tahap ini anak dalam hal melakukan suatu tindakan akan memiliki orientasi atas hukuman yang merupakan konsekuensi atas tindakan itu, serta kepatuhan dari seseorang dalam hal ini orang yang dituakan atau kepatuhan terhadap hukum.
b. Tahap orientasi relativis-instrumental.
Pada tahap anak tetap menilai sesuatu berdasarkan kemanfaatan, kesenangan, atau sesuatu yang buruk menjadi keburukan, namun disini si anak sudah mampu belajar memperhatikan harapan dan kepentingan orang lain.
2. Tingkat Konvensial
c. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”.
Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearas sosialitas dan moralitas kelompok. Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok.
d. Tahap orientasi hukum dan ketertiban.
Pada kondisi ini dimana seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas.
3. Tingkat Pasca-konvensional
e. Orientasi kontrak-sosial legalistik
Tahap ini merupakan suatu kondisi dimana penekanan terhadap hak dan kewajiban cukup ditekankan,sehingga proses demokratisasi terjadi.Pada tahap ini juga muncul sebuah sikap cinta tanah air dan pemerintahan yang berdaulat.
f. Orientasi prinsip etika universal.
Pada situasi ini dimana orang dalam melakukan tindakan mencoba untuk sesuai dengan nurani serta prinsip-prinsip moral universal. Adapaun syarat atas prinsip moral universal menurut Kohlberg, yakni: komprehensif, universal, dan konsisten (tidak ada kontradiksi dalam penerapannya). Sedangkan prinsip universal itu ialah keadilan, prinsip perlakuan timbal balik (reciprositas), kesamaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia
Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya:
• Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua.
• Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.
• Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.(K.Bertens;2005).
Kohlberg menekankan pada pendidikan moral yang menggunakan sistem ‘kurikulum tersamar’, dimana dia menekankan bahwa pengajar atau guru dalam hal ini mampu mewujudkan suatu kondisi pribadi yang mencerminkan moral terhadap peserta didik. Dalam proses penelitiaannya Kohlberg, dkk mengambil sample anak-anak dan remaja. Sebagai sebuah realita, dimana fase tersebut merupakan fase yang tepat dalam mengambil sebuah kesimpulan guna menemukan teori moral yang mendekati teori moral yang ideal.
Kohlberg mengantisipasi atas nuansa relativitas moral yang pada saat ini didominasi oleh kaum Durkheimian, dan para psikologi yang beraliran relativisme ekstrem. Makanya, dalam kondisi ini dia lebih mengambil jalan tengah. Masih menurutnya, bahwa dalam proses perkembangan moral disini, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga sebagai sebuah faktor dominan dalam membentuk moralitas si anak. Maka, pendidikan umum moralitas yang ditekankan Kohlberg sangat diutamakan.
C. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, di antaranya:
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, di antaranya:
  • Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
  • Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
  • Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, di antaranya:
Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Tebal
D. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil.
Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
  1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
  2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
  3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
  4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
  5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
  6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
  1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
  2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
  3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
  4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
  5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
E. Teori Belajar Gagne
Teori belajar yang disusun Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitivisme, yang berpangkal pada teori proses informasi. Cara berpikir seseorang tergantung pada : 1) ketrampilan apa yang telah dipunyainya, 2) ketrampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.
Gagne menyebutkan adanya lima macam hasil belajar yaitu :
  1. Ketrampilan intelektual atau pengetahuan prosedural yang diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.
  2. Strategi kognitif yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah baru dengan jalan mengatur proses internal.
  3. Informasi verbal yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi yang relevan.
  4. Ketrampilan motorik yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
  5. Sikap, yaitu kemampuan intern yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dan didasari oleh emosi kepercayaan serta faktor intelektual.
Menurut Gagne belajar tidak merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi tertentu, yaitu kondisi (1) internal yang antara lain menyangkut kesiapan mahasiswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya, (2) eksternal, yaitu yang merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja diatur oleh dosen dengan tujuan memperlancar proses belajar.
E. Teori Belajar Humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
Proses pemerolehan informasi baru,
Personalia informasi ini pada individu.

Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
Pertama, suatu usaha yang positif untuk berkembang
Kedua, kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.

Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
Kognitif (kebermaknaan)
experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
Merespon perasaan siswa
Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
Menghargai siswa
Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Adapun implikasi teori belajar Humanistik sebagai berikut:
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Sedangkan aplikasi teori Humanistik terhadap pembelajaran siswa lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
Merumuskan tujuan belajar yang jelas
Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.






TANGGAPAN TERHADAP TEORI-TEORI BELAJAR
A. Teori Belajar
Kritik terhadap teori Behaviorisme adalah :
3
1). Apakah hasil percobaan terhadap binatang juga dapat diterapkan pada manusia?
2). Apakah hasil penelitian di Laboratorium akan relevan dengan situasi belajar yang sesungguhnya?
3). Apakah faktor sosial juga diperhatikan dalam penelitian di Laboratorium?
4). Bagaimana dengan pengalaman yang diperoleh siswa sebelumnya?

0 komentar: